Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dan jadilah ia kaisar ...

Presiden afrika tengah, jean bedel bokassa, 56, eks serdadu prancis yang mengambil alih kekuasaan pada 1965, menobatkan dirinya sebagai kaisar bokassa i.

17 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI negeri hitam yng berpenduduk 2 juta, adalah seorang prajurit, Jean Bedel Bokassa namanya. Tegap tubuhnya, berani hatinya. Pada suatu hari, ia jadi kapten. Lalu ia jadi kolonel. Kemudian di suatu hari lain, ia jadi presiden, dan mengangkat diri jadi jenderal. Lalu, ia jadi presiden seumur hidup. Akhirnya, ia pun jadi Kaisar. Maka termashurlah ia ke seluruh dunia, serta hidup bahagia selama-lamanya .... Kecuali kalau ada kudeta. Tapi nampaknya sementara ini tidak. Menjelang ia menobatkan diri jadi Kaisar 4 Desember yang lalu, para menterinya yang mencoba bilang jangan ditangkap. Mungkin karena pemimpin Afrika Tengah itu tak suka pada demokrasi liberal Barat dan kultur oposisi. Sejak mengambil alih kekuasaan di tahun 1965, ia membubarkan parlemen, memerintah dengan dekrit dan mengadakan penangkapan besarbesaran. Ia kini mengetuai sendiri partai satu-satunya yang ada di situ, MESAN (Gerakan Evolusi Sosial Afrika Hitam). Di tahun 1969, ia menembak mati Kol. Banza, perwira yang dianggap tokoh nomor dua dalam republik. J.B. Bokassa memang tak mau disaingi rupanya. Upacara penobatan dirinya di hari itu menjadikan dia satu-satunya kaisar di Afrika. Meskipun ia bukan satu-satunya kaisar di dunia abad ke 20 ini -- ada Hirohito dari Jepang dan Shah Iran yang suka disebut Raja di Raja -- yang pasti Bokassa I adalah Kaisar termahal. Negerinya yang miskin, dengan pendapatan per kepala $ 160 harus membayar Rp 12,5 milyar buat perayaan penobatannya. "Maharani" Catherina Bokassa sendiri, dibantu oleh seorang pemahat Perancis, Olivier Brice, merencanakan upacara itu sejak setahun sebelumnya. Tugas Brice yang lain adalah merancang kereta kekaisaran, yang akan dinaiki Bokassa ke tempat upacara di stadion olahraga tertutup di Bangui, ibukota yang berpenduduk 250 ribu itu. Isteri Bokassa, Catherine, yang sejak hari itu harus dipanggil Maharani sejak suaminya meletakkan mahkota ke atas kepalanya, juga dapat kereta tersendiri. Kereta-kereta ini, juga 35 ekor kuda putih dan abu-abu yang menarik dan mengiringinya, dipesan dari Normandia, Perancis. Limabolas orang dikirim khusus ke Normandia pula untuk dilatih cara naik kuda gaya Eropa. Ilarga tiap kuda: Rp 1,5 juta. Nah, di hari itu pun Bokassa mengenakan jubah 7 rmetel seberat 14 kg yang berwarna merah menyala bertahtakan permata. Di kepalanya, mahkota emas yang seberat 15 kilo, berintikan intan berbentuk jantung 138 karat, hasil tambang sendiri, tampak nongkrong. Sebenarnya Bokassa, bekas serdadu Perancis yang beragama Katolik, ingin Paus datang dari Vatikan dan meletakkan mahkota itu ke atas kepala sang Kaisar baru. Tapi Paus menolak sopan. Jadi Bokassa lah yang pasang mahkota di kepalanya sendiri - meskipun dengan diberi doa oleh uskup. Dalam hal itu ia tak begitu beruntung ketimbang Napoleon Bonaparte yang oleh Bokassa konon dianggap telah menitis ke dalam dirinya. Napoleon letnan II lulusan akademi militer yang kemudian berhasil memimpin Perancis dan menjadikan dlri kaisar duabelas tahun setelah Perancis jadi Republik, berhasil minta Paus Pius Vll untuk datang ke Paris buat penobatannya 2 Desember 173 tahun yang lalu. Tapi pada menit terakhir. Napoleon mengambil mahkota dari tangan Paus lalu mengenakannya sendiri. Siapa tahu alasan Bokassa dengan meng-kaisar-kan diri itu mirip dengan alasan Napoleon: selain jadi manja oleh kekuasaan yang begitu luas, juga untuk menghindari kekisruhan pergantian kepemimpinan nasional kelak setelah ia meninggal. Maklum, umurnya sudah 56 tahun (Napoleon mati umur 52). Dan di negeri seperti Afrika Tengah itu, dengan penduduk yang 70% buta huruf, dan 60%-nya menganut animisme (selebihnya Kristen, terutama Katolik, dan sedikit Islam), eksperimen jadi Republik memang sulit agaknya. Dalam republik, kepemimpinan nasional tidak diatur menurut garis keturunan, melainkan dengan dipilih secara bebas - hingga kontinyuitas dan stabilitas bisa terganggu. Bokassa sendin menyaksikan contoh keruwetan eksperimen berdemokrasi itu. Presiden pertama Afrika Tengah, Barthelemy Boganda -- seorang pastur yang berhenti karena kawin dengan sekretarisnya, wanita Perancis - suatu hari di tahun 1959 tewas dalam kecelakaan kapal terbang. Bogranda pun diganti David Dacko, sesuai dengan pilihan partai MESAN yang berkuasa. Tapi orang ini tak bisa membatasi meluasnya korupsi dan menarik kesetiaan elit baru negeri itu, yakni para pegawai negeri. Ketika ia mencoba mengharuskan agar para pegawai menyerahkan 10% dari gaji mereka buat kas negara, republik pun kalut. Dan muncullah Kol. Bokassa. Dan Bkassa menggulingkan Dacko tanpa membunuhnya atau mengusirnya ke luar negeri. Ia mengangkat orang lemah itu jadi penasihatnya -- sampai sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus