Nigeria dilanda kebingungan. Meriah karena kemenangan pemilu, tapi pada saat yang sama di bagian lain ada yang memprotes karena tak setuju dengan kemenangan itu. Nun di barat daya Nigeria, puluhan massa dengan wajah sumringah berjoget dan bernyanyi di luar rumah Olusegun Obasanjo di Abeokuta. Obasanjo larut dalam kerumunan itu. Para wanita mengerumuni dan memeluknya untuk merayakan kemenangan sang jenderal purnawirawan dalam pemilihan Presiden Nigeria yang berlangsung Sabtu, 27 Februari lalu. Hakim Ephraim Akpata, Ketua Komisi Pemilihan, telah mengumumkan secara resmi kemenangan Obasanjo, yang memperoleh 18,7 juta suara atau 62,78 persen, terhadap pesaing utamanya, bekas Menteri Keuangan Olu Falae, yang memperoleh 11,1 juta suara atau 37,22 persen.
Tapi, pada saat yang sama di Lagos, sekelompok anak muda yang tergabung dalam Oduda, kelompok militan pendukung Falae, menyerang dua kantor polisi. Mereka membawa bom molotov dan mengacungkan senjata api sembari melambai-lambaikan saputangan putih yang dipercayai mampu melindungi diri dari peluru. Sebelum membakar dua kantor polisi itu, mereka menyeret dan memukuli anggota polisi. Akibatnya, satu orang polisi meninggal dan empat lainnya luka parah.
Aksi kekerasan semacam itu sebelumnya memang membayangi pemilihan presiden di Nigeria yang dipantau oleh pengamat internasional di bawah pimpinan bekas presiden Jimmy Carter. Maklum, negara berpenduduk 110 juta jiwa ini terpuruk dalam konflik politik yang tajam yang berlatar belakang perbedaan etnis. Setidaknya Nigeria memiliki 250 suku dengan pucuk elite politik yang bernafsu menggantikan pemerintahan rezim militer. Terpilihnya Obasanjo, seorang jenderal purnawirawan, diharapkan mengakhiri pemerintahan rezim militer sejak Jenderal Sani Abacha memerintah secara diktatorial. Selama 15 tahun pemerintahan Abacha, Nigeria mengalami kebangkrutan karena praktek korupsi yang parah dan kematian akibat teror terjadi di mana-mana. Korupsi merajalela di sektor minyak, sehingga Nigeria kini mengimpor minyak. Padahal Nigeria pernah menjadi negara keenam penghasil minyak terbesar.
Setelah kematian Abacha secara mendadak akibat serangan jantung pada Juni tahun lalu, penggantinya, Jenderal Abdulsalam Abubakar, segera membebaskan tahanan politik dan menyatakan akan mengakhiri pemerintahan militer lewat pemilu, yang baru saja berlangsung ini. Rakyat pun menari-nari di jalanan. Kehidupan politik sipil marak kembali. Dan Obasanjo yang baru saja pensiun dari tentara mengajukan diri dalam pemilihan presiden.
Tapi, itu tadi, Obasanjo bukanlah orang yang bisa diterima semua pihak. Meski ia berasal dari suku Yoruba, yang merupakan kelompok etnis elite di kawasan utara Nigeria, banyak pejabat militer senior dari suku Yoruba yang tidak menyukainya. Tak kurang saingannya, Falae, yang juga berasal dari suku Yoruba, menuduh Obasanjo telah melakukan kecurangan dalam pemilu. Falae menuduh Obasanjo memainkan politik uang lewat dukungan pengusaha kaya Nigeria. Untuk itu, Falae berencana menggalang aksi protes menentang hasil pemilu. ''Kami akan melawan dengan segala cara, baik secara konstitusional, secara legal, maupun secara politik," ujar bekas menteri keuangan ini. Obasanjo sendiri memang mengakui, terjadi ''kekacauan" dalam pemungutan suara. ''Tapi itu dilakukan oleh orang-orang yang tidak tahu," kata Obasanjo, yang menjadi peternak babi sejak pensiun dari militer pada usianya yang ke-62 tahun.
Sebagai orang yang pernah terlibat dalam rezim militer, sebenarnya Obasanjo bukanlah figur yang suka melanggar hak-hak sipil. Ia justru dikenal sebagai pengkritik keras kerakusan dan kekejaman penguasa militer Nigeria. Untuk ''kelancangannya" itu, ia sempat divonis 25 tahun penjara oleh Presiden Abacha. Tapi ia dibebaskan karena Abacha meninggal delapan bulan lalu. Selain itu, ketika menjadi Presiden Nigeria pada 1975 hingga 1979, ia sempat memecat belasan pejabat militer. Tapi reputasi miring kelompok militer Nigeria tetap saja melekat pada dirinya. Dan kelompok prodemokrasi masih tidak mempercayai Obasanjo. ''Rakyat Nigeria tidak ingin sebuah pemerintahan militer, meski pemerintahnya seorang purnawirawan sekalipun," kata Adebanjo, seorang aktivis prodemokrasi. Itulah harga yang harus dibayar rezim militer di pojok dunia mana pun.
R. Fadjri (bahan: Reuters, Associated Press, CNN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini