CITRA Pol Pot rupanya sudah disadari jelek benar Seorang
pejabat tinggi Muangthai pekan lalu mengungkapkan kepada Bangkok
Post bahwa Perdana Menteri Pol Pot telah dicopot dari
jabatannya. Kongres Rakyat Demokratik Kambodia (PCDK) yang
bersidang di pegunungan Cardamon pertengahan Desember lalu telah
menunjuk Khieu Samphan, Kepala Negara DK, sebagai perdana
menteri yang baru Dan dalam salah satu keputusan PCDK juga
disebutkan tentang adanya perubahan konstitusi sosialis. I tal
ini, begitu sumber tersebut menjelaskan, dimaksudkan untuk
membuuka jalan bagi kerjasama seluruh kelompok gerilya yang
sedang melawan Vietnam.
Pergantian ini tampaknya juga bertujuan memperbaiki citra
mereka. Rezim Pol Pot selama ini dianggap tergolong kejam dalam
sejarah umat manusia. Bahkan Pangeran Norodom Sihanouk, bekas
kepala negara Kambodia yang digulingkan Lon Nol, menyebut Pol
Pot sebagai orang gila. Dan ia menyebut Ieng Sary, Menlu dalam
rezim Pol Pot, sebagai orang sadis. "Mereka adalah fasis
bukannya komunis," kata Sihanouk yang dikutip The Straits
Times Khieu Samphan, 48 tahun, yang masih bujangan itu mendapat
gelar Doktor Ekonomi di Universitas Sorbonne, Paris. Dia pernah
menjadi menteri dalam pemerintahan Sihanouk, sebelum terpaksa
melarikan diri ke hutan.
Pemunculannya sekarang mungkin akan memperlancar jalan bagi
golongannya untuk bergabung dengan Sihanouk, Lon Nol dan
kelompok lainnya dalam Front Persatuan dalam melawan Vietnam.
Apalagi selama ini tokoh Khieu Samphan tergolong moderat. Dialah
yang mengusahakan pembcbasan Sihanouk dari tahanan rumah Januari
lalu, beberapa saat sebelum Vietnam merebut Phnom Penh. Terbuka
kesempatan pada Sihanouk kemudian untuk pergi ke Beijing. Namun
dia juga dikenal sebagai seorang komunis yang nasionalis dan
anti-kerajaan. Bahkan berbagai kalangan percaya bahwa program
yang dilancarkan Pol Pot ketika mengosongkan Phnom Penh --
setelah Lon Nol jatuh tahun 1975 -- berdasarkan thesis ekonomi
Khieu Samphan daham membangun masyarakat Kambodia yang tanpa
kelas.
Bahwa langkah baru ini akan merupalan tahap pertama bagi suatu
penyelesaian politik di kawasan Indocina itu. Mungkin masih
sulit untuk diramal. Karena para kelompok anti-Vietnam yan
sekarang berjuang di dekat perbatasan Muangthai-Kambodia
tampaknya cukup berselisih paham. Mereka datang dari berbagai
aliran ideologi.
Minimal dengan pergantian Pol Pot ini mungkin tercipta opini
internasional yang baru. Karena selama ini sulit bual negara
tertentu untuk bisa mengakui atau mendukung Pol Pot dalam
menghadapi Vietnam Terutama mengingat kekejaman rezimnya.
Sihanouk bahkan menyesalkan sikap beberapa negara Karat dan
ASE\N yang nemberikan dukungan pada rezim Pol Pot supaya
tetap menduduki kursi Kambodia di PBB dalam wawancaranya dengan
The Straits Times, Shihanoukk mengatakan, "Saya sangat marah,
saya protes. Karena di negara saya tak ada pemerintahan. Vietnam
menjajah negara saya." Kemarahan Sihanouk ini tentu saja
disebabkan adanya dukungan yang diberikan ASEAN kepada rezim
Pol Pot sebagai pemerintahan yang sah.
Melawan Hak Rakyat
Namun setelah pertemuan Menlu ASEAN di Kuala Lumpur 15
Desember lalu, Indonesia muncul dengan sikap yang agak berbeda
dengan anggota lain. Paling tidak, seperti yang dikatakan Menlu
Mochtar Kusumaatmadja, dukungan terhadap pemerintahan Pol Pot
bukan tanpa reserve (TEMPO, 22 Desember).
Sementara itu usaha ASEAN untuk berdialog dengan Vietnam rupanya
sudah tertutup. Semula Menlu Malaysia Tengku Ahmad Rithauddeen
ditugasi menemui pemerintah Hanoi atas nama ASEAN. Ternyata
Hanoi menolak. Karena Hanoi tetap tidak mengakui ASEAN. Bahkan
Departemen Luar Negeri Vietnam, menurut Kantor Berita Vietnam
(VNA), menyatakan bahwa pernyataan Menlu ASEAN di Kuala Lumpur
itu adalah usaha campur tangan terhadap masalah dalam negeri
Kambodia. "ASEAN telah melawan hak rakyat Kambodia untuk
menentukan nasibnya sendiri dan secara kasar telah melanggar
hukum internasional dan piagam PBB," demikian Deplu Vietnam.
Rezim Heng Samrin yang didukung Vietnam makin kuat, menurut
laporan dari seorang juru potret Prancis yang mengunjungi
Kambodia selama 4 minggu. Dengan sepeda motor dan sebagian
dengan mobil, Jean-Claude Labbe memasuki wilayah itu tanpa
pengantar, dan tanpa menjumpai pendukung Pol Pot. "Sejauh yang
saya lihat tak satupun bendera Khmer Merah berkibar di wilayah
itu," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini