Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bau korupsi merebak dari gedung Badan Pencegah Rasuah (BPR) Malaysia. Penyebabnya adalah Datuk Seri Zulkipli Mat Noor, orang nomor satu di lembaga yang mi-rip Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia itu. Pria 57 tahun itu dilaporkan telah menyalahgunakan jabatan sebagai ketua pengarah dengan menerima suap dan terlibat pelecehan seksual terhadap seorang perempuan.
Laporan itu berdasarkan pengaduan resmi mantan Pengarah Negeri Badan Pencegah Rasuah Negara Bagian Sabah, Mohamad Ramli Manan. Menurut Mohamad Ezam M. Nor, Ketua Gerak, lembaga swadaya masyarakat di bidang demokrasi dan antikorupsi, kasus korupsi dan pelecehan seksual itu sudah sejak Juni 2006 dilaporkan ke Perdana Menteri Abdullah Badawi dan polisi.
Dalam laporan Ramli, kata Ezam, Zulkipli diduga telah menerima suap dari pihak-pihak yang diselidiki badan antikorupsi itu. Perbuatan serupa ternyata telah dia lakukan saat masih memegang pos-pos penting di kepolisian Malaysia. Sebelum masuk Badan Pencegah Rasuah pada 1 April 2001, Zulkipli adalah anggota Polisi Diraja Malaysia.
Kecurigaan bahwa Zulkipli melakukan korupsi semakin kuat setelah Ramli menemukan penambahan kekayaan yang begitu mencolok, tak sesuai dengan pendapatannya, termasuk beberapa rumah miliknya di Malaysia. Begitu pula beberapa stasiun pengisian bahan bakar umum di negeri Johor saat ia menjabat Ketua Polisi Johor awal 1990.
Mulanya, laporan tertulis Ramli tak kunjung mendapat respons dari Pak Lah—panggilan Perdana Menteri Abdullah Badawi—ataupun polisi, meski itu datang dari orang dalam BPR. Ramli pun kesal. Ia lalu membawa laporan itu ke Gerak, lembaga yang terkenal vokal mengkritik pemerintah, bahkan sejak di bawah Perdana Menteri Mahathir Mohamad. Gayung bersambut. Ezam membawa kasus ini ke publik lewat media massa, Februari lalu.
”Ini kasus pertama kali terjadi di BPR,” ujarnya kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Ya, ini hal baru bagi lembaga yang didirikan pemerintah pada 1 Oktober 1967 itu.
Masyarakat ternyata merespons laporan itu karena sebetulnya sudah curiga terhadap perilaku Zulkipli. Namun mereka selama ini hanya bisa diam. Nah, dengan laporan Ramli, menurut Ezam, media dan masyarakat akhirnya berani angkat bicara. Kasus Zulkipli ramai menghiasi surat-surat kabar setempat.
Polisi bergerak. Badawi bertindak. Kasus Zulkipli diinvestigasi dengan pembentukan pasukan khusus dari kepolisian. Namun, hingga akhir pekan lalu, polisi belum menetapkan Zulkipli sebagai tersangka. Badawi ”hanya” memutuskan memberhenti-kan Zulkipli sebagai Ketua BPR. Itu pun bersamaan dengan berakhirnya masa kerjanya, yakni 31 Maret lalu. Zulkipli menerima keputusan tersebut. Pak Lah juga berjanji akan menunjuk pengganti Zulkipli segera.
Sayangnya, sejumlah pihak tidak percaya pemerintah serius menangani kasus Zulkipli. Indikasinya, antara lain, respons pemerintah lamban. Kasus sudah dilaporkan pada pertengahan tahun lalu, tapi baru diserahkan ke polisi oleh Badawi setelah ramai ditulis media massa sekitar sebulan lalu.
Selain itu, dikhawatirkan ada rasa segan di kalangan kepolisian. Maklum, Zulkipli adalah anggota Polisi Diraja Malaysia selama 20 tahun sebelum ditempatkan di BPR. Ayahnya juga mantan perwira polisi. Semestinya, Badawi membentuk tim independen, melibatkan berbagai unsur di luar kepolisian, untuk mengusut kasus ini. Sebab, kasus Zulkipli bisa menjadi bola liar yang memantul ke sana-kemari, menyerempet nama-nama penting lain.
Maria Hasugian (The Star, Harian Metro, Utusan Malaysia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo