Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR gembira itu akhirnya menjadi kenyataan. Jumat pekan lalu, dua awak jaringan televisi Prancis Antenne-2 dilepaskan setelah disekap oleh Organisasi Keadilan Revolusioner (Revolutionary Justice Organization) sejak akhir bulan Maret. Bersama dua rekan sekerja lainnya, juru berita Philippe Rochot, 40, dan juru kamera Georges Hansen, 45, diculik tidak lama setelah mereka terakhir terlihat mengabadikan aksi unjuk perasaan Partai Hisbullah - kelompok yang dikenal sangat pro-Iran. "Mereka kerap membawa buku bacaan. Terkadang surat kabar," kata Rochot mengenang kebaikan para penculik yang telah menyekapnya selama 105 hari setelah dibebaskan. Sehari setelah pembebasan kedua orang Prancis tersebut, dua mahasiswa Siprus di Universitas Amerika, Stavros Yiannaki dan Panayiotis Tirkas, juga boleh kembali menikmati kemerdekaan mereka. Kedua pemuda berusia 25 tahun itu sebelumnya disekap oleh kelompok Organisasi Pembebasan Islam Khaled Ibn al-Walid Forces, sempalan yang pernah menyandera empat diplomat Kedubes Soviet dan membunuh salah seorang di antaranya. Meski empat orang itu sudah dibebaskan, masih ada 18 warga negara asing lainnya yang belum ketahuan nasib mereka, tersebar di beberapa tangan. Sejak bulan lalu, desas-desus pembebasan para sandera Prancis santer terdengar di Beirut. Kendati berbagai upaya telah dilakukan, sebegitu sejauh belum terlihat perkembangan yang memuaskan. Para sandera tetap tidak terjamah, walaupun sebagian di antara mereka berstatus diplomat dan sudah berumur. Menghadapi jalan buntu ini, belakangan Prancis mengambil jalan pintas: pemerintah Prancis meminta bantuan Iran. Tindakan ini cukup kontroversial, karena sebelum keempat awak televisi itu disekap, Paris selalu menghindari semua tuntutan kelompok-kelompok yang menyandera warga negaranya. Tampaknya, pendekatan terhadap Iran ini tidak semata-mata untuk soal penyanderaan. Awal bulan ini, delegasi Prancis terbang ke Teheran: membicarakan kemungkinan pencairan kembali kekayaan Iran di Prancis sejumlah US$ 1,5 milyar, yang dibekukan sejak Revolusi Iran, 1979. Tidak lama kemudian, dari Paris terdengar berita "pengusiran" kelompok pembangkang pelarian Iran yang berpangkalan di sana. Pihak kepolisian membantah adanya perintah pengusiran tersebut. Namun, Sabtu dua minggu lalu? Massoud Rajavi, gembong kelompok gerliyawan antipemerintahan Khomeini, Mujahidin Khalq, diketahui meninggalkan Paris menuju Damaskus menaiki pesawat pribadi. Beberapa saat kemudian, kepolisian mengobrak-abrik markas terselubung beberapa kelompok Mujahidin lainnya. Tampaknya, kepergian Rajavi merupakan manuver untuk meraih hati Teheran maupun kelompok-kelompok pro-Iran yang diduga menyekap para sandera asal Prancis. Sekaligus pula sebagai "konsesi" dari Prancis yang berniat mencairkan kekayaan Iran itu. Tindakan ini sangat menggusarkan Irak, tentunya. Untuk itu kepada Menteri Luar Negeri Irak Tariq Aziz, Perdana Menteri Jacques Chiraq maupun Presiden Francois Mitterrand tetap menjanjikan kelangsungan bantuan ekonomi maupun militer. Baghdad tentu saja khawatir bahwa manuver Prancis, yang menurut mereka semata-mata hanya untuk menyelamatkan segelintir warga negaranya, dapat merusakkan hubungan mereka. Padahal, sebelumnya, Prancis tidak pernah begitu saja takluk terhadap permintaan maupun tuntutan para penyandera. Namun, dalam wawancara televisi yang disiarkan Senin dua pekan lalu, Chiraq menegaskan, Prancis tidak akan mengubah kebijaksanaan luar negeri di Timur Tengah demi Teheran. Tapi mengapa Prancis toh harus menggeser sikap mereka? Kebimbangan Chiraq mungkin bisa dimengerti. Pada masa pemerintahan sosialis sebelumnya, Prancis boleh dikata gagal membela nasib warga negaranya. Tokoh konservatif Chiraq agaknya ingin mengubah citra itu, paling tidak kepada pendukung-pendukungnya, aliansi konservatif-kanan yang menguasai mayoritas di parlemen. Tidak banyak jalan yang tersedia untuk menyelamatkan nasib para sandera. Di satu pihak, mereka dihadapkan kepada tuntutan yang terkadang mustahil, misalnya: membebaskan para tahanan pro-Iran. Di sisi berikutnya, upaya yang dilakukan oleh para mediator - baik sukarela maupun utusan pemerintah bersangkutan - lebih banyak menemui jalan buntu. Prancis sendiri cukup berpengalaman menghadapi para mediator tersebut, seperti halnya Dr. Razah Raad dan pengusaha asal Syria Omran Adham. Para penyekap sendiri umumnya tidak ragu-ragu menghabisi nyawa sanderanya. Ini terbukti ketika kelompok Syiah menghabisi nyawa seorang Amerika tatkala mereka membajak sebuah pesawat TWA berpenumpang 39 orang, tahun lalu. Para sandera akhirnya bisa dilepaskan setelah Presiden Syria Hafez al-Assaad dan pemuka Milisi Syiah Libanon Nabih Berri campur tangan. Selama dua tahun terakhir ini sudah enam sandera asing tewas di tangan para penyekapnya. Jumlah ini mungkin bertambah jika tidak ada campur tangan kedua tokoh tadi. Tak mengherankanlah jika Chiraq mengucapkan terima kasih kepada Hafez al-Assaad, setelah kedua warga negaranya dibebaskan pekan lalu. Kedua nama tersebut memang ampuh dipergunakan, karena mereka tinggallah sekutu Iran di Timur Tengah. Tapi belum jelas sampai kapan persekutuan mereka bertahan Syria sendiri masih mengandalkan impor minyak murah dari Iran. Namun, belakangan ini sempat terhenti, karena Damaskus masih menunggak pembayarannya sejak tahun 1982. Selain kedua tokoh tadi, Yasser Arafat juga masih membuktikan dirinya sebagai tokoh yang bisa diandalkan menghadapi kelompok-kelompok sempalan itu. Buktinya, ia berhasil membebaskan kedua mahasiswa Siprus itu. Hanya saja di Libanon, ia tidak lagi mendapat tempat istimewa. James R. Lapian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo