Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sri yang selalu mencari

Trubus sudarsono, bekas dosen asri, tokoh lekra/pki, sejak okt'65 nasibnya tidak diketahui. kabarnya tertembak di sekitar g. merapi. puterinya, sri sulistian tuti, selalu mencari dan menaruh harapan. (nas)

29 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SRI Sulistiantuti 19 tahun, tiba-tiba menangis keras ketika semua tahanan yang bebas keluar dari Wisma Pandanaran siang 20 Desember itu. Ia memeluk kakaknya, Sri Sudariyanti sambil terisak "Ayah tidak ada. Di mana ayahku? " Seorang bekas tahanan mendekat. "Siapa ayahmu nak?". Sudariyanti menjawab: "Trubus Sudarsono pak, dulunya dosen ASRI." Sang bekas tahanan cepat menjawab: "Saya kenal ayahmu. Ya, dia pelukis dan pematung terkenal. Tapi tak ada di Buru, nak." Seorang petugas mendekat. "Apa adik membawa surat panggilan?". Jawab Sudariyanti: "Tidak." Sambung si petugas: "Kalau tidak ada panggilan, artinya ayah adik tak ada di sini. Nanti kita selesaikan dengan baik. Datang saja ke kantor, jelaskan nama ayah adik dan sebagainya. Pasti masalahnya selesai." Dan kedua gadis itu segera diamankan dari kerumunan. Sulistiantuti yang tinggal di Yogyakarta sebelumnya telah bercerita panjang. Bersama kakaknya ia datang setelah membaca berita bahwa hari itulah semua tahanan akan dibebaskan. Mereka selalu menaruh harapan bahwa ayhnya masih hidup. Tidak diingatnya dengan pasti, sejak kapan ia mencari tahu tentang ayahnya secara intensif. "Pokoknya setelah perasaan saya aman, setelah tahun 1970-an." ujarnya. Sejak itu gadis ini mengirim surat ke berbagai tempat Inrehab, baik di Jawa, luar Jawa maupun di Pulau Buru. "Pernah ada balasan dari Buru, dari seorang bekas murid ayah saya. Ia mengabarkan ayah tak ada di sana," tutur Sulistiantuti. Jawalan lari lnrehab lain tak pernah ada. "Ada yang mengabarkan, ayah tertembak di suatu tempat di Jawa Tengah. Tapi saya tak percaya. Saya yakin ayah masih hidup, kecuali ada kepastian. Kepastian itu yang saya tunggu," katanya. Karena alasan itulah, kedua wanita ini selalu hadir pada banyak upacara penglepasan tahanan G30S/PKI. Mereka sudah pernah hadir di Semarang, Yogyakarta, Solo dan yang terakhir pekan lalu di Semarang. Semuanya sia-sia "Seperti adik saya juga, saya hanya ingin kepastian. Di mana ayah saya. Kalau ditahan, di mana ditahannya Kalau mati, di mana kuburnya," sela Sudariyanti. Trubus Sudarsono, lahir 24 April 1924, dikenal sebagai pelukis naturalis dan pemacung yang kuat. Selain sebagai dosen Senirupa ASRI, ia dikenal sebagai tokoh Lekra. Sejak Oktober 1965 nasibnya tidak diketahui dengan persis. Anak-anaknya, 8 lelaki dan 2 wanita, sebelumnya tak berani mencari tahu nasib ayahnya. Memang belum pernah ada berita resmi. Tapi menurut banyak pelukis Yogya, Trubus telah tertembak mati di akhir 1965 di sekitar Gunung Merapi Kabarnya pada bulan Oktober 1965 bersama beberapa tokoh PKI Yogyakarta, Trubus yang menjadi anggota DPRD Yogya mewakili PKI, melarikan diri ke lereng Merapi. Yang kemudian tertangkap hidup ialah drs. Sunardi, salah satu tokoh PKI Yogya. Waktu itu arloji dan pakaian Trubus telah diserahkan pada Ny. Trubus. "Sebagai dosen dia baik cara mengajarnya, bisa mendekati mahasiswa. Dan karyanya memang bagus. Hanya setelah laris, sejak 1963 karyanya menurun," cerita Sudarmadji, Direktur Balai Senirupa Jakarta yang pernah menjadi muridnya. Trubus mengajar "Melukis Bebas" di ASRI dan pernah masuk kelompok Seniman Indonesia Muda yang dipimpin S. Sudjojono di masa revolusi tahun 1940-an di Yogyakarta. DAOED Joesoef, pelukis yang kemudian jadi ekonom dan kini Menteri P&K, pernah membuat sketsa Trubus waktu masih muda di sanggar. Mereka berlatih melukis sama-sama. Akhirnya Trubus memang terbukti berbakat. Bahkan sangat dikagumi oleh banyak orang. Sudjojono sendiri tidak berani menamakan diri sebagai gurunya. Waktu itu mereka sama-sama melukis dengan gaya realistis. Trubus punya kelebihan. "Gayanya realistis, fotografis dan Indonesia . . . desa lagi. Bukan main," kata Sudjojono, yang mengaku "malah belajar dari dia." Tapi kekaguman pelukis yang boleh disebut salah seorang pelopor seni lukis Indonesia ini, kemudian menurun. "Pengetahuan umum Trubus itu tidak banyak. Sekolahnya SD pun tidak tamat, apa hanya sampai kelas dua saja, saya lupa. Terus dia ikut-ikutan, berubah gaya menjadi impresionistis. Ini saya sayangkan." Padahal, menurut Sudjojono, bila dia tetap pada gayanya semula "dia akan lebih hebat, dan akan ikut menentukan jalannya senilukis Indonesia." Nasib agaknya menentukan lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus