SRI Sulistiantuti 19 tahun, tiba-tiba menangis keras ketika
semua tahanan yang bebas keluar dari Wisma Pandanaran siang 20
Desember itu. Ia memeluk kakaknya, Sri Sudariyanti sambil
terisak "Ayah tidak ada. Di mana ayahku? "
Seorang bekas tahanan mendekat. "Siapa ayahmu nak?". Sudariyanti
menjawab: "Trubus Sudarsono pak, dulunya dosen ASRI." Sang bekas
tahanan cepat menjawab: "Saya kenal ayahmu. Ya, dia pelukis dan
pematung terkenal. Tapi tak ada di Buru, nak."
Seorang petugas mendekat. "Apa adik membawa surat panggilan?".
Jawab Sudariyanti: "Tidak." Sambung si petugas: "Kalau tidak ada
panggilan, artinya ayah adik tak ada di sini. Nanti kita
selesaikan dengan baik. Datang saja ke kantor, jelaskan nama
ayah adik dan sebagainya. Pasti masalahnya selesai." Dan kedua
gadis itu segera diamankan dari kerumunan.
Sulistiantuti yang tinggal di Yogyakarta sebelumnya telah
bercerita panjang. Bersama kakaknya ia datang setelah membaca
berita bahwa hari itulah semua tahanan akan dibebaskan. Mereka
selalu menaruh harapan bahwa ayhnya masih hidup. Tidak
diingatnya dengan pasti, sejak kapan ia mencari tahu tentang
ayahnya secara intensif.
"Pokoknya setelah perasaan saya aman, setelah tahun 1970-an."
ujarnya. Sejak itu gadis ini mengirim surat ke berbagai tempat
Inrehab, baik di Jawa, luar Jawa maupun di Pulau Buru. "Pernah
ada balasan dari Buru, dari seorang bekas murid ayah saya. Ia
mengabarkan ayah tak ada di sana," tutur Sulistiantuti. Jawalan
lari lnrehab lain tak pernah ada.
"Ada yang mengabarkan, ayah tertembak di suatu tempat di Jawa
Tengah. Tapi saya tak percaya. Saya yakin ayah masih hidup,
kecuali ada kepastian. Kepastian itu yang saya tunggu," katanya.
Karena alasan itulah, kedua wanita ini selalu hadir pada banyak
upacara penglepasan tahanan G30S/PKI. Mereka sudah pernah hadir
di Semarang, Yogyakarta, Solo dan yang terakhir pekan lalu di
Semarang. Semuanya sia-sia "Seperti adik saya juga, saya hanya
ingin kepastian. Di mana ayah saya. Kalau ditahan, di mana
ditahannya Kalau mati, di mana kuburnya," sela Sudariyanti.
Trubus Sudarsono, lahir 24 April 1924, dikenal sebagai pelukis
naturalis dan pemacung yang kuat. Selain sebagai dosen Senirupa
ASRI, ia dikenal sebagai tokoh Lekra. Sejak Oktober 1965
nasibnya tidak diketahui dengan persis. Anak-anaknya, 8 lelaki
dan 2 wanita, sebelumnya tak berani mencari tahu nasib ayahnya.
Memang belum pernah ada berita resmi. Tapi menurut banyak
pelukis Yogya, Trubus telah tertembak mati di akhir 1965 di
sekitar Gunung Merapi Kabarnya pada bulan Oktober 1965 bersama
beberapa tokoh PKI Yogyakarta, Trubus yang menjadi anggota DPRD
Yogya mewakili PKI, melarikan diri ke lereng Merapi. Yang
kemudian tertangkap hidup ialah drs. Sunardi, salah satu tokoh
PKI Yogya. Waktu itu arloji dan pakaian Trubus telah diserahkan
pada Ny. Trubus.
"Sebagai dosen dia baik cara mengajarnya, bisa mendekati
mahasiswa. Dan karyanya memang bagus. Hanya setelah laris,
sejak 1963 karyanya menurun," cerita Sudarmadji, Direktur Balai
Senirupa Jakarta yang pernah menjadi muridnya. Trubus mengajar
"Melukis Bebas" di ASRI dan pernah masuk kelompok Seniman
Indonesia Muda yang dipimpin S. Sudjojono di masa revolusi tahun
1940-an di Yogyakarta.
DAOED Joesoef, pelukis yang kemudian jadi ekonom dan kini
Menteri P&K, pernah membuat sketsa Trubus waktu masih muda di
sanggar. Mereka berlatih melukis sama-sama.
Akhirnya Trubus memang terbukti berbakat. Bahkan sangat dikagumi
oleh banyak orang. Sudjojono sendiri tidak berani menamakan diri
sebagai gurunya. Waktu itu mereka sama-sama melukis dengan gaya
realistis. Trubus punya kelebihan. "Gayanya realistis,
fotografis dan Indonesia . . . desa lagi. Bukan main," kata
Sudjojono, yang mengaku "malah belajar dari dia."
Tapi kekaguman pelukis yang boleh disebut salah seorang pelopor
seni lukis Indonesia ini, kemudian menurun. "Pengetahuan umum
Trubus itu tidak banyak. Sekolahnya SD pun tidak tamat, apa
hanya sampai kelas dua saja, saya lupa. Terus dia ikut-ikutan,
berubah gaya menjadi impresionistis. Ini saya sayangkan."
Padahal, menurut Sudjojono, bila dia tetap pada gayanya semula
"dia akan lebih hebat, dan akan ikut menentukan jalannya
senilukis Indonesia."
Nasib agaknya menentukan lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini