FARID, putra Moh. Sirajuddin alias Pak De, kini benar-benar bersih dari tuduhan terlibat dalam kasus ayahnya, yang dianggap terbukti membunuh Dice Budiasih dan Nyonya Endang Sukitri. Mahkamah Agung, baru-baru ini, mengukuhkan keputusan praperadilan yang menyatakan bahwa penahanan Farid oleh polisi itu tidak sah. Selasa pekan lalu. Farid menerima putusan Mahkamah Agung (MA), yang tidak menerima permohonan kasasi Polda Metro Jaya. "Sesuai dengan KUHAP, untuk putusan praperadilan tak dapat dimintakan kasasi," kata Purwoto S. Gandasubrata ketua majelis hakim agung yang memeriksa perkara tersebut. Berdasarkan putusan itu, kccuali penangkapan dan penahanan terhadap Farid dianggap tidak sah, anak Pak De itu juga dinyatakan berhak mendapatkan ganti rugi Rp 200 ribu, yang harus dibayar dari kas negara. Pada Desember 1986, Farid diciduk petugas-petugas Polda Metro Jaya dari rumahnya di Kampung Susukan, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Ia bersama saudaranya, Kuspriyanto, diduga membant Pak De membunuh Nyonya Elang, seorang janda pengusaha bahan bangunan di Depok Timur, Bogor. Selain kasus itu, Pak De ketika itu ditahan di Polda Metro Jaya karena kasus pembunuhan Dice -- Pak De divonis 12 tahun penjara dalam perkara Endang dan seumur hidup untuk perkara Dice. Kedua anaknya, Farid dan Kus, sempat mendekam selama 20 hari di tahanan Polres Bogor dan empat hari di tahanan Polda Metro Jaya, sebelum dilepaskan kembali. Rupanya, pihak penyidik tak memproleh cukup bukti untuk membawa kedua anak Pak De itu ke pengadilan. Proses penangkapan dan penahanan itu yang belakangan dianggap Farid tidak sah. Sebab, dalam tuduhannya, penangkapan terhadap dirinya itu dilakukan polisi tanpa surat perintah, dan bahkan tanpa permisi dari ketua RT. Berdasarkan itu, Farid melalui pengacara Luhut M.P. Pangaribuan dan Pipien Uniekowat dari LBH Jakarta mempraperadilankan Polda Metro Jaya dan menuntut ganti rugi Rp 3 juta. Hakim M. Anas Chas, yang memeriksa praperadilan itu di Pengadilan Negeri Jakarta Timur April tahun lalu, memenangkan Farid. Pihak Polda dihukum hakim membayar ganti rugi Rp 200 ribu dan merehabilisasikan nama baik Farid. Sebenarnya, dengan keputusan itu Farid sudah mutlak memenangkan praperadilan tersebut. Sebab, hukum acara (KUHAP) menyebutkan putusan praperadilan tak bisa dibanding atau dikasasi. Tapi pihak Polda Metro Jaya, yang diwakili Lettu. Pol. Jeldi Ramadhan, tak puas atas putusan hakim dan mencoba sebuah "terobosan" baru dengan mengajukan kasasi. Dalam memori kasasinya, Polda menganggap seharusnya pengadilan menolak permohonan praperadilan itu. Sebab, menurut Polda, pihaknya menahan Farid atas dasar bukti permulaan yang cukup tentang keterlibatan terdakwa dalam perkara pembunuhan Nyonya Endang. Majelis hakim agung yang diketuai Purwoto S. Gandasubrata, Juni lalu, ternyata tidak menerima kasasi Polda. Menurut para hakim agung itu, praperadilan untuk soal penangkapan dan penahanan tak dapat dimintakan banding, apalagi kasasi. Sebab, proses praperadilan -- sebagai pengawasan horisontal dari pengadilan terhadap instansi penyidik dan penuntut -- harus cepat. Kuasa Polda Metro Jaya, Lettu. Jeldi Ramadhan, mengaku belum menerima putusan MA itu. Pihaknya, katanya, kemungkinan akan menempuh upaya luar biasa berupa peninjauan kembali (PK) terhadap vonis Mahkamah Agung itu. "Peraturan tentang praperadilan itu 'kan belum jelas," begitu alasan Jeldi menempuh upaya luar biasa itu. Sebaliknya, kuasa Farid, Luhut M.P. Pangaribuan, menyatakan puas atas vonis itu. "Agar polisi lebih hati-hati dalam merampas kemerdekaan seseorang," ujar Luhut. Hanya saja, pengacara itu menyayangkan proses kasasi tersebut, yang memakan waktu 16 bulan. "Nilai uang ganti rugi itu, antara vonis pengadilan dan Mahkamah Agung, tentu sudah berubah," ujarnya lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini