NURULLAJI "Nur" Misuari lahir dalam lingkungan masyarakat Tausong, bagian dari suku Tausug di Kota Jolo (baca:Holo), di Pulau Sulu. Orangtuanya tergolong miskin, tapi Nur berhasil lulus dari Sulu High School (setingkat SMA), pada peringkat ketiga. Itu sebabnya ia memperoleh beasiswa, hingga pintu University of Philippines, Manila, terbuka untuknya. Ijazah sarjana muda ilmu politik diraihnya tahun 1963. Nur lalu kembali ke Jolo, mengajar di Muslim College. Bertolak dari latar belakang keluarganya dan pemahaman terhadap keadaan masyarakat sekitar, tak sulit bagi Nur untuk menyadari keterbelakangan warga Muslim di Filipina Selatan. Kembali ke Manila setahun kemudian, pemuda ini melanjutkan studi untuk mencapai gelar sarjana di universitas yang sama. Ketika itulah paham-paharn radikalisme merasuki alam pikirannya. Nur, kemudian, bersama teman-teman sekampus mendirikan organisasi mahasiwa "Kabataang Makabayang" (Pemuda Patriotik) -- organisasi yang bernapaskan paham Marxisme. Pengaruh Mao atas dirinya juga cukup kuat, tapi Nur akhirnya sadar bahwa konsep-konsep dialektika ataupun berdikari itu usang, apalagi jika diuji dengan ajaran Islam yang telah mengakar dalam dirinya. Ia kemudian mengundurkan diri. Tapi pidato-pidato Nur yang banyak menampilkan Bangsa Moro dan penderitaan mereka telah mengundang solidaritas mahasiswa. Tak hanya dari kalangan Muslim, tapi juga dari kelompok Kristen Mindanao. Pengaruh Nur meluas, citra dirinya pun tercetak. Ia dikenal sebagai tokoh "sekuler yang nasionalis". Setelah menggondol gelar Master dalam Ilmu Politik, Nur menjadi pengajar di alma maternya. Tapi tahun 1966 ia mengambil keputusan besar: berjuang demi perbaikan nasib saudara-saudaranya di Filipina Selatan Nur mendirikan Liga Nasionalis Muslim Filipina (PMNL), dan menerbitkan Philippine Muslim News, corong PMNL. Pada tahap berikutnya, Nur merasa yakin bahwa perbaikan nasib Bangsa Moro harus dilakukan melalui perjuangan senjata. Bersama teman-temannya, antara lain Hashim Salamat dan Dimas Pundato, ia menempuh latihan militer di Sabah, atas sponsor Tun Mustapha (ketika itu menteri negara bagian Sabah). Inilah cikal bakal Tentara Bangsa Moro (BMA), sayap militer organisasi MNLF yang dibentuk Nur Misuari pada tahun 1969. Nur Misuari sudah bulat tekad, membaktikan dirinya demi perbaikan hidup bangsa Moro di Filipina Selatan. Bak legenda hidup, ia tampil bagaikan "Singa dari Selatan". Wajahnya dihiasi berewok hitam pekat, sorot matanya tajam, gaya bicaranya berapi-api. Ikat kepalanya merah, ciri khas yang menyatu dengan pas. Di tengah pasang surut perjuangan MNLF, hobi Nur pada musik, khususnya penyanyi Nat King Cole, tak berkurang. Tak jarang ia bersenandung, Once upon a time atau A girl with moonlight in her eyes. Adapun wawancara Ahmed Soeriawidjaja dari TEMPO dengan tokoh MNLF itu berlangsung ketika ia berada di Islamabad, menghadiri pemakaman istrinya, Desdemona Tan, yang meninggal karena serangan jantung, Juli berselang. Percakapan berlangsung hampir satu jam, lewat saluran telepon internasional Manila -- Islamabad. Di bawah ini petikannya: Mengapa perundingan tentang otonomi antara MNLF dan pemerintah Filipina terbentur jalan buntu? Begini, tuntutan kami sebenarnya adalah pelaksanaan otonomi pada 23 provinsi, seperti tertuang dalam "Jeddah Accord" (1987). Dalam perjanjian itu, tercakup pula implementasi otonomi seperti yang tercantum dalam perjanjian Tripoli (1976). Menurut Tripoli Agreement, kami berhak atas otonomi pada 13 provinsi, tanpa melalui plebisit. Sedangkan dalam "Jeddah Accord" pemerintah Filipina sepakat mewujudkan perjanjian Tripoli, ditambah otonomi kepada 10 provinsi lainnya, pada tahap berikut. Semua wilayah otonomi itu tetap berada di bawah kedaulatan Republik Filipina dan kami tetap merupakan bagian dari Filipina. Persoalan timbul karena implementasi otonomi pada 23 provinsi kemudian tidak diakui Manila. Mereka hanya bersedia memberi otonomi kepada 10 provinsi, seperti tercantum dalam konstitusi Filipina yang baru. Anda tahu, kami tak pernah diikutsertakan dalam proses penyusunan konstitusi Filipina itu. Kami tak pernah ambil bagian bahkan pertimbangan dari kami pun tak diminta. Konstitusi dibuat oleh sekumpulan orang yang ditunjuk Cory. Mereka diberi wewenang mengatur otonomi di Mindanao tanpa mengikutsertakan kami. Ini tidak adil. Lewat konstitusi itu, Cory hendak menyangkal eksistensi kami. Mereka sebenarnya tidak mau mengakui hak-hak Bangsa Moro. Malah mereka melestarikan kekuasaan kolonial di kampung halaman kami. MNLF tak pernah mengakui konstitusi Filipina yang baru itu. Semula Cory bersikap sangat tulus ketika berkunjung ke Maimbung di Jolo tahun lalu. Tapi apa yang terjadi sekarang? Mereka malah mengkhianati "Jeddah Accord". Itu sebabnya kami tak berhasil dalam perundingan otonomi ini. Kami tak lagi bisa menghargai pemerintah Filipina. Dan Cory tak lagi tulus pada kami. Bagaimana komentar Anda tentang sikap Manila dalam soal otonomi, juga tentang berubah-ubahnya tim perunding pemerintah, dari Butz, Pimentel, terakhir Pelaez? Sebenarnya tak ada hint dan sign yang serius dari Manila unuk mengatasi masalah tonomi Mindanao. Malah di sini saya ingin mengatakan pada Anda, justru pemerintah sudah memprovokasi kami berulang kali. Setidaknya dalam beberapa bulan terakhir ini, sudah tujuh kali mereka menyerang perkampungan penduduk sipil dan membunuhi orang-orang kami. Juga basis-basis militer kami tak luput dari serangan, mulai dari Zamboanga, Davao del Norte, Lanao del Sur, Zamboanga del Norte dan Palawan. Sekarang malah mereka menyerang Cota bato. Rumusan dalam perjanjian Tripoli tentang pelaksanaan otonomi sebenarnya jelas dan terinci. Jelas sekali! Tak ada dalih untuk tak mengerti. Perjanjian Tripoli dibuat dalam tiga bahasa: Arab, Inggris, dan Prancis. Jadi, mau apa lagi pemerintah memaksakan konstitusi baru yang memang tak pernah kami sepakati ? Adalah buang-buang waktu saja ketika "Jeddah Accord" dirumuskan oleh Butz dan Pimentel. Kenapa tim perunding pemerintah tiap kali diganti? Saya tidak mengerti. Buat Pimentel dan Butz, mungkin, jabatan senator lebih penting ketimbang menyelesaikan masalah Moro. Sekarang Pelaez. Dia tak punya otoritas menyatakan bahwa ia bagian dari Bangsa Moro. Boleh saja dia mengklaim dirinya berasal dari Mindanao. Tapi . . . ia lebih banyak menghabiskan waktunya di Amerika Serikat (sebagai duta besar). Bagaimana mungkin dia memahami penderitaan Moro. Sikap Anda sekarang bagaimana? Harus selalu diingat, Mindanao dan rakyatnya merupakan suatu kesatuan. Bangsa Moro juga suatu kesatuan. Pemerintah setuju bahwa Mindanao dan masyarakatnya adalah suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Tetapi, belakangan, mereka berubah haluan. Sikapnya tak lagi begitu. Bagi kami sekarang masalahnya sudah jelas. Kini kami berperang untuk merebut kemerdekaan. Tuntutan kami semula adalah Mindanao menjadi negara merdeka. Tapi kami melunakkan tuntutan kami, hanya wilayah otonomi atas 23 provinsi. Nah, apa yang tcrjadi? Pemerintah mulai melakukan manipulasi dan manuver-manuver licik. Posisi kami sekarang payah, square one. Kalau saja kami bisa mendirikan suatu negara merdeka, saya yakin banyak negara Islam akan mendukung kami. Mungkin karena ada tuntutan yang mencoba memisahkan Mindanao dari Filipina, maka pemerintah enggan memberikan otonomi? Yah, inilah yang disebut dengan kesintingan politik. Siapa bilang "otonomi" itu sama dengan "merdeka"? Saya sungguh tak mengerti bagaimana bisa dikatakan bahwa kedua istilah itu sama. Otonomi bukan berarti memisahkan diri! Anak yang berpendidikan sekolah dasar pun paham (nadanya meninggi). otonomi dimaksudkan untuk mempertahankan kelangsungan Bangsa Moro, yang juga bagian dari Filipina. Otonomi bukanlah perpecahan total, hanya kekuasaan lokal bcrada di tangan Moro. Cory Aquino tetap menjadi presiden kami. Di samping itu, mereka (pemerintah Filipina) menuduh MNL dipimpin seorang diktator, yang nantinya akan memimpin pemerintahan otonomi. Saya tidak mengerti, mengapa saya dituduh begitu. This is very stupid!. Ini taktik untuk membingungkan rakyat Moro. Bagaimana mungkin ada diktator, sementara kekuasaan dan otoritas tak pernah diberikan kepada saya. Inilah yang saya katakan sebagai kesintingan politik!. Pemerintahan otonomi seperti apa yang Anda cita-citakan? Pemerintahan dengan aparat yang otonom, dipimpin oleh seorang menteri negara, dengan kabinet kecil dan parlemen regional serta tentara yang menjaga daerah otonom. Rakyat Moro dapat mengembangkan kebudayaan dan menjalankan syariat agamanya secara bebas. Pokoknya, bentuk otonomi yang kami tuntut itu sudah tercantum secara rinci dalam perjanjian Tripoli. Tentang perpecahan dalam tubuh MNLF, faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebabnya? Ini merupakan sisa peninggalan zaman Marcos. Semasa berkuasa, Marcos menjalankan politik adu domba. Dia mcnyiapkan dana jutaan dolar untuk melakukan infiltrasi dan memccah-belah pemimpin MNLF dan rakyat kami. Mereka berhasil. Ketika Cory berkuasa, ia kemudian tahu senjata rahasia Marcos itu. Kelompok sempalan yang sudah disusun oleh Marcos digunakan lagi oleh Cory. Bagaimanapun kelompok-kelompok sempalan ini tak pernah terlibat dalam pertempuran melawan kolonialisme di Mindanao. Mereka justru menyerang tentara MNLF. Boleh Anda tanyakan kepada Tapia (Komandan Miiiter SouthCom AFP). Kalau jujur, dia akan mengatakan yang sebenarnya Kelompok sempalan itu justru memerangi saudaranya sendiri sesama Muslim. Hanya MNLF yang tak pernah memerangi bangsanya sendiri. Situasi ini tentu tak menguntungkan. Apa Anda bisa mengakolnodasikan kepentingan kelompok-kelompok sempalan itu? Bagi MNLF, pintu tetap terbuka buat orang yang pernah meninggalkan kami. Tapi, kami tak mau lagi diinfiltrasi oleh agen pemerintah. Sebagian dari kelompok sempalan itu malah disogok oleh Tingting Cojuangco. Pada kami ada bukti berupa rekaman pembicaraan telepon antara Tingting Cojuangco dan seorang pejabat kedubes Amerika Serikat di Manila. Ting-ting bertindak membiayai semi palan itu. (TEMPO menerima rekaman Tingting dari seorang intelijen MNLF. Isinya mengenai biaya perjalanan kelompok MILF yang dipimpin Hashim Salamat. Juga mengenai rencana dan strategi pemerintah Filipina dalam menghadapi perundingan dengan MNLF). Apa rencana dan cita-cita Anda selanjutnya? Kami akan terus berjuang Jihad Fisabilillah, sampai pemerintahan Bangsa Moro terbentuk. Yang terpenting adalah membuka peluang rakyat Moro untuk menentukan masa depannya. Negara-negara kecil di Pasifik sudah lebih dulu berhasil. Ada delapan negara merdeka di sana yang penduduknya tak iebih dari 350 ribu jiwa. Wilayah mereka tak lebih besar dari Mindanao. Tapi mereka merdeka dan berdaulat. Mindanao jauh lebih besar, memiliki cerdik pandai yang siap mengatur dan mengurus tanah air. Jadi, yang Anda inginkan sebuah negara merdeka? Apa boleh buat, tak ada pilihan lain. Kami tak beroleh otonomi, kami sudah membatasi tuntutan, tapi tak dihiraukan oleh pemerintah Filipina. Tak ada pilihan lain, Saudara! Coba, apa yang bisa kami lakukan tanpa otonomi. Tentang peranan negara-negara Islam yang tergabung dalam OIC? MNLF sudah diakui sebagai anggota OIC. Hanya sangat disayangkan, banyak negara Islam yang termakan propaganda. Setelah gagalnya perundingan dan timbulnya kekacauan di Mindanao, mereka mengira itu disebabkan ulah MNLF. Kami merasa dipencilkan dari Dunia Islam. Semula OIC tak mengerti mengapa kami berperang. Saya katakan kami berjuang untuk memperoleh kemerdekaan, karena tak lagi memiliki peluang untuk memperoleh otonomi. OIC mengajak kami menempuh jalan damai lewat perundingan. Kami ikuti ajakan itu. Tapi, persis di depan hidung mereka, perundingan gagal. Sekarang OIC tak punya dalih untuk menolak cita-cita kemerdekaan kami dan tak punya alasan untuk tidak mendukung kami. Masih adakah harapan untuk berunding kembali dengan pemerintah Filipina? Sebagai muslim, kami harus selalu optimistis. Tapi, saya kira, tak ada lagi peluang untuk itu. Pemerintah sudah lari dari komitmennya. Percuma. Kalau toh ada perundingan, Filipina tak lagi mempercayakan pengawasan IOC.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini