DI negeri hitam yng berpenduduk 2 juta, adalah seorang
prajurit, Jean Bedel Bokassa namanya. Tegap tubuhnya, berani
hatinya. Pada suatu hari, ia jadi kapten. Lalu ia jadi kolonel.
Kemudian di suatu hari lain, ia jadi presiden, dan mengangkat
diri jadi jenderal. Lalu, ia jadi presiden seumur hidup.
Akhirnya, ia pun jadi Kaisar. Maka termashurlah ia ke seluruh
dunia, serta hidup bahagia selama-lamanya ....
Kecuali kalau ada kudeta. Tapi nampaknya sementara ini tidak.
Menjelang ia menobatkan diri jadi Kaisar 4 Desember yang lalu,
para menterinya yang mencoba bilang jangan ditangkap. Mungkin
karena pemimpin Afrika Tengah itu tak suka pada demokrasi
liberal Barat dan kultur oposisi. Sejak mengambil alih kekuasaan
di tahun 1965, ia membubarkan parlemen, memerintah dengan dekrit
dan mengadakan penangkapan besarbesaran. Ia kini mengetuai
sendiri partai satu-satunya yang ada di situ, MESAN (Gerakan
Evolusi Sosial Afrika Hitam). Di tahun 1969, ia menembak mati
Kol. Banza, perwira yang dianggap tokoh nomor dua dalam
republik.
J.B. Bokassa memang tak mau disaingi rupanya. Upacara penobatan
dirinya di hari itu menjadikan dia satu-satunya kaisar di
Afrika. Meskipun ia bukan satu-satunya kaisar di dunia abad ke
20 ini -- ada Hirohito dari Jepang dan Shah Iran yang suka
disebut Raja di Raja -- yang pasti Bokassa I adalah Kaisar
termahal. Negerinya yang miskin, dengan pendapatan per kepala $
160 harus membayar Rp 12,5 milyar buat perayaan penobatannya.
"Maharani" Catherina
Bokassa sendiri, dibantu oleh seorang pemahat Perancis, Olivier
Brice, merencanakan upacara itu sejak setahun sebelumnya. Tugas
Brice yang lain adalah merancang kereta kekaisaran, yang akan
dinaiki Bokassa ke tempat upacara di stadion olahraga tertutup
di Bangui, ibukota yang berpenduduk 250 ribu itu. Isteri
Bokassa, Catherine, yang sejak hari itu harus dipanggil Maharani
sejak suaminya meletakkan mahkota ke atas kepalanya, juga dapat
kereta tersendiri. Kereta-kereta ini, juga 35 ekor kuda putih
dan abu-abu yang menarik dan mengiringinya, dipesan dari
Normandia, Perancis. Limabolas orang dikirim khusus ke Normandia
pula untuk dilatih cara naik kuda gaya Eropa. Ilarga tiap kuda:
Rp 1,5 juta.
Nah, di hari itu pun Bokassa mengenakan jubah 7 rmetel seberat
14 kg yang berwarna merah menyala bertahtakan permata. Di
kepalanya, mahkota emas yang seberat 15 kilo, berintikan intan
berbentuk jantung 138 karat, hasil tambang sendiri, tampak
nongkrong. Sebenarnya Bokassa, bekas serdadu Perancis yang
beragama Katolik, ingin Paus datang dari Vatikan dan meletakkan
mahkota itu ke atas kepala sang Kaisar baru. Tapi Paus menolak
sopan. Jadi Bokassa lah yang pasang mahkota di kepalanya sendiri
- meskipun dengan diberi doa oleh uskup.
Dalam hal itu ia tak begitu beruntung ketimbang Napoleon
Bonaparte yang oleh Bokassa konon dianggap telah menitis ke
dalam dirinya. Napoleon letnan II lulusan akademi militer yang
kemudian berhasil memimpin Perancis dan menjadikan dlri kaisar
duabelas tahun setelah Perancis jadi Republik, berhasil minta
Paus Pius Vll untuk datang ke Paris buat penobatannya 2 Desember
173 tahun yang lalu. Tapi pada menit terakhir. Napoleon
mengambil mahkota dari tangan Paus lalu mengenakannya sendiri.
Siapa tahu alasan Bokassa dengan meng-kaisar-kan diri itu mirip
dengan alasan Napoleon: selain jadi manja oleh kekuasaan yang
begitu luas, juga untuk menghindari kekisruhan pergantian
kepemimpinan nasional kelak setelah ia meninggal. Maklum,
umurnya sudah 56 tahun (Napoleon mati umur 52).
Dan di negeri seperti Afrika Tengah itu, dengan penduduk yang
70% buta huruf, dan 60%-nya menganut animisme (selebihnya
Kristen, terutama Katolik, dan sedikit Islam), eksperimen jadi
Republik memang sulit agaknya. Dalam republik, kepemimpinan
nasional tidak diatur menurut garis keturunan, melainkan dengan
dipilih secara bebas - hingga kontinyuitas dan stabilitas bisa
terganggu.
Bokassa sendin menyaksikan contoh keruwetan eksperimen
berdemokrasi itu. Presiden pertama Afrika Tengah, Barthelemy
Boganda -- seorang pastur yang berhenti karena kawin dengan
sekretarisnya, wanita Perancis - suatu hari di tahun 1959 tewas
dalam kecelakaan kapal terbang. Bogranda pun diganti David
Dacko, sesuai dengan pilihan partai MESAN yang berkuasa. Tapi
orang ini tak bisa membatasi meluasnya korupsi dan menarik
kesetiaan elit baru negeri itu, yakni para pegawai negeri.
Ketika ia mencoba mengharuskan agar para pegawai menyerahkan 10%
dari gaji mereka buat kas negara, republik pun kalut. Dan
muncullah Kol. Bokassa.
Dan Bkassa menggulingkan Dacko tanpa membunuhnya atau
mengusirnya ke luar negeri. Ia mengangkat orang lemah itu jadi
penasihatnya -- sampai sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini