DUA tentara Amerika tewas di perbatasan Pakistan-Afganistan, Sabtu pagi pekan lalu. Helikopter yang mereka terbangkan jatuh. Kuat diduga, helikopter itu ambil bagian dalam serangan darat pertama sejak perang dikobarkan George Bush, 7 Oktober lalu.
Laporan sejumlah kantor berita mengatakan, sekitar 100 pasukan khusus Amerika diterjunkan di sekitar Kota Mazar-i-Sharif, satu-satunya kota di wilayah utara yang dikuasai Afganistan. Serangan darat ini didukung dan dilindungi dari udara. Tentara Amerika tak sendiri. Pasukan Aliansi Utara diduga menjadi ujung tombak serangan itu.
Dilaporkan kemudian, seluruh pasukan dan skuadron udara kembali ke pangkalan (tentunya di Pakistan). Tak disebutkan jatuhnya korban, baik di pihak Amerika maupun Taliban, kecuali dua tentara yang tewas gara-gara helinya jatuh itu.
Sampai akhir pekan lalu, masih susah di-duga sedahsyat apa perang darat itu. Yang jelas, pasukan Amerika (dan sekutunya) mendapat keuntungan besar diizinkan menggunakan pangkalan udara Pakistan. Tiga pangkalan udara ditutup atas perintah Jenderal Musharraf agar pasukan Amerika leluasa menggunakannya.
Sejauh ini, baru Pakistan yang terang-terangan mengizinkan Amerika memarkir skuadron udaranya di pangkalan udaranya. Uzbekistan dan Tajikistan sebenarnya juga mengizinkan pasukan Amerika mendarat di pangkalan udara kedua negara itu, tapi tak diberitakan adanya pesawat-pesawat tempur Amerika di sana. Bisa jadi masih ada rasa sungkan Amerika, mengingat militer Tajikistan dan Uzbekistan mendapat bantuan besar dari bekas seterunya: Rusia. Menggunakan sejumlah fasilitas buatan Rusia (dan sebaliknya Rusia membolehkan peralatan perangnya dipakai Amerika) mungkin masih dihindarkan oleh kedua belah pihak.
Dengan taktik seperti serangan Sabtu pagi itu, hit and run, Amerika mutlak memerlukan pangkalan udara tak jauh dari medan tempur. Mustahil pasukan segera bisa ditarik kembali bila pangkalan udara yang digunakan adalah milik Amerika sendiri. Konon, memerlukan 40-an jam penerbangan bila pesawat harus berangkat dari pangkalan Amerika.
Maka, mau tak mau, Amerika memerlukan Pakistan. Masalahnya, mempertahankan negara ini tetap mendukung perangnya tak mudah. Amerika bukan cuma mempertaruhkan kekuatan militer, juga kekuasaan Musharraf.
Lihat saja. Di kota-kota perbatasan di Pakistan, hari Jumat seperti sudah menjadi hari wajib untuk demonstrasi mengutuk Amerika dan menuntut Musharraf mengundurkan diri. Jumat pekan lalu di Peshawar, umpamanya. Sejak pagi, tentara dan polisi menjaga pintu-pintu masuk ke dalam kota. Beberapa kawasan dikelilingi kawat berduri. Menjelang siang, beberapa jalan besar ditutup, lalu dikunci dengan panser. Toh, sehabis salat Jumat, massa berhasil berkumpul di Khyber Bazzar. Ribuan orang memadati jalan sepanjang tiga kilometer itu. Dua truk trailer digandeng belakangnya, lalu karpet dipasang, jadilah sebuah podium.
Kemudian, di podium itu tampil Ketua Jamiat-e-Islami, partai Islam terbesar di Pakistan, Qazi Hussain Ahmad. ”Sabiluna..., sabiluna..., al jihad..., al jihad,” teriak massa. ”Kami warga Pakistan, dengan prinsip la illaha illallah, menolak Musharraf,” Qazi berseru. ”Turunkan Musharraf, kacung kafir Amerika.” Massa pun bersorak.
Pelan, tapi sepertinya pasti, semangat anti-Amerika dan anti-Presiden Jenderal Perves Musharraf menjalar ke seluruh negeri, tak cuma di kota perbatasan. Menurut survei surat kabar nasional Pakistan, The News, hampir 90 persen responden anti-Amerika, dan sekitar 80 persen menuntut Musharraf mundur. Mereka yakin Amerika mengatur serangan udara dari menara-menara kontrol di pangkalan-pangkalan udara Pakistan.
Sejauh ini, Jenderal Musharraf, yang naik lewat kudeta di tahun 1999, memang memerlukan Amerika. Sebelum terjadi perang ini, Amerika mengembargo Pakistan gara-gara memiliki nuklir. Kini embargo dicabut, dan masuk dana bantuan US$ 600 juta dari Amerika.
Selain itu, pemerintahan Musharraf juga berharap, dengan adanya Amerika di sampingnya, provokasi India di Kashmir bisa mereda. Tapi harapan ini mungkin masih jauh. Awal pekan lau, tentara India menghujani wilayah Kashmir Pakistan dengan dalih kawasan itu menjadi sarang teroris Kashmir.
Tampaknya Musharraf menghadapi per-soalan tidak ringan. Menurut Letnan Jenderal (Purn.) Hamid Ghul, pengamat politik dan militer Pakistan, Musharraf telah melakukan kesalahan. ”Rakyat marah karena dia menjual bangsa ini kepada Amerika,” kata Hamid Ghul kepada TEMPO. Ia meramalkan, ”Jika perang berlarut-larut, rakyat marah dan turun ke jalan dalam jumlah besar, polisi serta tentara me-lakukan kekerasan, itulah saat kekuasaan Musharaf berakhir.”
Musharraf sendiri bukan hanya berpangku tangan. Ia mengonsolidasikan dukungan militer: tiga perwira tinggi pro-Taliban ia copot dari jabatannya, di antaranya Jenderal Mahmoud Ahmad, petinggi Intern Service Intelligence (intelijen militer Pakistan). Musharraf juga mencekal sejumlah pemimpin partai-partai Islam, seperti Maulana Fazal-ur Rahman, pemimpin Jamiat Ulama-e-Islami, dan Samiul Haq, Ketua Dewan Pertahanan Afgan-Pakistan. Terakhir, jenderal itu mengancam akan menerapkan peraturan darurat hingga memungkinkannya menghukum orang tanpa proses pengadilan.
Tapi, cukupkah itu? Menurut mantan perdana menteri Benazir Bhutto, musuh politik Musharraf, sang jendral dikelilingi pendukung Taliban yang setiap saat bisa saja mengkhianatinya.
Benazir mungkin berlebihan. Yang jelas, seperlima dari 114 juta warga Pakistan berdarah Pushtun, suku mayoritas di Afganistan. Lewat mereka inilah Taliban memperoleh dukungan, dan Pakistan menjadi satu dari tiga negara yang punya hubungan diplomatik dengan pemerintah Taliban (dua negara lain, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, setelah terjadi Tragedi 11 September memutuskan hubungan itu).
Berbaliknya Pakistan memusuhi Amerika—apa pun sebabnya—sangat menentukan perkembangan selanjutnya dalam krisis Afganistan kini. Juga menentukan percaturan internasional.
Arif A. Kuswardono, Ahmad Taufik (Peshawar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini