Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kartu Domino Reformasi

Oposisi Singapura mulai menebarkan benih reformasi politik di tengah kemakmuran ekonomi. Langkah pertama adalah melawan politik perizinan.

8 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Bahaya" reformasi bak komunisme di era 1970-an. Setelah heboh di Indonesia, lalu menyeberang ke- Malaysia, kini benih reformasi mulai tersebar di Singapura. Dan sebagian petinggi Asia Tenggara melihatnya bak- runtuhnya kartu domino di kawasan ini. Adalah Chee Soon Juan, 36 tahun, Sekretaris Jenderal Partai Demokratik Singapura (SDP), yang nekat bermain api reformasi. Menteri Senior Lee Kuan Yew mengejeknya sebagai orang yang menganggap dirinya seperti Anwar Ibrahim, yang menggalang massa reformasi. Langkah pertamanya pun mirip dengan yang dilakukan Anwar, yakni berpidato di depan sekitar 250 massa di pusat bisnis Raffles Place pada akhir tahun lalu. Selain meminta agar pemerintah lebih transparan, Chee meminta kesamaan dalam kebijakan ekonomi, kebebasan berbicara dan berkumpul, serta kebebasan pers. Tanpa mengindahkan peringatan polisi, ia masih melakukan hal yang sama pada hari berikutnya. Sebenarnya aksi Chee itu berlangsung damai. Tapi polisi menjeratnya dengan tuduhan pelanggaran terhadap undang-undang yang judulnya menggelikan dalam konteks politik, yakni UU Hiburan Khalayak (The Public Entertainment Act) Pasal 257: berbicara politik di depan khalayak harus seizin polisi. Izin inilah yang tak dimiliki Chee. Konstitusi Singapura sebenarnya menjamin kebebasan berbicara dan berkumpul. Tapi Partai Aksi Rakyat (PAP), yang berkuasa selama 40 tahun, mengontrol ketat hak politik 3,1 juta jiwa warga Singapura. Tujuannya sih cukup luhur: menghindari kerusuhan di negara kota yang multi-ras dan multi-agama ini. Tapi, setelah perut kenyang, rakyat membutuhkan lebih banyak hak politik. Pemerintah Singapura mencoba mengingkari adagium ini. Itulah yang terjadi pada Chee, bekas dosen Universitas Nasional Singapura. ''Saya mencoba menggugah kesadaran rakyat," ujar Chee. Maksudnya, tentu saja, kesadaran bersikap kritis terhadap pemerintah. Maklum, dengan pendapatan per kapita US$ 31.900, tak semua warganya serta-merta terangsang dengan kegiatan berpolitik. Tak aneh, selama ini, gagasan pembangkangan kaum sipil menjadi ide yang tak populer di Singapura. Sebaliknya, sebagian besar rakyat percaya bahwa pemerintah menjamin kemakmuran bangsa dan keserasian hubungan antar-ras. Akibatnya, partai oposisi hanya meraih tiga kursi di parlemen, sementara selebihnya dikuasai PAP. Pemerintah dengan berbagai cara mengganjal suara kritis oposisi. Polisi bisa saja menolak permintaan izin berbicara serta melarang publikasi partai oposisi dalam bentuk apa pun. Dan pemerintah mengontrol satu-satunya perusahaan televisi dan penerbitan koran. Polisi juga dapat menahan orang dalam waktu tak terbatas tanpa tuntutan. ''Ini saatnya mendobrak atmosfer ketakutan," kata Chee. Ia ingin semua kekangan itu diubah, meski harus melawan hukum. Keinginannya tercapai. Jaksa menyeretnya ke pengadilan untuk tiga perkara, yakni dua kali melakukan pidato politik dan menjual buku To Be Free tanpa izin. Buku ini berbicara tentang tahanan politik di Asia. Tapi, uniknya, jaksa menjeratnya dengan Undang-Undang Lingkungan dan Kesehatan Khalayak (The Environmental and Public Health Act). Untuk menjual bukunya, Chee perlu izin Komisaris Kesehatan. Terhadap tuduhan pertama dan kedua, Chee dan pengacaranya, J.B. Jeyaretnam, ngotot bahwa UU Hiburan Khalayak seharusnya tak berlaku untuk pembicaraan politik. ''Pidato saya sebuah pembicaraan yang serius dengan rakyat. Saya tidak melihat pidato itu sebagai sebuah hiburan," ujar Chee sinis. Ironisnya, kata Chee, pemimpin PAP diizinkan berpidato politik di depan umum dan mengkritik partai oposisi. Tapi jaksa penuntut, Bala Reddy, menjawab bahwa kebebasan berbicara tak berlaku absolut, sehingga konstitusi mengizinkan pembatasan demi kepentingan umum. Selain itu, katanya, pidato politik dapat membakar emosi dan kerusuhan. Kebetulan saja aksi Chee berlangsung damai. Hakim See Kee Oon dan Mavis Chionh, dalam persidangan berbeda, setuju dengan argumen jaksa dan memvonis Chee bersalah. Kedua hakim itu masing-masing memvonis Chee dengan hukuman denda 1.400 dolar Singapura atau masuk bui tujuh hari dan 2.500 dolar Singapura atau 12 hari penjara. Tapi Chee memilih masuk bui. Akibat vonis ini—sesuai dengan hukum Singapura—Chee dan partainya tidak diperbolehkan mengikuti pemilu. Untuk itu, partainya mengajukan banding pada Kamis pekan lalu. Chee masih harus menghadapi dakwaan mengasong buku tanpa izin pada 29 Maret nanti. Jerakah Chee Soon Juan? ''Jika Anda memaksa orang ke sebuah sudut yang tak memiliki jalan keluar, ia akan menyerah atau menyerang balik. Saya punya keluarga untuk dihidupi dan sebuah partai untuk dipimpin," kata pria yang sedang menantikan kelahiran anaknya ini. Tapi, ujar Chee, tentangannya terhadap politik perizinan itu hanya tahap dari sebuah jalan panjang menuju perjuangan hak-hak sipil. Bersiap-siaplah Tuan Lee dan Tuan Goh. R. Fadjri (bahan: Associated Press, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus