Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Gelora perang panjang di mindanao

Upaya perundingan otonomi bangsa moro antara mnlf dan cory menemui jalan buntu. mnlf merasa dikhianati dan menyatakan perang. ada perpecahan di tubuh gerakan moro. nur misuari minta bantuan libya.

8 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH 500 orang gerilyawan Islam itu bergerak dari basisnya di Kepuluauan Jolo. Mereka menyeberang ke Zamboanga del Norte, dan membuka serangan mortir 81 milimeter. Dan senjata pun kembali menyalak di Filipina Selatan, antara orang-orang Moro yang ingin bebas dari kekuasaan Manila dan pasukan pemerintah yang ingin menjaga kesatuan bangsa. Setelah berlangsung enam hari, Kamis pekan lalu pihak Moro maju sedikit: "Kumander" Asbirin Kaladu Kalahudit, dengan 150 pasukan, berhasil menduduki lima desa di Sibuco, Provinsi Zamboanga del Norte. Ikut dihajar depot logistik pasukan Amerika Serikat di Skirmish, tak jauh dari Sibuco. Perintah siaga tingkat tertinggi pun segera diberlakukan di wilayah militer Filipina Selatan. Letnan Kolonel Anthony Elias, bersama pasukannya, Brigade ke-3 Marinir didaratkan 80 kilometer dari Zamboanga City dengan dua kapal patroli dan lindungan helikopter. Kota itu bisa dipertahankan. Zamboanga City, yang pernah dijuluki Kota Bunga, kini memancarkan ekspresi perang. Pukul 19.00 sore, kota itu mati ditelan sepi. Di mana-mana pasukan marinir dan anggota pertahanan sipil gentayangan menenteng senjata otomatis M-16, di antara 5.000 pengungsi yang menyuruk ke kota dari lima desa yang diserang gerilyawan. Akhir pekan lalu, sejumlah rohaniwan Katolik yang diikuti orang-orang tua toh berani melancarkan demonstrasi. Bukan dengan amarah. "Tempuhlah jalan damai, lanjutkan perundingan," bunyi poster yang mereka bawa. Ini memang bukan perang agama dalam arti yang murni. "Kalaupun otonomi diberikan, tak ada masalah dalam kehidupan bersama masyarakat Kristen dan kaum Muslim di sini," ujar salah seorang demonstran Katolik itu kepada Djoko Daryanto dari TEMPO. Demonstrasi itu kemudian diikuti diskusi yang diselenggarakan di Ateneo de Zamboanga University dengan tema "Pembicaraan Damai". Penduduk Zamboanga City umumnya memang tak menyukai perang dan membenci kehadiran marinir dan pasukan pertahanan sipil di sekitar mereka. "Marinir-marinir itu harusnya disikat saja," ujar seorang pemuda, sambil menatap segerombolan anggota marinir yang sedang mabuk. Perang memang sudah berlangsung selama 15 tahun. Namun, selama 7 bulan terakhir -- sampai pekan lalu -- Zamboanga City dan kawasan lain di Mindanao mengalami masa teduh. Pada masa gencatan senjata itu, perang teror dan kerusuhan sirna dari sana. Kini kericuhan datang lagi. Usaha di meja perundingan untuk otonomi Moro menemui jalan buntu setelah pembicaraan paling akhir -- berlangsung lima hari di Jeddah -- pekan lalu gagal mencapai titik temu. Tim pemerintah Filipina, yang dipimpin Emmanuel Pelaez dan Vincent Jayme, begitu kembali di Manila segera membaca situasi. "Perundingan itu sudah gagal," ujar Pelaez. Namun, Emmanuel Pelaez tak urung terkejut ketika mendengar pasukan MNLF (Moro National Liberation Front) kembali melakukan penyerangan. "Sejauh kami tahu, MNLF akan berlaku moderat sementara ini, walau perundingan tak bisa mencapai titik temu," katanya. Dan pernyataan perang, menurut Pelaez, akan ditentukan MNLF setelah berkonsultasi dengan Organisasi Konperensi Islam (OIC) yang menjadi penengah. OIC dikenal tidak membenarkan tmdakan kekerasan. Sikap MNLF tak perlu disangsikan, sudah tegas. Pengumuman perang segera dinyatakan kepada pers di Jeddah, begitu pembicaraan yang disaksikan pejabat-pejabat OIC itu gagal. "Kami sudah memberi kesempatan, tapi pemerintah Filipina ternyata tidak memenuhi deadline dalam mengesahkan otonomi 13 provinsi Moro," ujar Habib Jashim, ketua tim perunding, mengutip kata-kata pemimpin MNLF, Nur Misuari. Pertengahan bulan lalu, Nur Misuari sudah melemparkan ancaman. Pemimpin gerakan Moro itu setengah putus asa menyatakan harapan agar Nyonya Presiden Cory Aquino menurunkan Dekrit Presiden mengesahkan otonomi Moro sebelum Kongres Filipina Pertama dilangsungkan 27 Juli lalu -- inilah deadline itu. "Hanya mukjizat yang bisa menghindarkan pertumpahan darah," ujar Nur Misuari -- yang tentunya tak blsa mengimpor mukjizat. Yang dikhawatirkannya memang terjadi. Sampai Kongres berlangsung -- ketika Dekrit Presiden habis masa berlakunya Cory tidak juga memenuhi permintaan itu. Dalam pidato Kongres, Cory bahkan nyaris tak menyinggung otonomi Moro. Di Jeddah, sikap pemerintah Filipina menjadi tegas lewat mulut Vincent Jayme. "Presiden tak bisa menurunkan dekrit itu, karena pemberian otonomi dalam Konstitusi '86, yang disahkan rakyat lewat referendum, adalah wewenang Kongres," katanya. Sikap yang aneh sebenarnya, karena 15 Juli 1987, Cory justru menurunkan Dekrit Presiden, yang memberikan otonomi pada wilayah Cordirella yang meliputi lima provinsl. Maka, semua pihak pun mahfum, usaha mencari penyelesaian dengan jalan damai di meja perundingan bagi otonomi Moro telah tertutup. Yang tersisa, tak bisa lain, rasa diperlakukan tidak adil yang menggugah rasa permusuhan dan keinginan berperang. Namun, Cory tidak berhenti, seolah yakin jalan damai masih bisa ditempuh. Pekan lalu ia mengumumkan rencana pembentukan Komisi Konsultatif Kepresidenan untuk Otonomi Moro -- terdiri dari 40 ahli yang akan mendampingi Kongres menyusun ketentuan otonomi Moro, sepertiyang sudah ditetapkan dalam Konstitusi '86. Ia juga membentuk tim penasihat bagi masalah keislaman dalam kabinet. Selain itu diberikan pula bantuan tenaga ahli pendidikan, administrasi dan ekonomi bagi provinsi-provinsi yang penduduknya mayoritas Muslim -- termasuk bantuan kepada jaringan Bank Islam. Cory berada di simpang jalan. Kendati terlihat ragu dan gagal mengambil penyelesaian, tak perlu disangsikan presiden wanita itu sebenarnya bersungguh-sungguh memberikan otonomi Moro. Ini konon amanah suaminya, Almarhum Benigno "Ninoy" Aquino. Pada publikasi tentang kebijaksanaan pemerintahannya menghadapi masalah masyarakat Muslim yang dikeluarkan tahun lalu, ia mencantumkan ceramah suaminya di Universitas Kerajaan Abdulaziz, Jeddah 12 Mei 1981. Benigno ketika itu mengimbau pemerintahan Marcos dan Gerakan Moro untuk merundingkan pemerintahan otonomi dan menghentikan pertumpahan darah. "Bila saudara-saudara kita kaum Muslim di Filipina Selatan mau duduk di meja perundingan, saya yakin seluruh masyarakat Kristen di Utara akan mendukung tuntutan hak itu," ujarnya kala itu. Amanah ini pula yang mendasari keputusan Cory untuk terbang ke Lupah Sug, Jolo, di Kepulauan Sulu, September tahun lalu menemui Nur Misuari, menawarkan perundingan. Pada pertemuan itulah tercapai kesepakatan gencatan senjata. Cory berhasil meyakinkan Nur Misuari dan MNLF, otonomi Moro bisa dibicarakan dalam suasana damai. Perjuangan orang Moro untuk mernisahkan diri dari negeri Filipina terbilang sudah sepanjang republik itu. Perang besar yang mengawali sengketa pemenntah Filipina dan gerakan itu pecah tahun 1972 -- ketika Presiden Ferdinand Marcos menetapkan berlakunya UU Darurat Perang di seluruh Filipina. Pada perang itu, 100.000 pejuang Moro tewas dalam pertempuan melawan pasukan pemerintah, sementara Kepulauan Jolo dibombardir habis-habisan. Sejak itu, perlawanan bersenjata kaum Moro semakin beringas dan tak kenal surut. Perang saudara yang sangat berdarah dan berlangsung lima tahun tanpa henti itu reda ketika pada akhirnya pemerintahan Marcos menawarkan perundingan. Pembicaraan dilakukan di Tripoli. Di ibu kota Libya itU dicapai kesepakatan yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian Tripoli. Pada perjanjian itu disepakati pembentukan pemerintahan otonomi Bangsa Moro di Pulau Mindanao, Basilan, Palawan, Kepulauan Sulu, dan Kepulauan Tawi-Tawi -- semuanya mencakup 13 provinsi. Namun, pada kenyataannya, pengesahan pemerintahan otonomi tak pernah dilaksanakan. Bangsa Moro menuduh Manila telah menipu. Tapi mungkin tak semuanya kesalahan pemerintah di Manila. Perpecahan di lingkungan Gerakan Separatis Moro sendiri ikut mempersulit pelaksanaaan otonomi itu. MNLF pecah ke MNLF Reformist yang dipimpin Dimas Pundato dan MILF (Moro Islamic Liberation Front) yang dipimpin Hashim Salamat. Sementara itu, berkiprah pula BMIP (Bangsa Moro Islamic Party) di bawah Firdausi Abbas yang loyal pada pemerintah Republik Filipina. Satuan intelijen Rezim Marcos memanfaatkan perselisihan paham fraksi-fraksi ini untuk menjalankan politik adu domba. Perpecahan ini berlanjut ke masa pemerintahan Cory. Kesepakatan pemerintahan Cory dengan MNLF segera diikuti dengan serangan-serangan pasukan MILF ke sejumlah desa di Provinsi Zamboanga del Sur. Lima bulan kemudian baru kerusuhan itu bisa diatasi. Cory mengirim adik iparnya Margarita "Ting-Ting" Cojuangco yang mengenal baik Kastaf MILF, Al Haj Murad. Setelah keadaan tenang, Nur Misuari mengimbau agar semua fraksi dalam gerakan separatis Moro bersatu memperjuangkan otonomi -- kendati MNLF tak bisa melepas curiga bahwa pemerintahan Cory mengirim Margarita Cojuangco untuk memecah belah. Januari tahun ini, perundingan Pemerintah-Gerakan Moro dirintis kembali di Jeddah dengan OIC sebagai perantara. Di sana dicapal titik temu sementara yang dikenal sebagai Kesepakatan Jeddah. Namun, perunding pemerintah -- ketika itu Butz Aquino tidak cermat mengajukan usul hingga muncul salah paham baru. Kesepakatan Jeddah menyebut 23 provinsi akan dipermasalahkan untuk mendapat otonomi. Pemerintah menganggapnya sekadar kemungkinan, sementara MNLF tentu menilainya lebih serius dari itu. Perundingan dilanjutkan di Manila, tapi alot. Perjanjian Tripoli 1976, dengan ketentuan otonomi 13 provinsi, akhirnya ditoleh kembali. Kesepakatan Jeddah ditinggalkan. Namun, titik temu tidak juga bisa dicapai. Pemerintah, mengikuti ketetapan Konstitusi '86, hanya mau mengakui hak otonomi melalui referendum. Perbedaan paham dalam jumlah provinsi pun menajam. Dengan Emmanuel Pelaez sebagai perunding pemerintah, jumlah provinsi menyusut terus, dari 10 provinsi, belakangan diperkirakan menjadi 5 provinsi saja. Apa yang terjadi dengan Cory dan amanah suaminya, Ninoy? "Cory dikelilingi orang-orang yang tidak bisa dipercaya," ujar Desdemona Tan Nur Misuari, beberapa saat sebelum mengembuskan napasnya yang terakhir di Islamabad, 6 Juli lalu. Istri pemimpin MNLF yang juga aktivis pergerakan wanita MNLF itu mengenal Cory dengan baik. Des, begitu panggilan akrabnya, sangat dikenal di lingkungan Universitas Filipina, tempat ia -- dan hampir semua tokoh politik Filipina -- menyelesaikan studinya. Zakaria Abdullah, pemikir MNLF, dalam sebuah risalah, menilai pemerintahan Cory tak bersungguh-sungguh memberikan otonomi. Selain perunding di pihak pemerintah berganti terus, patokan yang diajukan dalam perundmgan Juga tldak tetap. Prinsip Wilayah dicampuradukkan dengan penilaian mayoritas aama penduduk. Dari sini turun konsepsi bahwa otonomi hanya bisa diberikan pada provinsi yang mayoritas penduduknya Muslim. Menurut Abdullah, sikap tak menentu itu hanya dalih. Alasan yang sebenarnya: pertimbangan ekonomi. Daerah otonomi yang menjadi masalah terlampau berdekatan dengan kawasan agribisnis, yang melibat perusahaan-perusahaan multinasional. Pada akhirnya, gerakan Moro pun patah harapan menghadapi tawaran perundingan Cory. Maka, perang disiapkan. Sebuah surat dengan kategori "rahasia", yang bisa didapatkan wartawan TEMPO Ahmed Soeriawidjaja, menunjukkan MNLF sudah menyiapkan permintaan bantuan senjata seharga US$ 30 juta kepada Libya. Pada daftar permohonan, terlihat persenjataan terbanyak yang diminta adalah senjata otomatis untuk perang gerilya -- juga roket SAM-7 bersama peluncurnya. Persenjataan ini diperuntukan tiga grup pasukan yang masing-masing berkekuatan 2.500 orang (bisa dipecah ke 83 peleton penyerangan berkekuatan 30 orang). Semua kekuatan dirancang didukung 10 tim artileri. Tanpa perlengkapan ini, kemampuan logistik MNLF hanya mampu bertahan selama dua bulan. Tapi perjuangan Moro, bagi Nur Misuari, bukan cuma 60 hari. MNLF sedang menyiapkan sebuah perang panjang. Kini, masihkah tawaran jalan damai Cory mempunyai arti? Jim Supangkat, Laporan Djoko Daryanto (Zamboanga City)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus