JABATAN tangannya keras. Tubuhnya tegap dengan berat 66 kg.
Sambil melinting rokok, ia berkata "Kalau saya berhenti
merokok, bisa jadi berat saya naik sampai 70 kg. Dan jantung
saya yang tidak akan kuat. "Dalam usianya yang 54 tahun, Pram
memang tampak sehat. Walau pendengarannya menurun "karena usia
tamhah tua."
Hari-hari pertama kebebasanya, rumahnya ramai dengan kunjungan
orang, termasuk banyak wartawan yang ingin mewawancarainya. Dan
Pramudya kelihatan menikmati semua ini. Walau diakuinya: "Saya
masih memerlukan waktu penyesuaian. Saya tidak biasa dengan
hidup berkeluarga seperti ini."
Berubahkah Pram, setelah 14 tahun di penjara? "Saya beruntung
karena saya bisa mempertahankan nilai-nilai saya. Karena saya
menulis. Dengan menulis itu tak terjadi suatu krisis identitas
pada diri saya. Integritas kepribadian tetap utuh."
Sekalipun ia tidak bebas waktu menulis, Pram menganggap waktu
menulis Itulah manusia bebas. Menjadi manusia bebas memang
keinginannya sejak kecil. Ceritanya:
"Waktu saya kelas 6 SD, saya bekerja di ladang waktu panen
jagung. Saya memikul jagung ke rumah yang jaraknya sekitar
setengah kilometer. Waktu beristirahat, ibu bertanya kepada
saya dalam bahasa Belanda. "Kau nanti kalau besar mau jadi apa?"
Saya bilang mau jadi petani. "Tidak bisa. Kau terlalu malas
untuk jadi petani. Engkau harus menjadi manusia bebas, asal
tidak melanggar kebebasan orang lain. Saya kira itu prinsip
liberalisme, tapi waktu itu saya tidak tahu. Kejadian itu
terpatri di kalbu saya. Dan itu yang selalu jadi titik tolak
saya. Sampai sekarang."
TOH Pram merasa kehilangan sesuatu. "Saya merasa kehilangan
perasaan tanggungjawab terhadap keluarga. Dan saya tidak tahu
bagaimana harus menebusnya. Apalagi setelah rumah saya
diambil... Pulang ke rumah sekarang, saya melihat istri saya
telah membangun rumah baru. Membesarkan dan mendidik anak-anak.
Jadi dia lebih pintar dari saya dan say bangga padanya."
Pramudya pernah mengasuh ruang 'Lentera' dalam harian Bintang
Tamu yang sering menghantam para sastrawan yang tidak sealiran
dengan dia, termasuk yang disebut kelompok Manikebu (Manifes
Kebudayaan). "Memang betul. Saya bilang, mereka juga boleh
mengecam saya. Saya tidak keberatan. Kenapa pada waktu itu
tidak dilakukan?"
Tapi bukankah mereka tidak punya kesempatan dan media, karena
kemudian Manikebu dilarang? "Mereka tidak bisa berkutik bukan
karena saya. Bukan saya yang membikinnya. Itu sudah kekuatan
lain. Jangan saya yang dituding. Sampai sekarang pun saya mau
dikritik, mau dikecam. Saya tidak menyukai kekerasan. Tulisan
boleh keras. Tapi menjawab dengan tulisan juga -- jangan dengan
gebuk," jawab Pram.
Pramudya termasuk di antara 105 tahanan yang dianggap "tidak
kooperatif." "Saya sendiri juga heran. Disuruh memacul, saya
mau. Juga nembuat jembatan, menempa besi. Bahkan menandatangani
sumpah/janji pembebasan juga mau. Kalau begitu itu dianggap
tidak kooperatif, saya ya tidak tahu."
Hidup hampir sepuluh tahun di Buru memberi pelajaran juga pada
Pram. "Makin kuat kepercayaan saya pada kemanusiaan Tanpa
lingkungan, termasuk kehidupan kemanusiaan, orang tidak akan
bisa hidup. Saya percaya bahwa humanisme sekarang sudah
mencapai humanisme planetair," katanya.
Ia menggulung rokoknya yang entah ke berapa."Waktu saya berumur
20 tahunan, saya melihat manusia dari awang-awang, saya melihat
ke bawah. Manusia saya anggap sesuatu yang bisa saya bikin
sekehendak saya. Antara 30-40 tahun saya melihat manusia di
atas dunianya. Dan pada usia setelah 40 tahun, saya melihat
manusia dari bawah telapak kakinya. Pribadi saya ditundukkan ke
bawah. Betul, kesadaran ini saya peroleh di Buru. Sebab melihat
bagaimana orang harus survive adalah suatu perjuangan sendiri."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini