Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Das Mädchen, Si Pewaris Theopania

19 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMUA berawal pada tujuh tahun silam. Kanselir Helmut Kohl yang sudah 16 tahun berkuasa menuai dampak buruk dari inisiatifnya menyatukan Jerman Barat dan Jerman Timur pada 1989. Tingkat kemakmuran anjlok drastis. Langkah politik Kohl dibayar mahal dengan kekalahannya yang telak dari Gerhard Schröder pada pemilu 1998. Turunnya Kohl dari tampuk Kanselir—sekaligus sebagai pemimpin Partai Uni Demokratik Kristen (CDU)—membuat bintang Angela Merkel bersinar.

Merkel yang dipercaya Kohl menduduki jabatan Menteri Wanita dan Pemuda (1990) dan Menteri Lingkungan Hidup dan Keamanan Reaktor Nuklir (1994) kian terkatrol kariernya di dalam partai. Kohl yang selalu menyebut doktor fisika kuantum ini dengan panggilan das Mädchen (sang Gadis) melobi para pemimpin CDU agar murid politiknya ini menduduki jabatan lebih strategis dalam struktur partai sebagai Sekretaris Jenderal.

Setahun kemudian, ketika skandal keuangan melibas Kohl dan pemimpin CDU Wolfgang Schäuble, jalan Merkel menuju puncak pimpinan CDU tak terhalang lagi. Ia menjadi ketua baru dengan menorehkan sejumlah rekor: perempuan pertama yang memimpin CDU, petinggi Protestan di tengah mayoritas anggota partai yang Katolik, dan calon kanselir pertama dari bekas Jerman Timur di era Jerman Bersatu.

Prestasinya yang pertama lebih fenomenal, sebab kendati Jerman dikenal sebagai negara modern yang menjadi gudang ilmu pengetahuan dan penghasil para filsuf modern, perempuan di negeri ini masih berjalan dengan label 3K di kening mereka: Kirche (gereja), Küche (dapur), Kinder (anak-anak). Apalagi, ia seorang Ossi—sebutan untuk warga eks Jerman Timur (dari bahasa Jerman Ost yang artinya timur), yang praktis tak mengizinkan perempuan malang melintang di dunia politik. Jika Angie—nama panggilan akrab Merkel—mampu meraih kursi kanselir, ia akan tercatat dalam sejarah sebagai wanita pertama yang memimpin Jerman modern seperti halnya Maharani Theopania (960-991) memimpin Jerman Kuno.

Sampai awal September, berbagai jajak pendapat menunjukkan keunggulan CDU yang dipimpin Angie dua digit di atas Partai Demokratik Sosial (SPD) pimpinan Schröder. Jika karisma dan kemampuan orasi personal tak dihitung, dapat dipastikan Angie akan mengulang jejak Theopania. Apalagi, pemilu legislatif ini bukan untuk memilih kanselir, melainkan anggota parlemen (Bundestag).

Jadi, betapa pun populernya Schröder di mata publik karena keberaniannya berkata ”tidak” terhadap ajakan Bush untuk menempatkan tentara di Irak, kegagalan SPD memperkecil angka pengangguran membuat posisi CDU kian diidam-idamkan untuk mengambil alih pemerintahan.

Debat televisi pada 4 September 2005 menjadi mimpi buruk Angie tatkala dia keseleo lidah membedakan antara pendapatan kotor (gross income) dan pendapatan bersih (net income). Selain itu, strategi Angie menggandeng Profesor Paul Kirchhoff, mantan hakim Mahkamah Konstitusi Jerman yang juga pakar fiskal, sebagai calon Menteri Keuangan dalam kabinetnya kelak berubah menjadi santapan lezat bagi kubu SPD yang mahir memanfaatkan momentum politik.

Konsep Kirchhoff untuk menerapkan konsep pajak penghasilan sebesar 25 persen sama rata bagi semua golongan masyarakat Jerman membuat pamor CDU yang awalnya melesat jauh dalam beragam jajak pendapat kembali didekati SPD. Selisih perbedaan menjelang hari-hari terakhir pemilu hanya tinggal 6-7 persen untuk keunggulan CDU.

Dalam konsep negara kesejahteraan sosial (social welfare state) seperti Jerman, model pajak penghasilan yang dilansir Kirchhoff dan mendapat dukungan Angie bukan hal yang ingin didengar masyarakat. ”Amat tidak adil menyamakan pajak bagi para manajer, sopir, atau buruh kasar,” sambar Schröder yang sejak itu selalu menyebut ”Profesor dari Heidelberg” untuk meledek Kirchhoff dan CDU.

Jika hasil debat televisi itu berdampak jauh bagi keputusan peserta pemilu pada 18 September, Angie boleh jadi tak akan menjadi virgo desiderata—putri yang diimpikan untuk meneruskan kekuasaan dalam tradisi kerajaan—seperti Theopania dulu. Paling tidak, untuk saat ini.

Akmal Nasery Basral

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus