Damai di Luar Panas di Dalam Di balik gencatan senjata Armenia-Azerbaijan, gerakan nasionalis Azerbaijan ganti melawan pemerintah Moskow. Memang, ada kecemasan bangkitnya Islam fundamentalis di Soviet. "Anda telah membukti-kan kegagalan sebagai pemimpin politik dan pemerintahan... jalan-jalan di kota ini penuh genangan darah ratusan orang tak berdosa....," surat terbuka para ulama senior Azerbaijan kepada Mikhail Gorbachev. BARANGKALI, sejak pertengahan pekan ini, darah yang membasahi jalan-jalan di Baku itu sudah dibersihkan. Vladimir Dubinyak -- komandan tentara Soviet di Baku, ibu kota Azerbaijan -- berhasil mempertemukan kedua pemimpin etnis yang bentrok, dan meneken perjanjian gencatan senjata. Tapi, surat para ulama Azerbaijan itu merupakan dokumen autentik yang mencatat bahwa gencatan senjata dicapai setelah pasukan Soviet menyebar maut. Benar, ada sementara pihak mengatakan bahwa pasukan yang membabi-buta bukanlah terutama angkatan darat Soviet, melainkan pasukan dari Departemen Dalam Negeri. Tapi, untuk sementara, kini angkatan darat atau bukan tak banyak bedanya bagi rakyat Azerbaijan. Juga, orang-orang Azerbaijan, tampaknya, tak sempat membandingkan kebrutalan tentara Soviet dengan tindakan sebagian dari mereka sendiri terhadap etnis Armenia. Laporan mengatakan bahwa warga Armenia, termasuk anak-anak, yang tertangkap orang Azerbaijan, banyak yang dilemparkan dari jendela apartemen bertingkat. Sedangkan di Moskow, Gorbachev, yang memutuskan untuk mengirim pasukan ke Azerbaijan, kini berpikir dua kali. Pertama, mungkin karena suara-suara di kalangan angkatan darat yang tak setuju pengiriman tentara reguler. Kedua, bapak glasnost dan perestroika itu rupa-rupanya menyadari bahwa kekuatan senjata tak akan mampu mempertahankan keutuhan Uni Soviet. Maka, kini, pemerintah bergairah meng-hidupkan dialog. Untuk itu, setelah berdebat sepanjang Selasa malam pekan lalu, sentral komite Partai Komunis Uni Soviet pada Rabu keesokannya menunjuk Perdana Menteri Azerbaijan Ayaz Mutalibov, seorang tokoh moderat, menjadi pemimpin partai komunis Azerbaijan. Dia menggantikan Abdul Rakhman Vezirov, tokoh garis keras yang dipecat pada Sabtu dua pekan lalu. Menteri Dalam Negeri Soviet Vadim Bakatin pun sudah mengimbau agar dijalin kerja sama aktif antara polisi dan "kekuatan yang sehat" dalam Front Populer, organisasi bawah tanah yang memperjuangkan berdirinya Republik Azerbaijan yang berdaulat. Namun, kali ini pun rupa-rupanya Gorbachev melemparkan kebijaksanaan yang bak bumerang. Akhirnya, dialog itu cuma membuktikan bahwa Partai Komunis dan Gorbachev tak lagi dikehendaki di Azerbaijan. Di Ganja, kota terbesar setelah Baku, anggota Partai Komunis membakar kartu tanda anggota mereka bersama gambar Lenin dan Gorbachev. Kata Nadzhaf Nadzhafov, redaktur koran Front Populer, Partai Komunis sudah tak punya tempat lagi dalam masyarakat. Partai itu bahkan telah ditinggalkan sekitar 200 ribu anggotanya sejak penyerbuan Soviet ke Afghanistan sebelas tahun yang lalu. Memang, Azerbaijan masih panas di dalam. Imbauan agar rakyat menyerahkan senjata -- yang mereka rebut dari pos-pos militer beberapa pekan lalu -- tak digubris. Pasukan pemerintah terpaksa melakukan penggeledahan dari rumah ke rumah. Sabtu pekan lalu, 35 orang pemilik senjata gelap di Stepanakert, ibu kota Nagorno-Karabakh, ditahan. Kekhawatiran pemerintah adalah, kalau-kalau senjata yang masih mereka simpan digunakan lagi untuk melakukan serangan-serangan gerilya. Serangan paling populer adalah menembak patroli pasukan pemerintah dari sepeda motor, lalu menghilang. Apalagi Front Populer diduga telah menyusun strategi untuk mengambil alih semua peran Partai Komunis. Maka, sementara di satu pihak diimbaukan dialog, Menteri Pertahanan Jenderal Dmitri Yazov, Jumat pekan lalu, mengeluarkan ancaman keras: Front Populer yang telah mengambil alih peran partai komunis di bagian selatan Azerbaijan harus dihancurkan lebih dulu, sebelum Soviet menarik pasukan dari sana. Masalahnya, tawaran dialog atau peringatan dengan ancaman, bagi orang-orang Azerbaijan, rupa-rupanya dianggap sama. Apa pun yang terjadi, mereka tetap berusaha keras untuk merebut lebih jauh. Yakni dari kemerdekaan mengatur ekonomi sendiri -- yang sudah diperoleh lama sebelum ini -- ke Republik Azerbaijan yang berdaulat. Atau paling sedikit, diperolehnya otonomi pemerintahan. Tapi, tak semua anggota Front Populer -- organisasi bawah tanah yang dua bulan belakangan ini terasa makin radikal --- bersuara dan bertindak ekstrem. Sebagian mereka mengimbau agar kaum nasionalis Azerbaijan bisa lebih menahan diri. Tak perlu memblokir kantor-kantor pemerintah, partai, dan lain semacamnya. Sebab, itu kurang taktis. Kenyataannya, memang, ada kritik-kritik terhadap cara warga Azerbaijan berjuang. Dari Republik Soviet Moldavia, yang terletak di perbatasan Rumania, muncul komentar tokoh nasionalis Oazu Nantopi. Mereka menggunakan kartu as untuk hal-hal yang kurang prinsip, ujar Nantopi. Bahkan, sejumlah tokoh gerakan nasionalis di republik, yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, sudah terang-terangan tak bersimpati kepada kaum nasionalis Azerbaijan. Misalnya Sandra Kalniete, pemimpin Latvia, salah satu republik Baltik itu. Dia melihat pergolakan di sana sebagai perang antara Islam melawan Kristen. "Dan kami orang Kristen," katanya. Tentu saja, suara dari kawasan Asia Tengah, yang mayoritas warganya Islam, mencoba membela gerakan nasionalis Azerbaijan. Kata Mukhamed Salikh, penyair yang juga aktivis gerakan seperatis Uzbekistan, tampaknya, ada sasaran lain pengiriman pasukan Soviet, selain untuk mendamaikan etnis Armenia dan Azerbaijan. Yakni, adanya kekhawatiran terhadap sepak terjang fundamentalis Islam. Memang, ada tanda-tanda bahwa Soviet cemas terhadap meningkatnya gerakan kaum fundamentalis. Akhir-akhir ini, aksi menyelundup gerilya tanpa senjata meningkat dari Afghanistan ke Soviet. Mereka, para mujahidin Afghanistan, tak memanggul senapan, tapi membawa buku-buku Islam. Menurut majalah Time, antara 1986 dan 1988 telah diselundupkan seribu buku lewat Sungai Amu Darya, yang mengalir sepanjang perbatasan kedua negeri. Tapi, hanya di tahun lalu, 3 ribu buku disebarluaskan di antara umat Islam di Soviet. Kalau ini benar, tampaknya, musuh Soviet memang berubah dari kapitalisme ke fundamentalis Islam. Dan mungkin ini lebih memusingkan Gorbachev: menjadi salah satu faktor bangkitnya nasionalisme di republik-republik Soviet. Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini