KAMIS pagi yang berdarah. Hasan berdiri di depan pintu kedai sambil mencongkel-congkel gigi sehabis minum susu telur. Tiba-tiba celurit Maruli membabat leher, pundak, dan perutnya. Lelaki tinggi besar itu tak sempat mengaduh, apalagi melawan. Tubuhnya roboh, menyandar pada kotak kaca, darahnya muncrat membasahi dinding luar kedai. Sementara itu, isi perutnya terburai. Bahraf, adik Hasan, yang juga sedang minum susu telur di kedai Pak Yati itu, terhenyak. Dengan sigap ia segera berlari keluar, menuju mobil kakaknya. Tapi begitu ia menyentuh pintu Jimny, beberapa lelaki yang memang sudah menunggu membantainya dengan beberapa tusukan. Bahraf, tak sempat mengambil celurit, atau pisau, atau keris di dalam mobil, pun tewas. Peristiwa di depan kedai susu telur di Jalan K.H.M. Mansur, Surabaya, pekan lalu itu, tampaknya memang suatu pembunuhan berencana - menurut pihak polisi. Dan baru Maruli, pedagang barang elektronik di lantai II Pasar Turi, Surabaya, yang tertangkap. Orang ini mencoba melarikan diri dengan sepeda motor bebek biru menuju Jembatan Merah. Tapi tiga polisi sempat memburunya. Sementara itu, lima rekannya, jumlah yang diperkirakan oleh polisi, sampai awal pekan ini masih buron. Lalu terungkaplah ini. Perselisihan kedua orang Madura ini, Maruli, 34, dan Hasan, 35, sudah berlangsung sejak tiga bulan lalu. Yakni ketika secara terang-terangan Hasan yang berkulit kuning dan tampan merebut Halimah, istri Maruli. Halimah memang dikenal cantik lagi genit. Suatu hari, menurut Maruli yang kini ditahan polisi, istrinya yang sudah mendampinginya selama 13 tahun itu minta cerai. Heran, padahal selama ini mereka rukun-rukun saja. Anak sudah ada, satu, berumur 12 tahun. Kehidupan ekonomi keluarga pedagang ini pun baik. Selain Maruli sudah bisa membeli sebuah rumah di Jalan Ikan Kerapu, yang tergolong kompleks perumahan kelas menengah, pada 1983 ia juga bisa mengajak istrinya naik haji. Selidik punya selidik, Halimah ternyata kecantol Hasan. Perkenalan mereka bisa terjadi, karena Halimah memang sering keluar rumah untuk menjajakan barang kreditan seperti pakaian dan peralatan rumah tangga. Ia itu sering mampir ke rumah Bahraf, adik Hasan. Memang ada alasannya, istri Bahraf masih famili dekatnya. Dan di situlah ia berkenalan dengan Hasan, konon, langsung lengket. Begitu Halimah minta cerai, tanpa menanti jawaban suaminya, ia sudah pindah ke rumah Hasan. Padahal, pria ini sebenarnya sudah mempunyai dua istri, Sa'diyah dan Ustiyani. Sa'diyah dengan tiga anaknya menempati rumah Hasan yang di Kampung Guminto, bukan daerah orang kaya, tapi juga bukan daerah kelas bawah. Sedangkan madunya yang punya satu anak tinggal di daerah Rangka - daerah kelas menengah. Menurut kabar, begitu Hasan kecantol Halimah, Ustiyani langsung disuruh pulang ke Madura. Sedangkan rumah itu kemudian ditempati Halimah. Tampaknya lelaki bernama Hasan ini memang hebat. Ia, pegawai negeri, kepala suku dinas pembersihan Surabaya Utara, cuma lulusan SD. Tapi memang dikenal sebagai jagoan, terutama di Guminto. Sering pasangan baru ini secara mencolok bergandengan, dan Hasan sesumbar bahwa bila ingin menuntut balas, Maruli boleh datang kepadanya. Tak jarang pula Hasan menggandeng Halimah lewat di muka rumah warisan orangtua Maruli yang di Jalan Hang Tuah, yang tergolong daerah kelas menengah atas. Dan para tetangga pun menyampaikan kabar yang kian membuat hati Maruli membara. "Saya sendiri sudah tak mau melakukan carok. Tapi tingkah Hasan sudah begitu rupa, lagi pula pihak famili mendorong-dorong agar membuat perhitungan. Apa boleh buat," ujar Maruli tandas. Ia lantas mempersiapkan segala sesuatunya, misalnya mengirimkan mata-mata yang selalu mengawasi ke mana Hasan pergi. Sekali waktu, si mata-mata itu melihat Hasan dan Halimah mampir membeli jamu di sebuah toko. Maruli dikontak, tapi begitu Maruli tiba, yang dicari sudah tak ada. Di kedai Pak Yati pun, Hasan sudah beberapa kali hendak disergap, tapi dibatalkan sendiri oleh Maruli. Sebabnya, Hasan, yang sadar bakal menghadapi bahaya, selalu membawa pengawal sedikitnya tiga orang. Salah satunya adalah Bahraf, 32, yang biasanya selalu menempel dekat abangnya. Maruli, bertubuh kecil, pendek, dan hitam, rupanya punya perhitungan rencana sendiri. Dan siapa bisa melawan takdir? Hasan yang selalu berpengawal dan bersenjata itu - konon pada jenazahnya ditemukan dua keris di balik celananya - pun sekali waktu lengah, dan ajal datang menjemput. Tinggallah Sa'diyah dirundung malang. "Padahal, saya sudah pesan. Kalau mau kawin lagi, jangan mengambil istri orang. Kalau sudah begini, 'kan semua jadi susah," ujarnya sesenggukan. Halimah sendiri? Semenjak diketahui Hasan telah tiada, ia ternyata raib entah ke mana. Mungkin perempuan ini sadar bakal menjadi tumpahan kemarahan banyak orang. Famili Sa'diyah memang menganggap Halimahlah sumber mala petaka itu. Suara dari pihak Bahraf tak kalah kerasnya. "Kalau Halimah ditemukan, lebih baik diputus kaki dan tangannya," ujar salah seorang kerabat Bahraf. Carok, biasanya, memang menimbulkan korban berantai. Dan itulah yang dikhawatirkan polisi. Tapi Letkol Ivan, bekas Kapolres Bangkalan, Madura - yang pernah melarang film Carok diputar di Bangkalan - tak sependapat bila kasus ini disebut carok. "Ini pembunuhan berencana," ujarnya kepada Masduki Baidlawi dari TEMPO. Bila carok, seperti yang terjadi di Madura, umumnya si pelaku berhadapan satu lawan satu dengan celurit di tangan. Sedang dalam kasus ini, Maruli tak bermuka-muka dengan Hasan. Melainkan korban dibabat selagi lengah. Dan seperti sudah direncanakan, yang tertangkap polisi cukuplah Maruli saja, sementara pelaku lainnya sudah dipersiapkan untuk bisa melarikan diri. Surasono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini