Perubahan di Vietnam, dan kurangnya persenjataan keempat kelompok, mungkin membawa jalan damai di Kamboja. HAWA pantai Pattaya di Muangthai mungkin cocok untuk para pemimpin Kamboja. Tiba-tiba saja keempat pihak yang terlibat perang selama 12 tahun membuat banyak kesepakatan di sana, pekan lalu. Kebuntuan demi kebuntuan -- yang terakhir di Jakarta, awal Juni lalu -- sudah diterobos. Salah satu yang paling penting adalah gencatan senjata. Semuanya setuju menghentikan perang. Kesepakatan lain yang juga bisa disebut langkah besar adalah penghentian bantuan senjata dari luar negeri untuk semua pihak yang berperang. Dari Pattaya pula muncul kesepakatan membentuk sebuah "pemerintahan istimewa" yang berintikan para anggota Dewan Nasional Tertinggi yang diketuai Sihanouk. Mereka juga sudah memilih bendera baru, peta Kamboja berwarna biru dengan tulisan Kamboja di tengahnya. Paling tidak bulan November ini, markas besar dewan harus sudah berdiri di Phnom Penh, ibu kota Kamboja. Hun Sen juga mengizinkan berdirinya sebuah kompleks khusus yang akan menjadi tempat tinggal anggota "pemerintah istimewa" itu. Tiap kelompok boleh membawa pasukan sendiri untuk mengawal kompleks itu. Tentu saja langkah ini belum bisa menjadi jaminan perdamaian akan segera muncul. Kalau toh "pemerintah istimewa" ini bisa berjalan, sebenarnya masih ada ganjalan lain. Sejauh ini keempat pihak masih belum sepakat menerima rancangan perdamaian PBB yang dibuat lima anggota tetap Dewan Keamanan. Persoalan yang paling rumit di sini adalah: siapakah yang akan memegang kedaulatan Kamboja pada masa transisi dan pemilihan umum nanti. Proposal PBB dari dahulu menghendaki agar kedaulatan itu diserahkan oleh rezim Phnom Penh kepada badan khusus yang akan dibentuk PBB untuk mengawasi pelaksanaan pemilu. Ini ditolak mentah-mentah oleh Hun Sen, sampai di Pattaya pekan lalu juga. Selain itu, Hun Sen ingin hanya sebagian kedaulatan pemerintahan Phnom Penh sekarang yang diserahkan pada badan PBB itu. Beberapa kementerian yang strategis akan tetap dikuasainya. Bisa diduga, ini tentu membuat Khmer Merah ganti menolak. Jalan buntu abadi bagi Kamboja? Mungkin tidak. Ada perubahan di Vietnam (lihat Para Teknokrat dari Selatan). Melunaknya sikap keempat kelompok kini bisa jadi karena pemasokan senjata pada keempatnya, bahkan sebelum pertemuan di Pattaya itu, memang mulai kendur. Wartawan TEMPO Yuli Ismartono, yang bulan lalu meninjau wilayah yang dikuasai kelompok Sihanouk dekat perbatasan Muangthai, melihat bahwa persenjataan mereka memang minim. Tak biasanya, para gerilyawan sampai membongkar simpanan lama mereka. Dan kenyataannya, pertempuran hanya terjadi kecil-kecilan sebelum belakangan tak terdengar lagi. Pihak Sihanouk mengatakan, kurangnya persenjataan tak hanya dialami oleh mereka, tetapi juga kelompok Son Sann, juga Khmer Merah, bahkan rezim Phnom Penh. Dari unsur-unsur itu, tampaknya pertemuan bulan depan, di Beijing, bila terlaksana, merupakan harapan besar sebuah perdamaian. Ini juga pertemuan pertama di Cina, negeri yang selama ini konsisten mendukung Khmer Merah. Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini