BILL Clinton tak mengacuhkan hadiah dari Saddam Hussein. Presiden baru AS itu, sampai awal pekan ini setidaknya, tak menggubris pernyataan gencatan senjata sepihak dari Saddam: pesawat-pesawat AS masih saja menggempur sasaran yang dianggap merupakan kekuatan militer Irak. Bukan cuma pabrik yang diduga membuat senjata nuklir yang dibom, juga radar-radar Irak. AS memang punya alasan. ''Aksi militer tak akan dihentikan, selama Irak tak mau mematuhi resolusi PBB,'' ujar George Stephanopoulos, juru bicara Gedung Putih. Sejumlah sumber di Washington mengatakan kepada harian Los Angeles Times, bahwa Kepala Staf Angkatan Bersenjata AS, Jenderal Colin L. Powell, dan para penasihat militer Clinton berunding dengan Bill Clinton tentang Irak, sebelum presiden terpilih ini dilantik Rabu pekan lalu. Dalam pertemuan itu konon disepakati pendapat yang mengatakan bahwa hanya kalangan militer Irak yang mampu menjatuhkan Saddam Hussein. Tapi selama ini tampaknya mereka tak punya kesempatan, atau kalangan pro-Saddam memang kuat. Bahwa AS ingin Saddam jatuh adalah berita lama. Tapi cara AS memancing upaya dari dalam negeri Irak sendiri agar ada yang mendongkel Saddam tampaknya sudah keterlaluan. Terutama pengeboman oleh pesawat-pesawat AS akhir pekan lalu, yang dikecam tak hanya oleh negara-negara Arab, tetapi juga sekutu AS. Pemerintah Arab Saudi yang cenderung pro-AS pun memberikan komentar yang mengkritik. Jika gempuran terhadap Irak karena pelanggarannya terhadap resolusi PBB, kata pemerintah Saudi, mestinya semua pelanggar resolusi PBB dikenai hal serupa. Jelas, yang dimaksudkan yakni resolusi PBB terhadap Israel dan Serbia. Sekutu AS pun menilai aksi militer AS belakangan ini sudah tak pada tempatnya. Rusia menyesalkan jatuhnya 40 korban rakyat sipil. Para penerbang pesawat tempur Perancis tak mau bergabung dalam aksi serangan udara lagi. Italia buru-buru mengeluarkan pernyataan, pihaknya tak ikut dalam aksi militer itu. Sebaliknya, kesempatan kali ini tak disia-siakan oleh Saddam Hussein untuk memperoleh kemenangan politis. Selain menawarkan gencatan senjata, Kamis pekan lalu Saddam meresmikan dibukanya kembali pabrik susu di Baghdad yang hancur terkena rudal Sekutu dalam perang yang lalu, tahun 1991. Ia seolah hendak bilang bahwa sasaran yang dibom AS memang bukan sasaran militer. Maka, menarik reaksi pers di Timur Tengah. Mingguan Arab Saudi Al-Majalla dalam tulisannya pekan lalu mengatakan, rekonsiliasi antara Irak dan negara-negara Teluk dimungkinkan sepanjang perilaku Saddam baik-baik saja. Harian Turkish Daily News menuliskan sikap lebih tegas lagi, dengan mengingatkan pada Barat bahwa ''Orang-orang Turki harus hidup damai dengan orang-orang Irak. Jangan mencoba membangun dinding pemisah di antara mereka.'' Jika benar AS berniat menjatuhkan Saddam tanpa mengeruhkan suasana politik di Irak, mungkin yang diperlukan justru sikap acuh tak acuh. Biarkan Saddam bertingkah sampai ada upaya dari dalam negeri Irak, atau Saddam berubah. Sikap agresif hanya membuat rakyat Irak lebih marah pada AS dan melupakan dulu kemarahan terhadap Saddam, yang membuat hidup mereka sulit. Lebih dari itu, membuat sekutu AS tak lagi mendukung AS. DP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini