Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUSIM gugur terpucat bisa jadi menerpa karier politik Gerhard Schröder sebagai kanselir pada Ahad, 18 September, tatkala Jerman melangsungkan pemilu. Schröder adalah bintang yang berpendar dalam pemilu 1998. Dia menang telak atas mantan kanselir Helmut Kohl dengan menyikat lebih dari 50 persen suara. Kali ini, ilusi kemenangan mutlak harus dibuangnya jauh-jauh. Persaingan diramalkan amat ketat. Partai Demokratik Sosial (SPD) yang menyangga Schröder bakal ditempel oleh Partai Uni Demokratik Kristen (CDU). Apalagi, Angela Merkel, Ketua CDU, kini menjadi pujaan baru anak negeri Jerman (lihat Das Mädchen, Si Pewaris Theopania).
Berbeda dengan pemilu 1998, hasil akhir coblosan kali ini juga tak bisa diketahui secepatnya. Kamis lalu, Kerstin Lorenz—salah satu calon Partai Liberal Demokrat (FDP) dari wilayah pemilihan Dresden (ibu kota Negara Bagian Saxony)—mendadak meninggal karena stroke. Musibah ini memundurkan hasil final penghitungan suara: Dresden harus mengganti calon serta mengubah kertas suara.
Penundaan penghitungan suara di Negara Bagian Saxony akan berdampak bagi penghitungan suara secara nasional di 16 negara bagian Jerman—apalagi jika ramalan para pengamat politik tentang ketatnya perolehan suara terbukti. Partai Demokratik Sosial yang kini berkuasa dengan koalisinya, Partai Hijau, akan menghadapi lawan yang sulit digempur: partai oposisi Uni Demokratik Kristen (CDU). Setiap suara amatlah berarti—termasuk suara dari Dresden. ”Penghitungan final hasil pemilu bisa mundur satu minggu (akibat kematian Lorenz—Red.) dari jadwal yang sudah ditetapkan,” ujar Irene Schneider-Böttcher, Kepala Panitia Pengawas Pemilu Saxony.
Pemilu 2005 menjadi ujian tersulit bagi Schröder yang berusaha memasuki masa jabatan ketiga. Jika dilihat dari saat pertama ia memerintah tujuh tahun lalu, rapor politisi kelahiran Mossenberg-Wöhren, 61 tahun silam, itu sedikitnya dihiasi dua angka ”merah menyala”, yakni angka pengangguran yang meroket sejak Perang Dunia II serta penurunan pendapatan per kepala masyarakat Jerman (lihat tabel 1).
Dua hal itu merupakan titik lemah yang bisa mengandaskan impian Schröder untuk menuntaskan Agenda 2010 yang dia rancang untuk menyehatkan perekonomian Jerman. ”Kebanyakan masyarakat berpikir SPD sudah tidak bisa lagi mengurus negara. Namun, amat sedikit orang yang percaya CDU bisa melakukannya,” ujar Manfred Guellner, Direktur Perusahaan Riset Forsa, seperti dikutip kantor berita Bloomberg.
Sistem pemilu legislatif Jerman mensyaratkan ambang pemilihan (electoral threshold) 5 persen atau memiliki tiga kandidat yang terpilih langsung agar bisa memiliki wakil di Majelis Rendah (Bundestag). Hal ini membuat peta politik Jerman hanya dikuasai oleh lima partai sejak 1990, yakni SPD, CDU dan Uni Sosialis Kristen (CSU, saudara kandung CDU yang hanya bergerak di Bavaria), FDP, Aliansi 90 (Partai Hijau), serta Partai Sosialis Demokratik (PDS) atau Partai Kiri pecahan SPD.
Karena belum pernah ada partai yang bisa menjadi mayoritas tunggal dengan meraih 51 persen suara pemilih, maka partai pemenang harus selalu menjalin koalisi dengan partai yang lebih kecil jika ingin menjalankan kekuasaan. Koalisi yang selalu terjadi selama ini adalah SPD-Partai Hijau berhadapan dengan koalisi CDU/CSU dan FDP.
Hasil jajak pendapat yang dirangkum majalah Der Spiegel dari lima jajak pendapat utama sampai Jumat tengah malam—kurang dari 48 jam sebelum pemilihan—menunjukkan, CDU/CSU dipilih oleh 41,7 persen pemilih terdaftar, dibanding dengan SPD (32,9 persen). Sementara itu, FDP, calon koalisi CDU/CSU, hanya memperoleh 6,5 persen, sehingga koalisi ini hanya mengumpulkan 47,2 persen suara. Adapun Partai Hijau yang menjadi mitra SDP meraup 7 persen, sehingga koalisi ini maksimal meraih 40 persen suara. Sementara itu, PDS yang didirikan antara lain oleh Oskar Lafontaine, mantan petinggi SPD, meraih 8,5 persen.
Karena tidak ada yang menguasai Bundestag secara mayoritas, maka hanya tersisa satu pilihan: koalisi yang melibatkan keempat partai selain PDS alias Koalisi Besar. ”Ini yang mungkin terjadi dari pemilu sekarang,” ujar Oskar Niedermayer, pengamat politik dari Freie Universitat, Berlin. Kalau itu terjadi, maka PDS alias Partai Kiri menjadi satu-satunya oposisi di luar pemerintahan yang mendapat durian runtuh karena bisa berperan amat radikal. ”Kebijakan politik alternatif harus ada di parlemen. Misi kita adalah menghentikan neoliberalisme,” ujar Gregor Gysi, kandidat utama dari PDS.
Adapun Koalisi Besar sekarang akan mengalami perbenturan dahsyat di dalamnya karena orientasi politik yang bertolak belakang. Koalisi Besar memungkinkan pemerintah untuk melakukan semua kebijakan, termasuk mengganti undang-undang. ”Ini akan merugikan perkembangan demokrasi Jerman,” keluh petinggi Partai Hijau, Robert Heinrich. ”Karena itu, kami hanya punya satu sikap: berkoalisi dengan SPD atau menjadi oposisi.” Sinyal penolakan juga dilontarkan dari markas CDU. ”Koalisi besar memang mungkin, tapi kalau itu yang terjadi, itu akan menyulitkan partai kami dalam menjalankan suatu kebijakan secara penuh. Koalisi Besar tidak akan stabil,” ujar Olav Goehs, penasihat urusan keamanan dan luar negeri CDU.
Dengan kemungkinan serumit ini, agaknya bukan hanya Schröder yang menghadapi sebuah musim gugur yang pucat, tapi juga lawan politiknya, Angela Merkel, dan masyarakat Jerman secara keseluruhan.
Sebuah keriuhan politik yang terdengar seperti syair Bertolt Brecht yang selalu membius, menggerumun sejak lima dekade silam: Di dalam rumahmu/dusta dipekikkan nyaring/Tetapi kebenaran/mengapa senyap/Begitukah? (O Jerman, Bunda Yang Pucat!)
Akmal Nasery Basral
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo