Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Madjid al-Sayed adalah wa-rga muslim Denmark kelahiran Pa-lestina. Sehari-hari ia beke-rja di Rumah Sakit Universitas, Ko-penhagen, sebagai tenaga radiologi. La-ki-laki 28 tahun itu hijrah ke Denmark ketika masih delapan tahun bersama ayah, ibu, dan tujuh saudara laki-laki-nya. Kini, keluarga Al-Sayed yang tinggal di Norrebo berkembang. Anak pasa-ngan Al-Sayed menjadi 13 orang: 12 laki-laki dan satu perempuan. Madjid sudah menikahi Lina al-Juhayin, per-empuan Palestina, dan dikaruniai se-orang anak laki-laki tiga bulan, Ismail.
Kepada Tempo, Madjid mengaku se-nang hidup di Denmark. Dia belajar di se-kolah anak-anak Denmark dan m-asuk ke Copenhagen College jurusan radiologi. Anak ketiga Al-Sayed ini juga tidak sulit mencari kerja, karena pekerjaan bisa didapat sesuai dengan pendidik-an. Dia dan keluarga kecilnya meny-ewa rumah dan punya mobil sederhana. Setahun dia mendapat 280 ribu kroner (sekitar Rp 410 juta). ”Itu cukup untuk hi-dup,” katanya.
Di tempat kerja, Madjid bebas ber-iba-dah. ”Teman-teman saya malah berta-nya tentang Islam kepada saya,” kata-nya. ”Di antara kami juga bercanda ten--tang agama, tapi tidak dengan cara ja-hat.” Umat muslim memang bebas ber-ibadah di Masjid At-Taubah, masjid me-rah di Kopenhagen, hasil patungan warga setempat, yang mampu menampung 700 ribu orang.
Kehidupan Madjid memang hanya ber-kisar pada keluarga, kerja, dan organi-sasi—dia pengurus WAKF, organi-sasi komunitas muslim Skandinavia. Po-li-tik bukan lahannya. Maka, ketika kari-katur Nabi Muhammad dimuat Jyllands-Posten, Madjid tersinggung dan itu adalah hal baru baginya. ”Itu bukan ke-bebasan berpendapat, tapi kebebasan menghina,” katanya.
Lebih buruk lagi, Madjid sadar, muslim Denmark tidak satu suara. Menurut dia, ada politisi Islam yang memperkeruh suasana. Yang dimaksud adalah Naser Khader, anggota parlemen, yang disebut media sebagai kelompok Islam mode-rat. Khaderlah yang didekati pemerintah Denmark. Dia menuntut negara-negara Is-lam minta maaf kepada rakyat Denmark.
Komunitas Islam Denmark sepe-rti ter-pecah dalam kubu Khader dan A-hmad Abu Laban, tetua WAKF. Kepada Tempo, Kamis pekan lalu, Abu Laban menyebut Perdana Menteri Anders Fogh Rasmussen bersekutu dengan Kh-ader, yang disebutnya muslim sekuler, u-ntuk mempertahankan diri. ”Mereka meming-girkan suara mayoritas muslim prak-tisi,” katanya.
Khader yang tak berjenggot berusaha menyingkirkan Abu Laban dari Denmark. Dia tidak khawatir tidak populer karena pendukungnya bukan komunitas muslim Denmark. Media massa memunculkan kesan bahwa persoalan kartun di Jyllands-Posten berkembang menjadi konflik antara dua kubu Islam di sana.
Padahal, blunder pertama sebenar-nya dilakukan pemerintah Denmark ke-t-ika menolak bertemu dengan diplomat Timur Tengah di Denmark, yang nota-bene moderat, sekitar Oktober 2005. Menurut Tabish Khair, profesor bahasa Inggris di Universitas Aarhus, sejak awal pemerintah Denmark seharusnya mi-nta maaf kepada komunitas muslim, tapi ja-ngan menekan Jyllands-Posten. Pria m-us-lim kelahiran India ini menyebut sikap pemerintah seperti itu membuat muslim moderat Denmark tak mampu bersuara dan kelompok ”keras” makin marah.
Memang, sejak Denmark dikuasai sayap tengah-kanan, didukung Pa-rtai Rakyat Denmark pada 2001, mereka me-lancarkan kebijakan anti-imigran—mayoritas muslim adalah pendatang. Bahkan pemimpinnya, Pia Kjaersgaard, menyebut beberapa orang muslim Denmark ”musuh dalam selimut”.
Sikap itu tidak meredakan masalah. Tapi dalam beberapa pekan terakhir ini masyarakat membicarakan Islam le-bih serius. ”Lebih dari yang terjadi selama 10 tahun. Saya harap akan ada hasil baik,” kata Niamatullah Basharat, imam di Nusrat Djahan, masjid kecil di pinggiran Kopenhagen. Minggu dua pekan lalu, sebuah situs bernama Reconciliation Now diluncurkan. Ratusan rak-yat Denmark turun ke jalan, menyerukan dialog, mengharapkan hubung-an de-ngan umat Islam diperbaiki.
Bina Bektiati (Guardian)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo