KRAKATAU adalah bencana sekaligus berkah. Pada 1883, Krakatau meledak sangat dahsyat dengan kekuatan berukuran 410 megaton atau 27 kali lebih kuat dari ledakan bom hidrogen. Ledakan yang menyebabkan gunung-gunung bergetar dan gelombang laut melonjak sampai setinggi rumah itu telah melalap 36 ribu jiwa manusia dan menelan 165 desa. Seabad kemudian, Krakatau berubah wajah. Terdiri dari empat pulau kecil yang mengapung di Selat Sunda, Krakatau dengan kekayaan flora dan fauna tampak bagaikan taman surgawi yang menakjubkan. Kawasan seluas 14 ribu hektar itu—terdiri dari pulau Sertung, Rakata Besar, Rakata Kecil, dan Panjang—sejak 1990 telah dikukuhkan sebagai cagar alam laut nasional.
Namun, kalau tak hati-hati, sebuah cagar alam bisa saja sirna. Ada kekhawatiran yang terus menghantui. Apalagi kini ketika kawasan itu terancam oleh keteledoran dan keserakahan manusia. Ancaman itu, menurut Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Tanjungkarang, Harjanto Wahyu Sukotjo, disebabkan dua hal: penggalian batu apung dan pengeboman ikan.
Syahdan, sejak 1980, para nelayan setempat dan pengusaha berlomba menguras batu apung yang terdapat di gugusan Krakatau. Bahkan, mulai 1996 sampai sekarang, praktek itu makin menjadi-jadi. Hasil penelitian Proyek Pesisir—hasil kerja sama antara pemerintah Indonesia dan USAID—menunjukkan hal yang sama. Menurut Marizal Ahmad, konsultan proyek itu, para penjarah tak sekadar memunguti batu apung yang berserakan di pantai, tapi juga melakukan penggalian, khususnya di Pulau Sertung. Di pulau ini, usaha penambangan memang mudah ditemukan.
Modusnya sederhana. Para penadah memodali nelayan setempat. Mereka beroperasi secara berkelompok—terdiri dari 15-17 orang—menggunakan kapal. Sekali jalan, 2.000 butir batu bisa terangkut. Batu jenis ini memang menjadi incaran. Biasanya digunakan untuk bahan kosmetik atau pembersih dan pencuci jins. Kalau dibandingkan dengan zat pembersih jenis lain, mutu batu apung Krakatau nomor satu. Hasilnya lebih bersih, halus, dan putih. Para cukong bukan hanya berasal dari Lampung, tapi juga dari Jakarta dan kota besar lainnya. Amir, seorang pedagang batu apung di kawasan Kapuk, Jakarta Utara, mengungkapkan bahwa kini mereka agak sulit mendapatkan material karena sudah dilarang. Kendati demikian, ia masih bisa mendapatkan ratusan karung secara teratur. "Ini dari hasil nyolong," katanya enteng. "Itu gunung digorong-gorongin (dibobol) sampai rata dengan tanah." Amir pun tertawa lepas, tanpa menghiraukan betapa dahsyat perusakan alam yang dilakukan secara tidak bertanggung jawab itu.
Kelestarian lingkungan di Krakatau semakin parah gara-gara pengeboman ikan yang telah meluluh-lantakkan terumbu karang di seantero gugusan Krakatau. Akibatnya, ribuan ikan—berikut telurnya—bermatian. Ikan-ikan karang sejak dulu menjadi buruan manusia karena harganya memang lebih mahal ketimbang ikan permukaan. Sedangkan kerusakan terumbu karang tidak hanya disebabkan oleh pengeboman. Sedimentasi alamiah, penebaran racun sianida (potas), penggerogotan bintang laut berduri, atau tertimpa jangkar kapal saat buang sauh, semua hal itu bisa menghancurkan terumbu karang.
Akibat dua praktek ilegal itu sungguh mencemaskan. Seperti diketahui, gugusan Krakatau amat memerlukan batu apung dan terumbu karang untuk menahan abrasi akibat gempuran ombak. Apa daya, terumbu karang yang tersisa tak sampai 10 persen dari total deposit yang ada. Sedangkan Pulau Panjang dan Sertung dilanda abrasi besar-besaran hingga merusak benteng alam dan ekosistem tumbuhan.
Dalam pandangan Marizal, berbagai kerusakan itu tak sepenuhnya bisa ditimpakan pada para nelayan, yang tak memiliki alternatif pekerjaan lain. Ia justru menuding faktor pengawasan yang nyaris nol. Sejauh ini, aparat baru tiga kali berhasil menangkap para penjarah. Tahun 1996, dibekuk enam orang dan lalu divonis tiga bulan kurungan. Tahun berikutnya, tiga orang dibui enam bulan. "Tangkapan" terbanyak tahun 1998, mencapai 17 orang. Cuma, sialnya, sang cukong lolos.
Harjanto dari BKSDA mengakui pihaknya kewalahan mengawasi kawasan seluas itu. Tugas ini makin berat sejak pos penjagaan mereka hancur digasak luapan lava tahun lalu. Sementara itu, permohonan membangun pos baru belum ditanggapi oleh pihak Departemen Kehutanan. Alasannya, soal duit. Karena keterbatasan dana pula, BKSDA hanya mampu menyewa kapal kecil yang jalannya terseok-seok. Padahal kapal itu dipakai untuk mengejar kapal motor milik komplotan yang ukurannya lebih besar dan melaju cepat. Para mafia memang bekerja tidak tangung-tanggung, lengkap dengan peralatan canggih dan mahal, plus bom. Tak salah kalau BKSDA meminta bantuan Angkatan Laut, namun hasilnya tetap nihil.
Karaniya Dharmasaputra, Nurur Rokhmah Bintari (Jakarta), Fadilasari (Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini