PROFESI baru segera muncul: perawat setingkat sarjana. Fakultas Kedokteran UI, ternyata, telah membuka Program Sarjana (S1) Keperawatan (PSK). Di luar dugaan, peminat program SI ini melimpah ruah. Tahun lalu, ketika program ini mulai diperkenalkan, tercatat ada 3.000 peminat, yang mendaftar lewat Sipenmaru. Yang bisa diterima hanya 1% saja, atau 30 orang. Ini seperti dikatakan Rektor UI, Prof. Dr. Sujudi, semata karena terbatasnya tempat. Juga karena program yang semula diprakarsai Departemen Kesehatan dan CHS (Consortium Health Science) ini masih bersifat rintisan. Seperti hendak menampakkan kehadirannya, Sabtu pekan lalu PSK menyelenggarakan seminar di aula FK UI, Jakarta. Bertema "Perawatan klien dengan penurunan kesadaran karena gangguan perdarahan otak", seminar ini dimaksudkan untuk menyambut Hari Keperawatan se-Dunia, yang jatuh pada 12 Mei Lewat pembahasan dalam seminar itu bisa terlihat bahwa jalur dokter dan perawat memang berbeda. Dokter berperan dalam melakukan terapi dan memberikan obat yang tepat. Sedang tugas perawat adalah melakukan perawatan. Dan yang disebut perawatan bukan sekadar mengukur tekanan darah atau memasang infus, atau menolong pasien minum obat. Dengan kata-kata sederhana, perawatan bisa dikatakan sebagai: pelayanan kesehatan berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang didasarkan pada ilmu: yang ditujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat, baik yang sakit maupun yang sehat - kedengaran ilmiah, memang. Dengan kata lain, tugas perawat tak hanya di klinik atau rumah sakit. Dan seperti halnya dokter, perawat adalah juga profesi. Dan di saat sekarang, ketika ilmu kedokteran dan teknologi kedokteran sudah berkembang sedemikian rupa, perawat yang hanya berpendidikan setingkat SMA bahkan akademi, tentulah tak memadai lagi. Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Pusat, Kartono Mohamad, mengemukakan betapa para dokter banyak yang mengeluh karena adanya kesenjangan ilmu yang jauh antara dokter dan perawat Jadinya, perawat hanyalah dianggap sebagai petugas yang bisa disuruh-suruh oleh dokter. Padahal, perawat semestinya bisa menjadi asisten, atau malah partner yang bisa diajak bertukar pikiran dalam soal kesehatan. Dengan alasan itulah, Departemen Kesehatan dan CHS berkehendak mencetak perawat bergelar sarjana. Dan ini segera bersambut. Pada 1982, keluarlah SK Menteri P dan K yang disusul SK Dirjen Pendidikan Tinggi di tahun yang sama, dan tiga tahun kemudian, 1985, PSK pun mulai membuka pendaftaran. Program sarjana keperawatan ini, menurut Dekan FK UI, Prof. Asri Rasad, dibagi dua. Program A dan program B. Untuk program A, mahasiswanya diambil dari lulusan SMA lewat Sipenmaru. Lama pendidikannya adalah empat tahun - lebih cepat dua tahun dibanding yang ingin menjadi dokter. Sedangkan untuk program B, mahasisa diambil dari lulusan Aademi Perawat yang sudah mempunyai masa kerja sedikitnya lima tahun. Untuk meraih gelar sarjana, mereka memerlukan waktu dua setengah tahun. Kini tercatat 24 orang mahasiswa program B. Mereka umumnya mendapat tugas belajar dari rumah sakit tempat mereka bekerja RS St. Carolus, RS DGI Cikini, RS Hasan Sadikin (Bandung), antara lain. Dan seperti halnya dokter, setelah mengantungi ijazah, seorang sarjana perawat bisa saja membuka praktek di bidang keperawatan. Siapa pun bisa datang kepadanya, untuk berkonsultasi tentang, misalnya saja, bagaimana cara merawat pasien cacat atau orang jompo. Bagi pasien atau keluarganya, juga masyarakat umumnya, ini jelas merupakan hal baru. Sementara itu, di rumah sakit, puskesmas, atau dinas kesehatan. sarjana perawatan ini bisa bertugas sebagai koordinator. Atau, tenaganya jelas diperlukan sebagai pengajar di sekolah perawat yang setingkat SMA atau akademi. Atau, malah mungkin di PSK sendiri, yang nantinya, seperti harapan Prof.Sujudi, "Bisa meningkat menjadi fakultas." Murni Hartanti, mahasiswi program B yang berasal dari Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta, memang berniat mengajar setelah bergelar sarjana perawat. Ia memang sudah mengantungi ijazah sarjana muda keperawatan, dan kebetulan ia pun seorang sarjana pendidikan dari FKIP Unika Atma Jaya, Jakarta. Ia ikut PSK karena mendapat tugas belajar. Namun, seandainya Murni tak mengantungi ijazah kependidikan, bukan masalah. Program ini pun memberikan kuliah pendidikan. Dan barangkali itulah masalahnya nanti: masihkah sarjana perawat mau menyuapi pasien, misalnya. Dan satu hal bisa dicatat. Dengan adanya sarjana perawat di sebuah rumah sakit, mau tak mau biaya yang dikeluarkan pasien akan menjadi lebih mahal. Hal itu, agaknya, tak akan menjadi soal benar, bila pelayanan yang diterima memang lebih baik dan memuaskan. Itu bila Anda cukup uang. Surasono Laporan Indrayati (Biro Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini