Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Koalisi Probo-Amien Rais di 'Amanat'?

Pengusaha Probosutedjo dikabarkan membeli Amanat Nasional milik PAN. Hanya salah paham?

8 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lakon bisnis Probosutedjo boleh saja surut. Perusahaan otomotifnya sudah lama dilego ke General Motor, Amerika Serikat. Bank Jakarta miliknya juga dilikuidasi. Tapi ''bisnis" politiknya justru bangkit. Adik tiri mantan presiden Soeharto itu sekarang menjadi Ketua Umum PNI Front Marhaenis. Tak cuma itu. Pemilik kelompok usaha Mertju Buana ini, melalui Septanto, anaknya, mulai masuk ke dunia pers dengan membeli majalah ekonomi Prospektif yang diterbitkan PT Perspektif Media Mandiri. Namun, pengalaman pertama Probo tak mulus benar. Soalnya, ketika ia membeli 60 persen saham PT Perspektif dari tangan Dahlan Iskan, salah satu direktur di PT Jawa Pos, ikut terselip tabloid Amanat Nasional. Masalahnya, Amanat Nasional merupakan media Partai Amanat Nasional (PAN), yang dipimpin Amien Rais—yang belum lama ini mengatakan bahwa Keluarga Cendana mencoba menyuapnya. Repot. Beberapa tokoh teras PAN, termasuk Abdillah Toha, salah satu ketuanya, berniat melepaskan tabloid yang bertiras 80 ribuan itu jika Probo masuk. Mereka tak sudi menerima sesen pun duit dari Keluarga Cendana. Dahlan sendiri mengakui bahwa PT Perspektif memang punya dua surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP), masing-masing untuk Prospektif dan Amanat Nasional. Tapi orang pertama Grup Jawa Pos ini membantah Amanat akan otomatis ikut dijual jika saham PT Perspektif dilepas. Keterkaitan Amanat dengan Perspektif sebetulnya lebih karena ''kecelakaan teknis". Karena tak mudah mengurus izin PT, digunakanlah PT Perspektif untuk meminta SIUPP ke Departemen Penerangan. Alasannya, dua media itu toh dimiliki Dahlan Iskan. Pada 25 September 1998, Amanat Nasional terbit perdana. Namun, ketika Perspektif dijual ke Probo pada akhir November lalu, dua media itu belum dipisahkan. Amanat Nasional tetap bernaung di bawah bendera Perspektif, yang sudah berganti pemilik—kabarnya karena semakin seretnya pendanaan Prospektif. Pemimpin Redaksi Prospektif, Nanik S. Deyang, kemudian mencoba mencari investor baru, tentu seizin Dahlan Iskan. Apalagi Dahlan tetap punya 20 persen saham di media yang dikuasai Probo itu. Satu soal selesai, tapi soal lain datang. Apa itu? Jika Probosutedjo dan Amien Rais tampil berdampingan sebagai pengelola sebuah tabloid, apa jadinya opini masyarakat? Nama PAN, dikhawatirkan salah seorang ketuanya, bisa rusak gara-gara salah satu organnya didanai oleh Keluarga Cendana. Di sinilah keruwetan mulai muncul, apalagi tak ada klarifikasi dari pengelola Amanat Nasional soal pengalihan saham tersebut. Pengurus PAN sendiri bingung dengan urusan ini. Banyak di antara mereka yang menyalahkan Dahlan Iskan dengan penjualan saham tabloid itu. Bahkan mereka menduga ada motif tertentu di balik pembelian saham oleh Probo ini. Padahal Dahlan mengakui bahwa keteledoranlah yang menyebabkan munculnya kesimpangsiuran itu, termasuk keterlambatan mengurus perubahan susunan redaksi. ''Kita sering tak terlalu hirau atau lupa mengubahnya," kata Dahlan. Sekarang ini, kata Dahlan, pihaknya bersama sejumlah pengurus PAN sudah mendirikan perusahaan baru, PT Amanat Media Utama, untuk memayungi Amanat Nasional, sehingga persoalan bisa dianggap selesai. Dahlan punya 80 persen saham, sedangkan sisanya dikuasai sejumlah pengurus PAN. Kerepotan PAN dan Dahlan Iskan boleh jadi tak hanya berhenti di situ. Dalam RUU Pokok Pers yang tak lama lagi diserahkan ke DPR, jelas-jelas diatur larangan bagi partai mendirikan media sendiri. Jika DPR menyetujuinya, semua partai harus melepaskan pengelolaan media partainya kepada pihak lain. Kalau aturan baru tersebut diteken, itu berarti Jawa Pos-PAN harus bercerai. Dan itu juga berarti Amanat Nasional akan kehilangan captive market, yaitu pendukung PAN dan Amien Rais. Bisnis dan politik rupanya harus dipisahkan. Tapi, ketika semua orang bebas mengurus SIUPP dan boleh menerbitkan media, mengapa partai tak boleh punya media? M. Taufiqurohman dan Mustafa Ismail

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus