Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Di Tengah Fatwa

BKS PTIS melakukan penelitian: mengupas perbedaan Muhammadiyah & NU. Sejumlah hal menyangkut konglomerat & hukum pasar saham, serta deposito uang di bank disingkap. Muhammadiyah beda dengan Mui & NU.

3 Februari 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUHAMMADIYAH belum terperangah membahas konglomerat dari sisi fikih. Sementara itu, tentang pasar saham yang, katanya, berstatus "makruh" justru suara itu dari seorang anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah. Dan yang baru, akhir tahun lalu, organisasi berdasarkan keagamaan ini segera mendirikan Bank Perkreditan. Muncul itu setelah 25 April 1989 diteken kerja sama dengan BRI (Bank Rakyat Indonesia) Pusat di Jakarta. Berarti, di wilayah, daerah, dan cabang, pengurus Muhammadiyah boleh menyimpan uang organisasi di BRI. Mendepositokan uang (di bank pemerintah) bukan lagi ditabukan "riba". Bunga itu tak dimakan pengurus, malah dipakai untuk kepentingan umat. Tarjih (pembahasan) kasus ini, yang 1970 masih status quo, tak hanya menggetarkan hati yang di Muhammadiyah. Muslim di luarnya mungkin manut. Soal yang kontemporer, kekinian, pintu ijtihad mudah dikuak di Muhammadiyah? Bila metode fatwa hukum ini dibakukan, ini ushul al-fiqih khas Muhammadiyah. Kalau ada masalah baru, lazimnya dibahas Majelis Tarjih, selesai dibanding dengan pendapat ulama terdahulu (salaf). Lalu, muktamar yang memutuskan. Untuk mengelak percekcokan, pentarjihan mutlak memakai Quran dan hadis. Ini pedoman pokok sumber hukum. Dan praktek ijtihad, selain mengacu kepada kemaslahatan, dipakai pula rumus ushul al-fiqh: konsensus ulama (ijma'), analogi (qiyas), adat ('urf), dan syadd al-dzari'ah, asas menghindarkan kerusakan besar. Misalnya, baca salawat Nabi, dalam salat, diterima berdasarkan ijma. Namun, Muhammadiyah menampik bertaklid, menerima tanpa pikir. Dalam buku Himpunan Putusan Tarjih ditegaskan: ijma' tidak mutlak. Konsensus ulama pertimbangan saja. Di sinilah, bedanya Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU). Ini diketahui setelah diteliti oleh Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta (BKS PTIS). Hasilnya digelarkan Drs. Slamet Warsidi, dosen Fakultas Ilmu-Ilmu Agama Universitas Muhammadiyah Surakarta dalam seminar di Cisarua, Bogor 25-27 Januari lalu. Muhammadiyah, katanya, tidak terikat mazhab, apakah Syafiiyah, Malikiyah, Hanbaliyah, Hanafiyah. Pendapat para imam mazhab itu diterima sebagai "bahan pertimbangan", asalkan sesuai dengan jiwa Quran dan hadis. Bahkan, Muhammadiyah hanya memilih hadis tertentu. Kriterianya tegas. Hadis mawquf, mursal sahabi, mursal thabi'i, atau dha'if, ditolak mendasari argumentasi. Sebab, hasil reportase sahabat dan pengikut itu diragukan dari Rasulullah. Kecuali, ada petunjuk akurat. Menurut Slamet, yang menilik sidang tarjih dalam 22 muktamar, Muhammadiyah cepat memutuskan hukum itu melalui aklamasi. Awal tahun lalu misalnya, Muktamar Tarjih ke-22 di Malang sigap membolehkan berasuransi. Pendapat dari ulama terdahulu juga dilirik. Ibn 'Abidin (1784 M) contohnya, yang bermazhab Hanafi, menghalalkan praktek mengambil ganti rugi atas harta yang rusak. Setelah ditimbang, praktek asuransi yang bertentangan dengan kewarisan Islam, lalu akhirnya "dibolehkan", karena ada unsur gotong-royong seperti dianjurkan Quran dan hadis. Khusus ibadat (dan tuntunannya), pemutusan fatwa lebih mudah. Misalnya, zakat profesi. Konsep yang dimasak di daerah dinilai di muktamar. Jika pesertanya oke, palu setuju diketok. Kalau belum, diteliti ulang lagi, sampai disepakati. Walau lamban -- dilihat dari materi kajian -- menurut Slamet, Majelis Tarjih memperlihatkan kemajuan. Di masa awal berdirinya lembaga ini, 1928, fatwa seputar soal lama, umpamanya: talqin dan ziarah kubur. Sifat kajiannya semantik, bayani. Setelah dipakai metode analisa kausal (ta'lily) dan ditemukan kemaslahatan, prioritasnya pada kasus kontemporer, seperti adopsi yang diterima itu. Lain NU, yang sigap mengantisipasi persoalan baru. Contohnya, November lalu, di Muktamar ke-28 di Krapyak, Yogya, pembahasan kasus keagamaan (Bahtsul Masail Diniyyah) yang sedang ramai: bursa saham, bursa efek, tahapan. Pendapat muncul semarak, kendati mengutip kitab kuning berisi fatwa dari ulama mazhab. Bukan Syafii saja. "Mirip di pasar," kata Drs. Malik Madany, MA. Menurut dosen Fakul-tas Syariah IAIN Yogya-karta dan Sekretaris (Katib) Syuriyah NU di kota itu, banyak perkara diputuskan berdasar qiyas, tanpa analisa 'illat -- kausalitas. Lihat Ahkam al-Fuqaha', buku keputusan bahtsul masail, yang satu soal cuma diungkap "halal seperti disebutkan dalam kitah ini, halaman sekian". Alasan hukumnya bocor, tanpa pendekatan historis dan metodologis, walau ushul al-fiqh mengajarkan disiplinnya. Ulama NU, kata Malik, banyak menguasai ilmu ini. Cuma tak dijadikan pisau bedah. Untuk mengkaji bursa saham, misalnya, dirujuk kitab kuning. Drs. Marzuki Usman, Ketua Bapepam, malah diminta menjelaskannya. Toh, mereka gagal berfatwa. Bursa itu, dianggap menyimpan persoalan yang tidak tampak mata. "Forum pembahasan masalah agama di muktamar terlalu sempit dijejali perkara seberat itu," ujar Malik. Di PBNU, sama seperti di Muhammadiyah, suatu masalah dikirim ke daerah, dikaji, sebelum muktamar. NU tidak memiliki lembaga fatwa. Bebannya di pundak pimpinan Syuriyah, pusat, dan daerah. Itulah sebabnya NU tak ada "aturan main" yang mapan. Alot, sebab diskusi hanya di bahtsul masail. Di Majelis Tarjih putusan dengan voting. Tapi lembaga ini belum menetapkan prosedur rujukan. Bukan seperti Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang sejak 1987 punya pedoman penetapan fatwa: merujuk Quran, hadis, dan konsensus ulama terdahulu bila tidak ada ketentuan hukumnya. Karena itu, Muhammadiyah diharapkan menetapkan sistem fatwa lebih baku. Sehingga fatwanya kaya alasan, dan cepat menyelesaikan masalah fikih di tengah umat. Ahmadie Thaba

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus