DI pentas politik Amerika Serikat ia masih terhitung "anak bawang". Kelebihannya cuma: muda, tampan, dan kaya raya. Itulah Senator James Danforth (Dan) Quayle III, 41 tahun, calon pendamping yang dipilih George Bush untuk membawa panji Partai Republik dalam pemilihan presiden November depan. Tak lama setelah Quayle dinyatakan sebagai kandidat wakil presiden dalam Konvensi Partai Republik di New Orleans, dua pekan lalu, pers Amerika langsung mengendus latar belakang kelabu dari senator yang tak banyak dikenal itu. Ia tidak pernah dikirim bertempur ke Vietnam pada 1970-an. Quayle, yang dicap "kurang patriotik", dituduh sengaja menghindari tugas ke Vietnam dengan cara mendaftarkan diri sebagai anggota National Guard. Untuk dapat diterima sebagai anggota pasukan yang bertugas di garis belakang itu, kabarnya, Quayle menggunakan pengaruh kuat keluarganya yang kaya buat mendapatkan peluang tersebut. Adalah Mayjen. Wendel Philippi yang diminta mengontak teman-temannya yang bertugas di National Guard pada 1969 untuk menolong Quayle. Imbalannya: Philippi kemudian diangkat menjadi redaktur pelaksana pada salah surat kabar milik keluarga Quayle. Betulkah Quayle memakai tangan lain agar bisa berdinas di National Guard? "Tak seorang pun saya minta untuk memberi perlakuan khusus yang memang tak diperlukan," begitu bantahan Quayle di depan peserta Konvensi Veteran Perang Amerika di Chicago, Senin pekan lalu. Untuk memperkuat bantahan Quayle, tim kampanye Partai Republik mengedarkan pernyataan John Owen, bekas ajudan jenderal National Guard Indiana, dan Robert Moorehead, bekas komandan divisi National Guard. Isinya: "Sepanjang yang kami ketahui, Quayle tak memakai pengaruh orang lain agar terpilih sebagai anggota National Guard." Bantahan itu ternyata tak membuat gunjingan terhadap Quayle reda. Surat kabar Des Moines Register, salah satu koran berpengaruh di wilayah tengah Amerika, sehari setelah Quayle membantah tuduhan "kurang patriotik" atas dirinya, bahkan menganjurkan Bush mengganti kandidat wakil presiden. Surat kabar independen itu memperingatkan bahwa Quayle bisa menjadi faktor yang dapat menggagalkan kemenangan Partai Republik. "Kita seperti diingatkan kembali pada Perang Vietnam, yang kebanyakan melibatkan orang-orang miskin dan pemuda kulit hitam. Sedangkan anak-anak keluarga kaya umumnya berhasil menghindari medan tempur," tulis Des Moines Register. Tak cuma itu cacat Quayle yang jadi gunjingan. Ayah tiga anak tersebut juga dituduh pernah mengajak tidur Paula Parkinson, seorang pelobi di Washington. Paula sebelumnya pernah terlibat skandal dengan rekan Quayle di Kongres, Tom Evans, yang kemudian terpaksa mengundurkan diri sebagai wakil rakyat. Menurut Paula, yang berpose telanjang untuk majalah Playboy terbitan November depan, Quayle merayunya di sebuah rumah di Florida, yang dipakai sejumlah anggota Kongres untuk berlibur pada 1980. Keduanya memang tak sampai naik ranjang, karena Paula waktu itu sedang asyik dengan Evans. Gunjingan dengan Paula itu membuat Quayle mencak-mencak lagi. Ia membantah keras pernah merayu Paula, sekalipun mengakui berlibur pada saat dan di rumah yang sama dengan wanita itu. Saat di Florida itu, kata Quayle, waktu liburnya dihabiskannya untuk main golf. "Para pemilih tidak akan terpengaruh oleh gosip dan kebohongan," kata Quayle jengkel. Ia mungkin benar. Pengumpulan pendapat yang dilakukan oleh jaringan televisi Amerika, NBC, minggu lalu, memang menunjukkan keunggulan pasangan Bush-Quayle atas kandidat Partai Demokrat, Dukakis-Bentsen. Calon Partai Republik itu unggul enam angka atas lawan mereka yang cuma mendapat suara 40%. Mengapa Bush memilih Quayle sebagai pendamping? Kuat dugaan, senator tampan dari Indiana itu diharapkan bisa menutupi kelemahan Bush, 63 tahun, dalam menarik simpati generasi muda dan kaum hawa. "Quayle bakal menarik simpati cewek, karena ia tampak jujur, berperasaan, dan terutama tampangnya menarik," kata seorang pengamat. Selain tampan, Quayle, yang lahir di Indianapolis, 4 Februari 1947, juga penuh keberuntungan. Sejak kecil ia bisa mendapatkan apa saja yang diinginkannya. Karena itu, ia tak begitu tekun di bangku sekolah. Quayle lebih suka bermain-main ketimbang belajar. Bahkan ketika menjadi mahasiswa jurusan ilmu politik di Universitas Depau, ia lebih banyak terlihat di lapangan golf daripada di bangku kuliah. Tak heran jika ia selalu lulus dengan nilai pas-pasan. Tahun 1969, sewaktu pemuda sebayanya dikirim ke Vietnam, Quayle diterima di National Guard. Setelah itu, ia juga mendapat tugas yang ringan di kesatuannya. Maka, Quayle dapat mengikuti kuliah hukum di Universitas Indiana pada malam hari. Seusai masa dinas di National Guard, Quayle terjun dalam kegiatan bisnis keluarga: dunia pers. Mula-mula ia menjadi reporter hukum, setelah itu menjabat associate publisher, dan kemudian meningkat menjadi manajer umum pada Huntington Herald Pers, perusahaan keluarga yang mengelola sejumlah penerbitan. Tahun 1976, Quayle ditawari pimpinan Partai Republik untuk mengikuti pemilihan anggota DPR. Itulah awal kariernya di panggung politik. Dasar nasibnya mujur: ia memenangkan kursi wakil rakyat itu dengan mudah. Tiga tahun kemudian, Quayle kembali membuat kejutan: ia menantang senator yang lebih senior dalam pemilihan anggota Senat, dan terpilih mewakili Negara Bagian Indiana. "Padahal, tak seorang pun waktu itu menganggap serius pencalonan Quayle," ujar bekas anggota Kongres, Floyd Fithian. Quayle bahkan kemudian terpilih kembali untuk periode kedua di Senat. Selama di Senat, menurut rekan-rekan separtainya, Quayle memang bisa berdebat, tapi argumentasinya kurang berbobot dan gampang ditebak sejak awal. Quayle, kata mereka, kurang intelek. Itulah Quayle, calon wakil presiden termuda dalam sejarah Amerika. Farida Sendjaja dan Zulkafly Baharuddin (Washington DC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini