Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dari Udara Turun ke Perbatasan

Sejumlah personel pasukan elite Amerika telah menyusup ke Kandahar untuk ”membuka” jalan bagi sebuah perang darat. Mampukah Amerika Serikat lolos dari jebakan alam dan tentara Afganistan yang merontokkan Soviet 12 tahun silam?

21 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terbang rendah, pesawat EC-130E itu meraung-raung di atas Kota Kandahar sembari mengudarakan sebuah seruan melalui radio: ”Rakyat Afganistan, pasukan kami akan datang untuk menangkap Usamah bin Ladin dan para pendukungnya. Agar selamat, menjauhlah dari jalan dan jembatan.” Sesekali musik rakyat Afganistan mengalun sebagai selingan. Siaran yang mengudara sepanjang akhir pekan lalu itu adalah ”program khusus” radio yang sudah berlangsung selama berhari-hari. Program ini seolah menjadi ”paket” yang mengiringi menyusupnya sejumlah anggota pasukan elite dan intelijen Amerika Serikat (AS) ke Kandahar, Jumat pekan silam. Dipancarkan selama 10 jam sehari, siaran itu mengudara ke seluruh Afganistan melalui sebuah pemancar milik Taliban yang telah dikuasai Amerika Serikat. Ribuan radio yang dijatuhkan bersama kantong-kantong makanan oleh para pilot AS dua pekan silam diharapkan bisa menerima siaran tersebut. Setidaknya itulah harapan Amerika, yang kini tampaknya mengepung daratan Afganistan dengan dua cara: propaganda dan pasukan elite terlatih. Dalam sebuah jumpa pers dengan wartawan di Washington pekan lalu, Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfield mengakui bahwa cara-cara yang bakal ditempuh Amerika untuk Usamah bin Ladin bisa saja ”tidak konvensional”. Mengapa? Rumsfield menekankan, yang dihadapi AS dan sekutu-sekutunya kali ini bukan sebuah negara, melainkan jaringan teroris yang tak punya lokasi yang jelas ataupun ”pasukan resmi”. Satu-satunya cara, menurut sang Menhan, adalah menyerang, juga melancarkan propaganda. Dan pemerintah AS tampaknya sudah tak tahan untuk merangsek ke Afganistan dalam sebuah duel langsung di daratan. Perang darat? Setiap wartawan di Washington membombardir pertanyaan itu kepada Rumsfield pekan lalu. Hadir dalam pertemuan di Pentagon dengan para wartawan, Menteri Pertahanan datang ditemani Kepala Staf Operasi Gabungan AS, Jenderal Richard B. Myers. Namun, menurut pantauan TEMPO di Washington, kedua petinggi militer AS itu hanya menghindari pertanyaan detail para wartawan dengan sopan: entah dengan menggeleng atau meluncurkan kalimat-kalimat diplomatis. ”Mendiskusikan strategi operasi ke depan bisa membahayakan keselamatan pasukan yang sedang bertugas,” Jenderal Myers menjawab wawancara CNN beberapa hari lalu. Toh, siaran pers resmi yang dikeluarkan Pentagon Jumat lalu perihal propaganda radio AS itu diterjemahkan banyak kalangan sebagai ”menu” pembuka serangan darat. ”Serangan udara saja tidak cukup. Pesawat tidak bisa me-rayap di tanah dan mencari orang yang men-jadi sasaran kami,” Rumsfield menjelaskan. Dari London, Perdana Menteri Inggris Tony Blair—sekutu AS paling setia—memberi indikasi serupa: ”Tidak lengkap bila hanya serangan udara.” ”Kelengkapan” yang dimaksudkan Blair itu telah bergerak sejak Jumat lalu—betapapun kerasnya upaya Rumsfield dan Jenderal Myers menutup mulut. Mengutip sumber di Departemen Pertahanan AS, kantor berita Reuters memastikan bahwa sekitar 100 perwira badan intelijen AS (CIA) serta sejumlah personel dari pasukan elite lainnya sudah berada di Kandahar. Foto udara Departemen Pertahanan Amerika—disiarkan sejumlah media massa internasional pada Sabtu malam—yang memperlihatkan pesawat-pesawat Amerika mendrop para anggota pasukan khususnya di daratan Afganistan memperkuat fakta itu. Tugas mereka? Menyiapkan masuknya pasukan AS dari pintu masuk selatan ataupun utara (lihat infografik, Di Darat, Siapa Berjaya?). Serangan darat, dalam perang mana pun, hanya menyiratkan satu arti: pertarungan sesungguhnya. Dan, tentu saja korban dan kerugian sesungguhnya: nyawa, ekonomi, sosial, dan politik. Ketakutan publik Amerika pada ”musuh baru” serangan bioteror (lihat Teror dari Balik Sampul Surat) adalah sekadar contoh. Sejumlah analisis menyebutkan kuman antraks yang kini menjadi mimpi buruk banyak warga Amerika itu adalah serangan balik para teroris terhadap sumpah Presiden George W. Bush, yang bertekad mengejar mereka sampai ke ujung langit. Dan Amerika ataupun Afganistan tidak sendirian menanggung asap dari duel ber- darah yang sudah berlangsung dua pekan ini. Pakistan, jiran dan sahabat Taliban, menjadi salah satu ”garda depan” yang harus menanggung asap ini. Banjir pengungsi rangkaian demo akbar yang ingin merontokkan kursi Jenderal Musharraf—gara-gara Presiden Pakistan itu bermain mata dengan AS—kian hari kian memanaskan udara Islamabad, ibu kota Pakistan (lihat Pakistan, Kunci Kemenangan). Bahkan, di Jakarta, pihak kepolisian harus mengeluarkan entah berapa belanja ekstra untuk mengawasi ribuan demonstran yang menyemut di depan Kedutaan Besar AS pada hari-hari ini. Dengan kata lain, pertarungan di gunung-gunung dan sahara Afganistan cuma satu dari sekian aspek yang harus dihadapi AS akibat konfliknya dengan Taliban. Dan ”temu darat” adalah aspek yang amat pelik dan berbahaya. Uni Soviet, negeri raksasa di utara Afganistan, pernah merasakan pahit dan malu dalam urusan perang darat melawan Afganistan. Masuk ke negeri itu pada 1978, Soviet harus pulang kampung dengan rasa terhina setelah dirontokkan oleh pasukan Mujahidin, 1989. Adapun Amerika, raksasa yang kini meluncur ke sana dengan peralatan perang raksasa dan supermodern itu, bukan tanpa trauma kekalahan. Pada 1975, sejarah mencatat bagaimana ujung dari ”Dirty War” di Vietnam telah melesakkan sebuah mimpi buruk panjang ke dalam ingatan publik Amerika—setelah AS kalah di perang Vietnam. Tak mengherankan, ribuan orang berdemo dari Washington hingga Los Angeles tatkala Bush berikrar menggali kapak peperangan melawan Afganistan—negeri yang dia tuding telah melindungi Usamah bin Ladin. Trauma itu bukan tidak tampak dalam seluruh persiapan ini. Jeri untuk sendirian masuk ke Afganistan, Amerika menggandeng Aliansi Utara—sebuah aliansi miskin dan penuh konflik—menjadi kawan seiringnya untuk menghajar Taliban. Pengetahuan Aliansi Utara dalam hal medan ataupun teknik bertarung ala ”pejuang Afganistan” menjadi modal penting bagi AS. Tapi Letnan Jenderal (Purn.) Hamid Ghul, perwira Pakistan yang kini menjadi penghubung pemerintah Pakistan dan Afganistan, amat yakin Amerika tak akan berhasil menarikan dansa kemenangan di Kabul atau kota Afganistan mana pun. ”Amerika akan kalah,” ujarnya kepada TEMPO di Peshawar. Hamid Ghul bisa saja sekadar membual. Tapi, buat AS, pilihan memang tidak banyak. Serangan udaranya, selain menghamburkan banyak uang (satu rudal Tomahawk bernilai US$ 1 juta atau setara Rp 10 miliar pada kurs Rp 10 ribu), juga kerap kali meleset dari sasaran. Pekan lalu rudal AS menghantam markas Palang Merah Internasional dan melukai empat orang pekerja sosial di sana. Taliban mengklaim serangan udara AS juga telah melukai setidaknya 400 penduduk sipil. Citra AS sebagai negara yang senang ”main hantam” bisa-bisa merebak. Bush, Rumsfield, ataupun Jenderal Myers harus mulai bersiap-siap untuk pertanyaan berikut: apakah sepadan cara Amerika mengejar Usamah bin Ladin dengan meluluhlantakkan rumah dan nyawa warga sipil Afganistan? Allhasil, bertarung di darat adalah cara yang lebih jitu untuk menghindari salah sasaran. Jalan masuk bagi pasukan AS yang paling mungkin saat ini adalah melalui utara, yang berbatasan dengan Uzbekistan. Pemerintah Uzbekistan telah menawari AS untuk membangun pangkalan militer di Kota Karshi, salah satu kota terbesar di negara bekas Uni Soviet tersebut. Kini, 2.000 pasukan darat elite AS—termasuk 1.000 personel Divisi Gunung ke-10—sudah berjaga-jaga di perbatasan tersebut. Di pintu-pintu utara, para komandan Aliansi Utara—seperti Ismail Khan dan Jenderal Rashid Dostum—juga akan menderetkan senjata dan para serdadunya. Rabu pekan lalu, beberapa perwira militer AS dikabarkan telah menemui Dostum. Pihak Aliansi berharap pertemuan itu bisa memastikan kerja sama mereka dengan AS. Saat ini Aliansi Utara tengah menantikan jaminan dari AS bahwa mereka otomatis memegang pemerintahan jika Taliban kalah. Itu bukan persyaratan yang gampang, alias akan menimbulkan gejolak baru: mayoritas warga Afganistan yang beretnis Pashtun akan sulit menerima pemimpin dari suku-suku kecil—Tajik dan Uzbek—dari utara. Dengan bantuan Amerika, Aliansi berharap bisa merebut kembali Mazar-i-Sharif dekat perbatasan Uzbekistan. Sejak 1997, Taliban berhasil merebut kota ini dari pihak Aliansi Utara dan menjadikannya sebagai pagar terdepan pertahanan Taliban di kawasan utara. Mazar telah jadi sasaran tembak pasukan udara Amerika, selain juga terus-menerus diserbu oleh pasukan Aliansi Utara. Tapi, setelah sekian lama, kota ini belum juga bisa runtuh. Padahal, jika Mazar jatuh, pasukan darat AS diperkirakan bisa merambah ke provinsi lain di utara seperti Balkh, Samangan, dan Faryab, untuk kemudian menjalar ke Kabul dan Jalalabad. Amerika mengklaim dua kota terakhir hancur dalam serangan udara dua pekan ini. Dalam prakteknya, pasukan AS atau sekutu-sekutunya toh belum bisa menjebol gerbang kedua kota ini. Urusan jebol-menjebol ini akan diserahkan kepada satuan-satuan elite seperti Resimen 75th Ranger, Green Berets, Delta Force, dan SAS milik Inggris. Semua satuan ini telah berpengalaman sebagai pasukan pembuka dalam Perang Teluk, aksi penghancuran kartel obat bius di Panama, dan perang di Somalia. Kesatuan Green Berets bahkan pernah meroket namanya dalam Perang Vietnam. Pasukan elite inilah yang akan diturunkan tak jauh dari sasaran. Mereka akan menyelinap dan menguasai titik-titik tertentu serta mengirimkan sinyal ke pesawat untuk menghantam sasaran dari udara. Beberapa analisis di The Washington Post menyebutkan, untuk melindungi pasukan darat, pesawat-pesawat tempur akan mem-blokade dari udara. Pesawat AC-130H Spectre, yang dijuluki tank terbang, akan mengintai setiap gerak konvoi pasukan, truk, tank, atau gerakan musuh lainnya yang mengganggu gerak pasukan darat. Tank terbang AC-130H Spectre, helikopter Apache, serta pasukan udara lainnya akan disuplai dari Kapal Induk USS Kitty Hawk di perairan Arabia serta dari pangkalan di Uzbekistan. Bahan bakar, pangan, dan personel pengganti akan dipasok dari pangkalan AS di Jacobabad, Pakistan. Di atas kertas, AS percaya serangan ini akan mendatangkan hasil yang maksimal. ”Kami akan menggunakan semua cara untuk mencapai tujuan kami,” kata Presiden Bush dalam Konferensi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Shanghai, Cina, pekan lalu. Tapi urusannya tidak semudah itu. Sejak awal, Taliban sudah mengantisipasi kemungkinan perang darat. Saat ini setidaknya 1.000 pasukan Taliban bersenjatakan tank serta pelontar roket BM-21 telah dikerahkan di Mazari-Sharif. Menurut Hamid Ghul, sekitar 70 ribu pasukan Taliban—40 persen di antaranya adalah pasukan bantuan dari negara- negara sekutu Taliban—telah siap tempur. Sementara itu, media Barat menyebut total pasukan Taliban adalah 55 ribu. Teknologi perang Taliban memang jauh lebih sederhana dibanding Amerika. Andalan mereka adalah sumber daya dan militansi pasukan. Satu hal, Soviet dahulu rontok terutama karena faktor militansi pasukan Afganistan. Ada kisah tentang itu dari Mir Mahmad, prajurit Afganistan yang kini bermukim di Peshawar, Pakistan. Ketika perang Soviet-Afganistan pecah, ia masih berusia 16 tahun. Toh, ia ikut menenteng senjata Kalasnikov-30 dengan peluru 3-5 buah dan bergerilya hingga menjadi komandan pasukan menjelang Soviet terusir dari Afganistan. ”Saya membunuh sembilan tentara Soviet,” katanya kepada TEMPO. Menurut Mir Mahmad, dengan mengambil posisi di ketinggian pegunungan, tentara Mujahidin bisa enteng saja membidik prajurit-prajurit Soviet. ”Saya bisa menembak dengan tepat tentara Soviet, lalu menghilang di antara celah-celah gunung,” ia menjelaskan taktik bertempur di masa dulu. Kini, pada usia 39 tahun, Mahmad adalah penjaga kompleks pertokoan di Peshawar. Sehari-hari ia masih menenteng senapan AK-47, memakai seragam hitam-hitam. ”Tak mudah bagi Amerika me-lawan bangsa kami. Jika keadaan semakin buruk, saya siap berperang lagi. Saya masih mampu menembak tepat,” ujarnya. Aristides Katoppo, Pemimpin Redaksi Sinar Harapan yang pernah masuk Afganistan pada tahun 1980-an, punya cerita lain. Menurut dia, pasukan Mujahidin sulit dikalahkan Soviet karena mereka selalu bergerak dan tidak memiliki markas yang jelas. Mereka juga selalu memilih berjalan di jalan setapak yang sulit dilacak karena tak tertera di peta. Prajurit Afganistan umumnya mengenal jalan-jalan ”tikus” itu karena terbiasa membawa barang dagangan atau barang selundupan dari dan menuju Pakistan. ”Korban terbesar dari pihak Afganistan umumnya bukan karena pertempuran, melainkan akibat ranjau,” kata Aristides. Kendala lain yang bakal dihadapi Amerika adalah alam. Dan Khyber Pass dekat Jalalabad adalah ”kuburan” bersejarah bagi musuh-musuh Afganistan. Benteng pertahanan alam sepanjang 53 kilometer itu menghubungkan Pakistan dan Afganistan. Diapit Pegunungan Hindu Kush yang terjal dan berbatu, jalan- jalan selebar 3 meter di sana terletak di antara tebing gunung terjal yang menjulang 300 meter ke angkasa. ”Pemandangannya sangat indah. Batu di gunung-gunung itu berwarna kuning bercampur cokelat,” kata Aristides. Jika pasukan darat Amerika melintasi lorong ini, diperkirakan mereka akan menjadi bulan-bulanan Taliban. Dengan menguasai gua di dinding-dinding gunung, Taliban sangat mudah beraksi. Khyber Pass memang selalu jadi benteng pertahanan yang kokoh. Dalam pertempuran Januari 1842 antara Inggris yang menguasai India (termasuk Pakistan) dan Afganistan, 16 ribu tentara Inggris mati di dasar lembah itu. Tentara Soviet juga terkubur di lorong-lorong berbatu itu selama perang melawan Afganistan. Dahulu, jalur ini pernah menjadi jalan para pembawa Islam dari Afganistan ke India. ”Sejarah Khyber Pass merupakan gabungan dari tragedi dan roman, kepahitan dan kemegahan, dan fakta yang sulit dibedakan dari fiksi,” demikian ditulis dalam situs Afghan-Network. Dengan semua kendala itu, satu-satunya harapan bagi Amerika untuk tidak mengulangi kegagalan Uni Soviet di Afganistan adalah AS masuk pada saat warga Afganistan terpecah: Taliban di satu sisi dan Aliansi Utara di sisi yang lain. ”Keuntungan” ini tidak diperoleh Soviet lebih dari 20 tahun yang lalu. Ketika itu Soviet memang berhasil mem-bangun pemerintahan boneka di Kabul, tapi sebagian besar elemen masyarakat bersatu dalam barisan Mujahidin. Mujahidin ketika itu juga mendapat bantuan dari Amerika, yang sedang terlibat Perang Dingin dengan Soviet. Kini AS tak mendapat perlawanan serupa. Perang Dingin telah berakhir dan pemerintah Uzbekistan—kawasan yang dulu bergabung dengan Uni Soviet—kini kembali berpihak pada Amerika. Belum bisa dipastikan ke arah mana dan sampai kapan perang ini akan berakhir. Presiden Bush memperkirakan waktu dua tahun untuk menyelesaikan ”misi di Afganistan”. Tapi pengamat Timur Tengah dan Studi Asia dari Pusat Kajian Strategis Ahram Kairo, Mesir, Dr. Mohammed Abd Kareem, memperkirakan pertarungan ini bisa panjang dan makan waktu lebih lama lagi. Judith Johnson, seorang warga Florida, dalam sebuah wawancara singkat kepada TEMPO mengatakan: ”Saya mendukung apa yang dilakukan presiden kami. Tapi perang di sebuah negeri asing seperti Afganistan mirip perjudian yang penuh risiko.” Memang tak sulit mencium risiko-risiko mahal yang kini mulai dibayar kedua belah pihak. Nyawa, korban, dan kerugian harta benda yg telah berjatuhan setiap hari sejak Bush memukul genderang perang pada 7 Oktober silam. Presiden Bush dan para jenderalnya juga harus ”membayar” perang ini dengan sebuah fakta lain yang amat ironis: di saat pasukan-pasukan Amerika berbaris ke perbatasan untuk saling merangsek dengan tentara Taliban, bayang-bayang Usamah bin Ladin yang dikejar AS kian menghilang entah ke mana. Arif Zulkifli, Arif Kuswardono (Jakarta), Ahmad Taufik (Peshawar), Ahmad Fuadi (Washington, DC), Zuhaid el-Qudsi (Kairo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus