Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font face=verdana size=1>Sengketa</font><br />Siapa Menyerobot di Jati Makmur

Seorang warga Pondok Gede melaporkan Siti Hardijanti Rukmana ke polisi. Yayasan Harapan Kita akan menuntut balik.

21 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDAM Jari tak pernah membayangkan terlibat masalah hukum di usia senjanya. Apalagi sampai ”berhadapan” dengan penggede negeri ini. Tapi inilah yang dihadapi kakek 67 tahun itu: bersengketa melawan Yayasan Harapan Kita, yang diketuai mantan presiden Soeharto.

Warga Jati Makmur, Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat, itu awal Desember tahun lalu melaporkan sejumlah pengurus yayasan tersebut ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Tak tanggung-tanggung, Indam melaporkan wakil ketua yayasan, yang juga putri sulung Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut. Sekretaris yayasan, Tubagus M. Sulaeman, dan manajer hukum yayasan, Maryano, juga diadukan.

Ketiganya dituduh melanggar Pasal 167 dan 385 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana karena diduga menguasai pekarangan tanpa izin. Indam menempuh langkah berani ini karena menganggap yayasan itu menyerobot hak miliknya, sebidang tanah warisan almarhum ayahnya, Jari bin Apeng.

Tanah sekitar 7.000 meter persegi itu kini dikuasai Yayasan Harapan Kita. Terletak di tepi jalan raya Jati Makmur, Bekasi, tanah itu jadi bagian dari 15 hektare lahan yayasan yang di atasnya akan dibangun perumahan karyawan Taman Mini Indonesia Indah.

Menurut kuasa hukum Indam, Albertus Parsoaran Malau, sengketa tanah itu bermula pada Oktober tahun lalu. Ketika itu, pihak yayasan ”menduduki” lahan yang sebelumnya ditanami pohon pisang oleh keluarga Indam. Bahkan tanah itu dipagari. Merasa miliknya, Indam kaget bukan kepalang. ”Saya belum pernah menjual ke yayasan,” katanya.

Albertus mengatakan, klaim yayasan atas tanah kliennya berdasar sertifikat hak pakai nomor 7/1982. Padahal Indam sudah mengantongi dokumen kepemilikan sah, girik nomor 486. ”Meski hanya girik, masih berkekuatan hukum,” kata Albertus ketika ditemui Tempo di kantor Ikatan Advokat Indonesia-Bekasi, Rabu pekan lalu.

Yayasan memang membebaskan lahan warga lain di sekitar tanah kliennya. Tapi, menurut Albertus, pembebasan tidak meliputi tanah Indam. Seperti tertera di buku tanah, sertifikat hak pakai nomor 7 berasal dari sertifikat hak milik nomor 2, 3, 4, 5, dan 248. ”Di situ tidak ada catatan berasal dari girik nomor 486 milik almarhum Jari bin Apeng.”

Meski mengantongi sertifikat hak pakai sejak 1982, yayasan tak juga merawat tanah yang dibebaskan itu. Justru warga yang merawat sampai batas waktu hak pakai—sepuluh tahun—berakhir pada 1992. Kondisi ini berlanjut hingga 2005, ketika yayasan merencanakan pembangunan perumahan karyawan Taman Mini.

Ketika itulah benih masalah muncul. Sertifikat hak pakai yayasan telah ”naik kelas” jadi sertifikat hak guna bangunan (HGB). ”Nah, luas tanah dalam HGB menggelembung dari sebelumnya,” kata Albertus. Namun rencana pembangunan tak berlanjut. Meski batal, itu bukan berarti masalah rampung. Pada Oktober 2007, proyek dilanjutkan. ”Ketika itulah keluarga ahli waris Jari bin Apeng menolak.”

Selain menganggap yayasan menyerobot, ia menilai peningkatan status sertifikat itu bermasalah. Pasalnya, Yayasan Harapan Kita mengajukan permohonan peningkatan hak melalui surat yang ditandatangani ketuanya, HM Soeharto. Surat bernomor 33/YHK-Ket/VIII/2004 tertanggal 31 Agustus itu ditujukan ke Badan Pertanahan Nasional Kota Bekasi.

Padahal, kata Albertus, ketika itu Soeharto, yang sedang menghadapi kasus hukum tujuh yayasan, dinyatakan menderita cacat otak permanen. Artinya, jika dalam kondisi sakit mengirim surat ke Badan Pertanahan, dan lembaga itu menerbitkan sertifikat HGB, ”Maka sertifikat yang diterbitkan cacat hukum.”

Maryano, kuasa hukum Yayasan Harapan Kita yang mengelola Taman Mini Indonesia Indah, membantah semua tuduhan itu. Menurut dia, harus dipisahkan Soeharto sebagai pribadi dan ketua yayasan. ”Kalau dinyatakan sakit itu pribadinya. Yayasan adalah subyek hukum tersendiri,” ia berkilah.

Ia juga menolak tudingan menyerobot. Tanah yang diklaim Indam, kata dia, milik yayasan. Bukti kepemilikan adalah sertifikat HGB nomor 3116. Bukan hanya tanah yang diklaim Indam, seluruh lahan yayasan seluas 15 hektare sudah lama dibebaskan dalam beberapa tahap.

Tahap awal pada 1977-1980, dan tahap kedua pada 1982. ”Tanah yang dipersoalkan Indam sudah dibebaskan di tahap awal,” kata Maryano di kantornya Kamis pekan lalu. Dalam dua tahap ini, yayasan membebaskan 11,3 hektare. Seluruhnya disertifikatkan dengan sertifikat hak pakai nomor 7. Pembebasan berlanjut pada 1987-1990, seluas 4 hektare. Pada 2004, seluruh lahan ditingkatkan statusnya dengan sertifikat HGB.

Menurut Maryano, buku riwayat tanah mencatat, tanah Jari bin Apeng telah dijual sejak Juli 1976. Pembelinya mensertifikatkan tanah itu. Setelah sertifikat terbit dengan nomor 248, di kemudian hari, yayasan membelinya dari tangan kedua itu. ”Jadi, sertifikat 248 yang tercatat di hak pakai kami.”

Buku tanah juga mencatat asal girik bernomor 876, bukan 486 seperti yang diakui Indam. Selain tidak tercatat di buku tanah, kata Maryano, pihak lawan belum pernah menunjukkan girik asli 486 itu. ”Ada aslinya tidak? Kalau ada, siapa yang menerbitkan?” ujarnya, meragukan keabsahan girik itu.

Sebelum yayasan dilaporkan, pada September 2007, Maryano sudah melaporkan kasus penjualan sejumlah tanah yayasan ke Kepolisian Resor Metropolitan Bekasi. Sebagian tanah yang diklaim Indam termasuk yang dijual. Penjualan diduga memakai surat-surat palsu. Pelakunya mengarah ke satu orang, yakni Marhasan, yang tak lain menantu Indam. ”Marhasan masuk daftar pencarian orang Polres Bekasi,” kata Maryano.

Kepala Unit Harta Benda Satuan Reserse Kriminal Polres Bekasi Ajun Komisaris Rajiman membenarkan keterangan itu. Ada empat orang korban penipuan Marhasan. Satu di antaranya perwira TNI. ”Mereka telah menyetor pembayaran Rp 50-100 juta per orang,” ujar Rajiman. Para korban bahkan sudah mendirikan bangunan di atas tanah yayasan.

Laporan Maryano ke Polres Bekasi didasari surat kuasa Siti Hardijanti Rukmana dan Tubagus Sulaeman. Belakangan, pemberi dan penerima kuasa itu dilaporkan balik oleh Indam ke Polda Metro Jaya. Namun, hingga pekan lalu, polisi belum memeriksa satu pun pihak yayasan.

Penyidik masih sebatas menanggapi laporan Indam. ”Masih sulit, karena pelapor baru menunjukkan fotokopi girik,” kata Kepala Satuan Harta Benda, Bangunan, dan Tanah Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Ilman kepada Widi Nugroho dari Tempo. ”Kita belum punya sesuatu yang menguatkan.” Pihak yayasan kini bersikap menunggu pemeriksaan polisi. Jika laporan tidak terbukti, minimal yayasan akan melaporkan kasus pencemaran nama baik. ”Kami akan menuntut balik,” kata Maryano.

Dimas Adityo, Hamluddin (Bekasi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus