BISAKAH hakim atau pengadilan digugat? Sengkon dan Karta terpidana yang sempat dipenjara 6 tahun tapi belakangan terbukti tak bersalah -- gagal menggugat hakim. Sebab, selain sudah ada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), yang tak membenarkan hakim digugat, pengadilan pun sependapat bahwa hakim dalam menjalankan tugasnya kebal terhadap gugatan. Sebab itu, agak mengagetkan jika pekan-pekan ini ketua Pengadilan Negeri Simalungun digugat oleh Pengacara Nurkatidjah, mewakili seorang pencari keadilan yang merasa dirugikan pengadilan tersebut. Tak tanggung-tanggung Nurkatidjah menganggap hakim dan ketua Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara, telah melenceng dalam menangani perkara kliennya, keluarga mendiang Karmen Silitonga. Hakim, katanya, telah memproses perkara tersebut tanpa diketahui si tergugat, Karmen. Kendati begitu, pengadilan kemudian memutus perkara itu secara verstek (tanpa kehadiran Karmen), untuk kekalahan tergugat. Bahkan ketua Pengadilan Negeri itu, tambah Nurkatidjah, telah mengeksekusi lelang harta kekayaan Karmen, walaupun perkaranya belum mendapat putusan yang berkekuatan tetap. Yang dimaksud Nurkatidiah adalah perkara kredit Karmen, yang meninggal pada 21 September 1987, di Bank Surya Nusantara (BSN), Cabang Pematangsiantar. Pada November 1980, Karmen memperoleh kredit jangka setahun sebesar Rp 2,7 juta dari BSN dengan jaminan sebidang sawah 1,137 hektar, rumah berikut tanah 168 m2, dan sebuah kilang padi. Perjanjian kredit itu dituangkan dalam Grosse Akta -- artinya bisa dieksekusi seketika tanpa perlu menunggu proses persidangan perdata. Ternyata, sampai Desember 1983, Karmen tak mampu membayar kredit yang telah membengkak menjadi Rp 4,4 juta itu. Sementara itu, melalui harian Sinar Indonesia Baru, Badan Urusan Piutang Negara mengumumkan akan melelang harta kekayaan milik Karmen tadi. Sebab, Karmen rupanya juga menjaminkan hartanya untuk memperoleh kredit Rp 27 juta dari BRI setempat. BSN, yang merasa lebih berhak atas jaminan itu, buru-buru mengajukan perlawanan (verzet) ke Pengadilan Negeri Simalungun. Bank swasta itu meminta pengadilan membatalkan rencana lelang. Seandainya harta Karmen itu harus dilelang juga, BSN meminta pihaknya dlpnorltaskan untuk melakukan penawaran -- karena BSN memiliki Grosse Akta atas harta itu. Hakim G.M. Harahap, Maret 1984, mengabulkan permohonan BSN. Hanya saja, anehnya, baru pada 13 Agustus lalu, atau empat tahun kemudian, surat pemberitahuan putusan ini sampai ke tangan Lukertina boru Silitonga, putri kelima Karmen. Tentu saja tenggang waktu 14 hari untuk naik banding sudah lama lenyap. Padahal, Mei 1984 Ketua Pengadilan Negeri Simalungun, Parluhutan Siregar, telah mengeluarkan penetapan sita eksekusi. Dalam penetapan ini disebutkan, Karmen tak memenuhi panggilan dan peringatan (aanmaning) yang dikeluarkan pengadilan pada 28 April 1984. Padahal, "Aanmaning yang tak ditandatangani itu tak pernah sampai ke alamat Karmen," ujar Nurkatidjah. Setelah itu, Parluhutan, lewat penetapan tanggal 27 Oktober 1984, mengeksekusi putusan yang dinyatakan verstek tadi. Ia juga memerintahkan harta Karmen dilelang untuk melunasi kredit di BSN, yang telah menjadi Rp 6,4 juta. Menariknya, pemenang lelang adalah Baris Napitupulu, yang notabene adalah pegawai BSN, dengan harga Rp 2,3 juta. Tapi sarnpai kini Baris hanya bisa mengambil alih kilang padi Karmen. Sebab, keluarga Karmen tetap mempertahankan rumah dan sawahnya. Namun karena pengadilan terus menuntut penyerahan harta itu Karmen akhirnya mengadukan persoalan ke MA, Menteri Kehakiman, serta Pengadilan Tinggi Medan. Apalagi keluarga Karmen mencium berbagai kejanggalan di balik proses perkara itu. Menurut juru sita pengadilan, Fachrian Zulher, lelang sebenarnya berlangsung tanpa secarik pun surat penetapan ketua pengadilan. "Penetapan tanggal 27 Oktober 1984 itu dibuat setelah ada protes dari keluarga Karmen," ujar Fachrian. Bekas Panitera Kepala Pengadilan Negeri Simalungun, Imbalo Sri Hutasuhut, juga membuka "kartu" bahwa selama pemeriksaan perkara itu, Karmen memang tidak pernah dipanggil. Pemberitahuan putusan, kata Imbalo, juga dimanipulasi dan disampaikan setelah pihak keluarga Karmen ribut. "Padahal, pemberitahuan putusan itu tak ada gunanya lagi, karena hartanya sudah dilelang," kata Imbalo, yang kini dipindahkan ke Kanwil Kehakiman Sumatera Utara. Itu sebabnya, pihak keluarga Karmen, melalui Pengacara Nurkatidjah, bersikeras memperkarakan Parluhutan Siregar. Tapi pendaftaran gugatannya, Oktober silam, ditolak Parluhutan. Alasannya, menurut SEMA No. 9/1976, ketua pengadilan tak bisa digugat. Jawaban senada juga diterima Nurkatidjah dari Pengadilan Tinggi. Surat edaran Mahkamah Agung 16 Desember 1976 itu memang dimaksudkan untuk menjamin asas kebebasan hakim dalam melaksanakan tugas peradilan. Menurut Wakil Ketua MA, Purwoto S. andasubrata, hakim dalam menjalankan tugasnya memang tidak bisa digugat. Kecuali, tentu, kalau hakim itu secara pribadi terlibat utang-piutang, misalnya. "Lha, kalau hakim bisa digugat, nanti semua orang melakukannya. Padahal, pengadilan itu benteng terakhir dalam memutuskan suatu perkara," kata Purwoto. Tapi Nurkatidjah, 45 tahun, rupanya pantang mundur. Ia mengadukan persoalan itu ke Mahkamah Agung. Lewat surat tanggal 17 Maret lalu, Ketua MA, Ali Said ternyata tidak membenarkan penolakan pendaftaran gugatan Nurkatidjah itu. Berdasarkan itu, Nurkatidjah langsung menggugat Parluhutan, baik sebagai ketua pengadilan maupun hakim. Parluhutan bersama Fachrian, Kantor Lelang Negara, BSN, serta Baris Napitupulu dituntut Nurkatidjah agar membayar ganti rugi kepada keluarga Karmen sebesar Rp 155 juta. Ketua Pengadilan Negeri Simalungun, Parluhutan Siregar, menyatakan siap menghadapi gugatan itu. "Kalau gara-gara perkara itu saya jatuh dan dipecat, saya sudah siap," kata Parluhutan. Happy S. dan Sarluhut Napitupulu (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini