Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAUT sebentar lagi akan menjemput mereka. Tali gantungan akan dilingkarkan ke leher, kemudian tubuh-tubuh itu melorot ke bawah. Napas mereka lepas, lalu tubuh mereka pun lunglai. Kematian dengan cara penggantungan itulah yang, menurut rencana, akan dialami Brian Geoffrey Chambers, 29, dan John Kevin Barlow, 28, Kamis pekan ini. Lembaga Pengampunan (Pardons Board) Penang, Malaysia, Sabtu pekan lalu menolak permohonan ampun keduanya sekaligus memperkuat putusan yang dikeluarkan Ketua Mahkamah Agung Malaysia, bulan Desember tahun lalu. Ceritanya dimulai pada November 1983. Waktu itu Barlow melapor ke bagian pendaftaran penumpang, segera setelah keduanya tiba di Bandara Bayan Lepas, Pulau Penang, Malaysia. Setelah selesai, Barlow tidak memeriksakan tas bawaannya melalui sinar X. Hanya Chambers yang melakukan hal itu. Tentu saja Polisi Intel Shahariman curiga. Setelah diperiksa, di dalam tas Barlow didapati 179 gram heroin. Maka, pada 1984, Pengadilan Negeri Pulau Penang mengganjar kedua pemuda asal Australia itu dengan hukuman mati. Sesuai dengan UU Malaysia 1983, setiap orang yang membawa lebih dari 15 gram heroin akan digantung. Keputusan itu lalu dikukuhkan di tingkat pengadilan tinggi pada tahun 1985, dan MA pun memperkuatnya di tahun yang sama. Penolakan Lembaga Perampunan Penang yang dikeluarkan lima jam setelah perundingan yang dilakukan kelima anggotanya dinilai terlalu cepat. "Saya pikir, lembaga itu membutuhkan beberapa waktu lagi, sebelum membuat keputusan," ujar Karpal Singh, pengacara Barlow. Bahkan kedua ibu Chambers dan Barlow tak tahu bahwa permohonan pengampunan anak-anak mereka sudah ditolak ketika mereka memutuskan untuk menemui kedua anak itu. Bila hukuman mati itu jadi dilaksanakan, berarti Chambers dan Barlow merupakan orang Barat pertama yang dieksekusi sejak UU Anti Narkotik itu dicanangkan pada 1983. Gelombang protes pun bermunculan di Australia. Menlu Australia ad interim, Garet Evans, menilai, "hukum gantung tak sesuai dengan peri kemanusiaan." PM Bob Hawke masih berharap adanya perubahan dalam hukum Malaysia, Senin pekan ini. "Menlu Bill Hayden sudah berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan kedua warga kami dari tiang gantungan," katanya. Tampaknya harapan itu sia-sia. Pemerintah Malaysia diketahui sangat tegas menindak pembawa dadah (narkotik). Namun menyadari bahwa yang terkena kali ini adalah warga negara asing, Menlu Malaysia Tengku Ahmad Rithauddeen mengatakan kepada Bernama, "Kami mengharapkan pengertian masyarakat Australia atas kejadian ini." Anehnya, masyarakat Australia tampaknya tak peduli dengan nasib kedua warganya. Sebuah pengumpulan pendapat umum yang dilakukan harian Sun Herald belum lama ini menyimpulkan, lebih dari 60 persen setuju dengan penggantungan itu. Sisanya, 39 persen, menolak. Brian Chambers, yang ditemui ibunya dipenjara Pudu, Kuala Lumpur, tampak pasrah. Mengenakan kaus warna krem dan celana pendek warna cerah, bekas tukang las dari Perth, Australia, itu terlibat dalam percakapan yang akrab dengan ibunya. "Dia memang pemberani. Ini semua membuat saya jengkel," kata sang ibu, Sue Chambers, setelah menemui anaknya, selama tiga jam. Sedang Kevin Barlow tak mau ditemui ibunya, konon karena ia jengkel sebab mendengar orangtuanya menerima sumbangan US$ 7.000 dari pemerintah Australia untuk membela perkaranya, tapi ternyata tak berhasil membebaskannya. Barlow, yang hanya mau ditemui saudara perempuannya Michelle, pun tak banyak bicara. "Ia hanya berpesan agar saya berhenti menangis. Dia pun sangat senang menemui saya," kata Michelle pada wartawan. Selain kedua warga Australia itu, masih ada 107 orang lagi yang sedang menunggu keputusan MA Malaysia untuk dihukum gantung. Tercatat 36 orang yang dihukum dengan cara itu sejak tahun 1975. Malaysia, yang berpenduduk 15 juta jiwa itu, mempunyai sekitar 400.000 pecandu narkotik, suatu jumlah yang sangat mengkhawatirkan. Mungkin karena itulah mereka bersikap keras. Didi Prambadi, Laporan Kantor Berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo