LIMA anak muda menyetop lelaki itu di malam hari dan menyuruhnya berteriak "Hidup Khalistan". Ia menolak dan "dor", lelaki itu menjadi korban ke-50 yang tewas 11 hari sejak penyerbuan polisi ke Kuil Emas, 30 April lalu. Inilah cerita sedih dari Amritsar, India yang sudah dua tahun ini dilanda kemelut pemberontakan kaum Sikh. Dan kini situasi tampaknya bertambah buruk. Adalah aksi kelompok ekstrem pada 26 Januari lalu yang mengawali meningkatnya suhu kekerasan. Ketika itu anggota Federasi Mahasiswa Sikh se-India dan kelompok Damdami Taksal - keduanya militan - bersekutu merebut kekuasaan di Kuil Emas, dari kelompok moderat. Mereka segera mengangkat pemimpinnya, Gurdev Singh, sebagai penguasa. Dan pusat peribadatan kelompok etnis yang beserban khas serta tak boleh bercukur ini segera jadi pusat makar. Lima pemuda memberikan konperensi pers, awal April lalu, menyatakan bahwa perang kemerdekaan negara Khalistan sudah dimulai dan pemerintahan segera dibentuk. Pemerintah India pun tersengat. Perdana Menteri Rajiv Gandhi segera berembuk dengan para pemimpin lainnya dan memutuskan: tak ada ampun bagi para pembelot. Tak kurang dari 2.000 polisi khusus diterbangkan dari New Delhi untuk menyerbu, 30 April lalu. Pemerintah India tak mau menggunakan polisi biasa. Ketika penyerbuan pertama, Juni 1984, lebih dari 600 kelompok militan Sikh dan petugas tewas dalam pertempuran berhari-hari. Tragedi ini yang kemudian mendorong pengawal pribadi Indira Gandhi, yang sebagian besar orang Sikh, menyemburkan peluru senjatanya ke majikannya sendiri sebagai pembalasan. Kali ini penyerbuan dilakukan dengan rapi. Setelah memberi waktu bagi para jemaah untuk meninggalkan kuil, 300 polisi elite ini segera memasuki markas kaum radikal dan menangkap para pembelot. Khusus untuk ruangan yang sulit, tugas dibebankan pada 300 anggota komando yang memanfaatkan granat pengaget dan menyerbu di malam hari. Satuan yang berseragam hitam-hitam dan dijuluki "kucing hitam" ini menuntaskan tugasnya ketika berhasil menangkap Gurdev Singh, pukul 06.30 dinihari. Sementara itu operasi yang sama di dua kuil lain yang diduduki kaum radikal juga berjalan lancar. Ini, barangkali, operasi militer yang sukses, tapi gagal sebagai tindakan politik. Bagaimana tidak. Akibat tindakan ini pemerintah Negara Bagian Punjab ternyata jadi runtuh. Sebab, Akali Dal, partai kaum Sikh moderat yang memenangkan 73 kursi dari 116 kursi parlemen yang diperebutkan dalam pemilu September lalu tak lagi berkuasa. Sebanyak 27 anggota parlemennya meninggalkan Akali Dal sebagai protes atas penyerbuan Kuil Emas yang mendapat persetujuan Akali Dal itu. Padahal, Rajiv Gandhi menumpukan harapan pada kelompok Sikh moderat untuk mengatasi kemelut di negara bagian yang berpenduduk 14 juta ini. Wajarlah kalau Rajiv segera mengambil tindakan politis. Ia segera merombak kabinet. Dua belas menteri baru diangkat, membuat jumlah kabinet menjadi 58. Penambahan ini, agaknya, merupakan jawaban Rajiv atas tuntutan peningkatan peran kelompok Sikh di pemerintahan pusat. Termasuk juga kelompok etnis minoritas lainnya. Misalnya saja kelompok Islam untuk Negara Bagian Kashmir, yang belakangan ini dilanda kerusuhan antara kelompok Islam dan Hindu. Toh bukan berarti Rajiv mengalah pada tuntutan kelompok etnis. Para anggota kabinet yang diangkatnya tidaklah benar-benar mewakili kelompok etnis, melainkan merupakan tokoh yang setia pada keutuhan India. Hal ini jelas terlihat pada pengangkatan Buta Singh menjadi menteri dalam negeri yang bertanggung jawab atas tugas kepolisian dan keamanan dalam negeri. Kendati berasal dari kelompok Sikh, Buta Singh justru dikucilkan kaumnya karena ia dituduh terlibat dalam operasi penyerbuan Kuil Emas, yang pertama. Tapi, mungkin, karena itulah Buta Singh dipercaya Rajiv Gandhi. Ia dianggap tak bisa memberi angin pada gerakan-gerakan yang membahayakan keutuhan India.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini