Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Musuh dalam selimut jatiya

Partai presiden muhammad ershad, jatiya bersaing ketat dengan oposisi. suara di parlemen diramalkan akan sama kuat. jatiya dituduh curang. ershad tak jadi mencabut uu darurat. (ln)

17 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMELUT politik - yang sudah menjadi ciri khas Bangladesh sejak republik ituberdiri, 1971- hampir saja terulang dalam pemilu parlemen, Rabu pekan lalu. Banyak bom ukuran kecil dilemparkan ke arah calon pemilih hingga mereka ketakutan dan urung menggunakan haknya. Sementara itu, sejumlah TPS didaulat para perusuh dan mereka leluasa mengisi kotak suara dengan surat suara palsu. Puncak dari semua itu adalah bentrok fisik, antara orang-orang Jatiya - partai yang kini berkuasa - dan massa oposisi. Sumber tak resmi menyebutkan paling sedikit 25 warga Bangladesh tewas, sedangkan yang cedera dan luka-luka sekitar 500 orang. Pertumpahan darah seperti ini - lagi-lagi ciri khas Bangladesh - sempat mengejutkan tiga pengamat asing yang sengaja didatangkan pihak oposisi dari Inggris. "Partai Jatiya bertanggung jawab untuk tragedi demokrasi yang seharusnya merupakan jalan kembali ke demokrasi," demikian komentar seorang pengamat, bernama Lord Ennals. Bekas menteri buruh yang kini menjadi anggota Majelis Tinggi ini bersama rekannya, Martin Brendon-Bravo, yang juga anggota parlemen Inggris, terang-terangan menuduh Jatiya curang. Menurut Bravo, sejak pukul 11.30 di hari pemilu itu, banyak TPS ditutup tanpa alasan yang jelas. "Di beberapa tempat, orang oposisi malah dikejar-kejar massa pemerintah," katanya menambahkan. Mereka sangat ingin berdialog langsung dengan pihak Jatiya - seperti halnya mereka bertukar pikiran dengan delapan tokoh oposisi - tapi kesempatan untuk itu tidak ada. Pejabat pemerintah memang menjauhi tiga pengamat asing itu, seraya mengisyarakatkan supaya mereka tutup mulut saja. "Bangladesh bukan lagi daerah jajahan Inggris," kilah seorang pejabat. Sikap Presiden Hussain Muhammad Ershad juga senada. Ia menandaskan, pemilu kali ini jujur dan fair. Ia malah yakin, Jatiya bisa memenangkan 200 dari 300 kursi parlemen yang diperebutkan, jika saja partai oposisi terbesar, Liga Awami, tidak berlaku curang. Ini diucapkannya Kamis, sehari setelah pemilu, ketika Jatiya unggul dalam penghitungan suara. Tapi Jumat keesokan harinya ternyata oposisi merebut 103 kursi, sedang Jatiya baru memperoleh 81. Stasiun televisi Bangladesh, yang memantau hasil pemilu dari jam ke jam, tiba-tiba saja menghentikan pemantauannya, tanpa penjelasan apa pun. Tapi pihak oposisi tidak tinggal diam. Liga Awami mengancam akan melancarkan aksi mogok 6 jam sebagai protes. Mereka menuduh penghitungan suara sengaja diperlambat, agar Jatiya beroleh peluang lebih besar untuk memanipulasi suara. "Mogok itu ekspresi kemarahan kami terhadap intimidasi dan kekerasan yang dilakukan Partai Jatiya," kata Ketua Liga, Sheikh Hasina Wajed. Dia ini putri Almarhum Mujibur Rahman, presiden Bangladesh pertama yang terbunuh akibat tindak kekerasan politik. Situasi Dalam suasana saling tuduh itu, dikhawatirkan akan terjadi "ledakan", apalagi kalau Jatiya kalah. Situasi yang kian meruncing itu tiba-tiba agak mereda, tatkala penghitungan suara yang kembali diumumkan Sabtu menunjukkan Jatiya dapat mengejar ketinggalannya. Tanpa buang waktu, Ahad esoknya, massa Jatiya turun ke jalan, mengadakan pawai kemenangan berkeliling Dhaka. Saat itu Jatiya unggul dengan 118 kursi Pada penghitungan terakhir, Jatiya ternyata merebut 132 kursi berarti mereka tidak berhasil memenangkan mayoritas dua pertiga. Liga Awami memperoleh 70 kursi, Gerakan Independen 27, Jamaat-e-Ilami 10 kursi, sedang partai-partai oposisi lainnya masing-masing memperoleh kurang dari 5. Sementara itu Komisi Pemilu telah memerintahkan pengulangan pemilu di 36 daerah pemilihan yang terhenti akibat kerusuhan. Kenyataan ini bisa mempersulit posisi Ershad, dalam menjalankan roda pemerintahan maupun dalam menghadapi pihak militer. Tantangan rupanya sudah terasa berat, hingga ia tiba-tiba saja tidak bersedia mencabut UU Darurat seperti yang pernah dijanjikan dalam kampanye. Tokoh moderat yang dianggap punya aspirasi demokratik ini sebaliknya menegaskan, UU Darurat akan terus berlaku sampai pemilihan presiden berlangsung, pada waktu yang akan ditentukan kelak. Ershad rupanya tidak mau ambil risiko. Dengan pemilu memang ia bermaksud membuka peluang lebih layak agar proses konstitusi bisa berkembang. Tapi pada saat yang sama, letnan jenderal yang dianggap tidak punya ambisi politik ini tidak pula rela melepaskan nasib negaranya ke tangan pihak oposisi. Sikap ini sejak dulu telah diperlihatkannya. Ketika Bangladesh diguncang demonstrasi November tiga tahun silam, Ershad segera menempatkan dua tokoh oposisi Sheikh Hasina Wajed dan Khaleda Zia di bawah pengawasan ketat. Khaleda adalah istri Almarhum Jenderal Ziaur Rahman, presiden kedua Bangladesh yang terbunuh pada kudeta berdarah tahun 1981. Kini ia memimpin Partai Nasional Bangladesh, oposisi yang terang-terangan memboikot pemilu. Sekarang, dengan perimbangan suara yang diramalkan akan sama kuat di parlemen, Presiden Ershad secara tidak sengaja telah menciptakan satu masalah baru, pada saat berbagai kesulitan yang ada hampir-hampir tak teratasi. Sejak kemerdekaan diproklamasikan 15 tahun silam, Bangladesh tak ubahnya tong mesiu yang sewaktu-waktu bisa meledak, apakah karena kemiskinan, korupsi, ataupun pertentangan politik. Tapi selama empat tahun di bawah pimpinan Ershad, negeri itu mengalami stabilitas politik dan titik terang ekonomi menyembul juga di sana-sini. Untuk masa empat tahun di muka, misalnya, Bangladesh akan menerima pinjaman US$ 1,4 milyar dari Bank Pembangunan Asia, khusus untuk meningkatkan produksi pangan dan energi. Masalahnya kini, apakah peluang baik seperti ini akan bisa dimanfaatkan atau tidak. Jawabannya terpulang pada Jenderal Ershad. Sesudah berhasil menjalankan pemerintahan militer tanpa tergelincir pada tirani, ia kini diharapkan bisa berbagi kekuasaan dengan oposisi, tanpa mengabaikan pembangunan ekonomi. Caranya? Tidak ada rumus yang siap pakai, tapi menurut Ershad, "Bangladesh tidak bisa diperintah dari atas. Anda harus berada di tengah-tengah rakyat, menjadi bagian tak terpisahkan dari mereka ...." IS Laporan kantor kantor berita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus