Cory Aquino berkunjung ke Jolo, bertemu pemimpin MNLF Nur Misuari. Pembicaraan berlangsung dua jam, berakhir "dalam suasana tulus dan penuh harapan." Ini dianggap terobosan awal ke arah penyelesaian masalah Moro yang sudah berlarut-larut, -- 14 tahun. Kedua pihak sepakat untuk gencatan senjata. Hasil penting lainnya: disusun jadwal perundingan yang akan berlangsung di bawah pengawasan Organisasi Konperensi Islam (OKI). 16 September 1986 Pertemuan di Basilan -- pulau kecil baratdaya Mindanao -- antara wakil pemerintah Filipina, Agapito "Butz" Aquino, dan Sjarif Zain Jali dari MNLF. Disepakati untuk membuka agenda perundingan dan pembentukan sekretariat bersama. 3 Januari 1987 Tim perunding pemerintah Filipina Pimentel dan Butz Aquino -- berunding dengan Nur Misuari di Jeddah. Nur bersedia melepaskan tuntutan kemerdekaan penuh bagi wilayah Muslim di Mindanao. Yang diminta hanyalah otonomi. Tercapai "Jeddah Accord". Pihak MNLF melihat terbukanya kemungkinan untuk memperoleh otonomi bagi 23 propinsi. Tim perunding pemerintah Filipina sepakat, tapi mereka otonomi 23 provinsi itu harus dibicarakan lebih rinci dalam perundingan di babak berikutnya. Kedua tim perunding diberi waktu 90 hari, terhitung sejak 8 Februari 1987. 29 Januari 1987 Tim pemerintah menandatangani gencatan senjata dengan pimpinan MNLF Reformist, Dimas Pundato. Disepakati gencatan senjata di wilayah-wilayah yang dikuasai MNLF Reformist. 8-9 Februari 1987 Babak awal perundingan antara MNLF dan pemerintah Filipina, berlangsung di Manila. Tim MNLF dipimpin Habib M. Hasjim -- kelompok sempalan MNLF Reformist ikut hadir MILF memboikot. Perundingan dihantui oleh kekccewaan Nur Misuari. Masalahnya, Pimentel dan Butz menggunakan Konstitusi Filipina yang baru, sebagai landasan dalam membahas proses otonomi. Padahal, Konstitusi itu tak menguntungkan pihak Moro, bertentangan dengan "Jeddah Accord" dan perjanjian Tripoli. "Hanya 5 provinsi yang diahui sebagai wilayah Muslim yang punya kemungkinan besar untuk beroleh otonomi," keluh Hasjim. Otonomi lima wilayah lainnya akan diberikan setelah referendum. 20 Februari 1987 Pembicaraan dilanjutkan di Zamboanga. Terjadi krisis seputar tiga tuntutan pokok MNLF yang ditolak pemerintah. Tiga tuntutan itu ialah: MNLF berhak atas pembentukan tentara keamanan regional, mengurusi pajak, dan hubungan luar negeri. 23-25 Maret 1987 Ketua tim perunding pemerintah Emmanuel Pelaez menegaskan bahwa pemerintah Filipina berpegang teguh pada Konstitusi, berarti pemberian otonomi Mindanao, hanya mungkin lewat plebisit. MNLF menunjuk perjanjian "Jeddah Accord" yang sudah disepakati. 8 April 1987 Nur Misuari melayangkan surat protes hepada Cory karena basis MNLF di Zamboanga del Sur diserang tentara pemerintah. "Ini pelanggaran pertama terhadap gencatan senjata," tulis Nur. 4 April 1987 Nur Misuari menegaskan bahwa Konstitusi tidak bisa digunakan sebagai landasan dalam perundingan otonomi. "Kami tak mengakuinya," kata Nur tandas. 9 Mei 1987 Batas akhir perundingan 90 hari. Perunding MNLF Habib Hasjim hengkang ke Jeddah dan menantikan utusan perunding pemerintah di sana. Tapi Pelaez berkata soal otonomi Mindanao merupakan urusan intern, jadi harus diselesaikan di dalam wilayah Filipina. Jika kesepakatan tak tercapai lewat jalan damai, kata Hasjim, "saya mengumumkan perang terbuka."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini