Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jamal AlKhudairi, 50 tahun, bukan anggota Hamas. Tapi dialah calon perdana menteri terkuat kini. AlKhudairi dikenal sebagai contoh orang yang berhasil di dua bidang: akademis dan bisnis. Dialah ketua dewan di Universitas Islam di Gaza. Dan di sepanjang Yudea, Samaria, dan Jalur Gaza, kita bisa menjumpai pabrik kasur miliknya, pabrik kasur terbesar di Palestina.
AlKhudairi sangat mendukung perjuangan Hamas, tapi dalam kampanyenya ia memperlihatkan sikap moderat. Ia menolak cara kekerasan, dan—yang ini lebih mengejutkan—menganjurkan mengakui Israel. ”Saya sangat prihatin dengan situasi Palestina yang sangat buruk,” katanya berkalikali. Pemerintah Palestina yang lebih baik di mata AlKhudairi adalah pemerintah yang serius memperhatikan pendidikan, penyediaan lapangan kerja, dan reformasi di dalam negeri.
AlKhudairi lakilaki beranak lima. Ia lahir di Gaza dan tamatan fakultas teknik sebuah universitas di Mesir. Sebagian orang percaya, dialah kandidat yang namanya sudah diajukan ke Presiden Mahmud Abbas. Salah satu yang membuatnya sedikit mencorong, ia pribadi yang jujur dan bersih.
Tak jauh di bawah AlKhudairi, ada Mazin Sonnoqrot. Tak banyak yang diketahui mengenai tokoh yang satu ini. Tapi, menurut perkiraan, kemungkinan dia menjadi perdana menteri selapis di bawah AlKhudairi. Mazin Sonnoqrot sama juga dengan AlKhudairi: pengusaha, bukan anggota, dan samasama simpatisan Hamas. Hingga kini Sonnoqrot masih menjabat Menteri Perdagangan dan Ekonomi Palestina. Ia orang yang akan mengerahkan segenap kemampuannya agar Palestina diterima di dunia internasional (lihat Hamas Siap Memberantas Korupsi).
Nama Sonnoqrot mulai terdengar di gelanggang kandidat dua pekan lalu. Kandidat terakhir adalah Ismail Haniyah. Dia hanya satu di antara tiga kandidat yang merupakan anggota Hamas. Bahkan ia memiliki ”darah biru” Hamas. Ia sudah bergabung dengan kelompok Hamas sejak berdiri pada 1987. Haniyah termasuk orang terdekat dengan pendiri kelompok perlawanan itu, Syekh Ahmad Yassin.
Lahir pada 1962 di kamp pengungsi Shati sebelah barat Kota Gaza, Haniyah aktif dalam gerakan Islam ketika belajar sastra Arab di Universitas Islam Gaza. Dia lulus pada 1987, tak lama setelah bangkitnya gerakan intifadah melawan pendudukan Israel di Palestina. Haniyah ditangkap penguasa Israel karena ikut memprotes. Ia dipenjara, meski tak lama.
Pada 1988, ketika Hamas gencar menyerang Israel, ia kembali ditahan selama enam bulan. Tahun berikutnya, ia kembali ditangkap dan dihukum tiga tahun penjara. Bebas pada 1992, Haniyah dan pemimpin senior Hamas, AbdelAziz Rantissi dan Mahmud Zahhar, serta lebih dari 400 aktivis lainnya diusir Israel ke Libanon Selatan. Di sana mereka menghabiskan lebih dari setahun di kamp Marj alZahour. Di tempat itulah, kelompok Hamas dipublikasi media untuk pertama kalinya.
Haniyah kembali ke Gaza pada Desember 1993 dan ditunjuk menjadi dekan di Universitas Islam. Setelah Israel melepas Syekh Yassin dari penjara pada 1997, Haniyah ditunjuk menjadi asistennya. Kedekatan keduanya membuat posisi Haniyah dalam pergerakan terus menanjak. Dia sempat dipercaya menjadi wakil Otoritas Palestina dalam berbagai perundingan. Tapi ia juga dianggap ancaman serius bagi Israel yang ingin ”menghabisi” Hamas dan pemimpin politiknya.
Pada September 2003, Haniyah dan Syekh Yassin hampir saja terluka dalam serangan udara Israel di sebuah apartemen di Kota Gaza. Mereka baru saja meninggalkan gedung beberapa saat sebelum bom menghantam. Enam bulan kemudian, Syekh Yassin dibunuh dengan rudal melalui helikopter Israel saat baru saja meninggalkan masjid, seusai sembahyang subuh.
Dengan latar belakang ”keras”, Haniyah menjanjikan keterbukaan yang fleksibel. ”Jangan takut, Hamas punya kepedulian dan gerakan yang sudah matang,” katanya.
Yang dikatakan Haniyah ada benarnya. Karena kemenangan Hamas—dengan 74 dari 132 kursi parlemen—adalah buah dari kerja keras selama ini. Sejak Syekh Yassin masih hidup, pemimpin bijak Hamas ini serius mendekati kalangan menengah ke bawah Palestina, termasuk perempuan dengan berbagai program nyata, seperti peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan. Tak mengherankan jika Hamas kini banyak didukung kelas menengah dan pemilih perempuan. Khudairi dan Sonnoqrot termasuk orang yang jatuh cinta pada Hamas karena melihat hasil kerja kelompok ini untuk rakyat Palestina.
Tampaknya Hamas makin ingin menunjukkan sisi moderat setelah menang pada pemilu lalu. Pemimpin tertingginya, Khalid Misyaal, dalam pertemuan Kairo mengatakan bahwa Hamas sepakat membentuk pemerintahan koalisi nasional, mengajak Fatah dan sejumlah faksi lainnya, termasuk tokoh independen. Kabinet yang nantinya disusun juga akan terdiri dari para teknokrat dan ahli di bidang masingmasing, bukan dari kalangan garis keras. Pimpinan Hamas juga berjanji mengurangi kekerasan yang dipicu oleh kelompok militan di dalam tubuhnya. Itu semua dilakukan demi mengurangi tekanan internasional, terutama dari kuartet penanggung jawab perdamaian Timur Tengah: Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa, dan PBB.
Wajah ramah yang dicoba ditunjukkan Hamas memang belum berbuah hasil. Siapa pun yang menjadi Perdana Menteri Palestina dipastikan akan menghadapi tentangan dari dalam negeri—kelompok Fatah dan faksi garis keras Hamas—dan luar negeri. AlKhudairi, Sonnoqrot, atau Haniyah harus siap menjalankan mission impossible.
Leanika Tanjung, Faisal Assegaf (BBC, The Philadelphia Inquirer)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo