DI balik kokpit tiap pesawat Mirage atau F-16, di belakang tiap rudal yang meluncur dan bom yang meledak dahsyat, ada sejumlah nama yang tersembunyi. Bukan nama pilot. Bukan nama teknisi. Bukan nama penemu. Perang memang bukan cuma cerita pahlawan dan persenjataan. Setidaknya semenjak empat dan lima abad yang lalu, dunia yang berubah karena cara perang yang berubah telah menjadikan medan pertempuran semacam bazaar terbuka. Di sana terbentang sebuah ruang pameran dan peragaan. Di sana manusia dan senjata diuji dan dlnilai, dan kemudian diberi harga. Ada selalu proses penawaran dan permintaan. Mereka yang mengorbankan diri atas nama tanah air atau iman sudah barang tentu tak merasa enak untuk diberi tahu bahwa ada kaitan heroisme mereka itu dengan soal jual beli. Para prajurit Khomeini, pasukan komando Israel, orang-orang bersenjata dalam cerita "realisme-sosialis" Soviet, juga Rambo, tentu akan memprotes. "Kami bukan berperang untuk kepentingan diri sendiri," mereka akan berkata. "Kami bahkan tak memikirkan gaji." Yang mereka lupakan lalah bahwa pada suatu hari di abad ke-14 ada orang-orang yang disebut condoterri. Tempatnya di Italia, tentu, dan mereka memang bukan pahlawan dari dongeng Homeros atau Mahabharata. Mereka sekadar prajurit sewaan, para pemain pro yang dibayar sebelum orang Italia menemukan gairah baru dalam pergulatan yang lebih aman (meskipun tak lebih murah) dengan membayar Paulo Rossi dan Altobelli. Beda antara para condoterri dan para pemain bola abad ini ialah: kehadiran mereka telah mengubah sejarah, khususnya sejarah perang. Setidaknya, menurut para ahli sejarah, sistem condoterri itu ikut menyumbangkan satu faktor yang menyebabkan Eropa (dan bukan Cina atau negeri lain), unggul di bidang teknologi persenjataan. Pada saat tenaga prajurit bisa disewa dari pasar yang terbuka, untuk dibeli oleh penawar yang tertinggi, mau tak mau sisi lain dari perang pun ikut menjadi komersial: pembuatan dan suplai senjata. Harga seorang prajurit toh tak cuma ditentukan oleh keahliannya, melainkan juga perlengkapannya. Komersialisasi itu menyebabkan persaingan yang seru. Dan persaingan itulah yang menyebabkan perlombaan senjata terjadi, baik dalam jumlah maupun dalam kualitas. Itulah justru yang tak berkembang pesat di Cina, negeri yang sebenarnya telah memasuki zaman teknologi yang unggul di bidang persenjataan. Di Negeri Cina, kita tahu, raja dan para mandarin tak menganjurkan usaha perdagangan di masyarakat. Mereka juga tak menganggap prajurit sebagai orang terhormat. Sebab, "Orang yang berpendidikan di negeri ini beranggapan membawa senjata adalah sesuatu yang memalukan," seperti tulis Wang An-Shih, seorang menteri di abad ke-11. Antara lain karena itulah Cina ditinggalkan Eropa dengan cepatnya. Setelah abad ke-13, memang orang-orang Cina sudah mencoba mengembangkan senjata api. Pada saat yang sama orang Eropa juga sudah mencobanya: lukisan paling awal tentang senjata jenis ini baik di Eropa maupun di Cina berasal dari tahun 1330-an. Tapi justru Eropa yang terpecah-pecah dan banyak berselisih, dan bukan Cina yang bersatu padu di bawah satu kekaisaran, yang akhirnya mengembangkan penemuan abad ke-14 itu. Dari panorama sejarah semacam itu yang tampak memang bukan komersialisasi melainkan sesuatu dalam perdagangan itu, yang menyebabkan dunia menemukan senjata-senjata baru. Yang menggerakkan adalah hasrat kekuasaan. Tentu, ada juga keasyikan dengan teknologi sebagai teknologi. Keasyikan Tom Vickers, yang tak mempedulikan kekayaan, meskipun dialah orang yang memiliki dan berada di balik pabrik senjata tersohor itu. Namun, pada akhirnya keputusan bukanlah pada seorang penemu, seorang teknikus. Pada akhirnya yang menentukan ialah mereka yang akan menggunakan teknologi itu. Dan mereka akan menggunakannya bukan karena mereka ingin punya alat baru. Mereka menggunakannya karena alat itu punya fungsi dalam apa yang disebut Sejarawan McNeill sebagai the pursuit of power. Terkadang power atau kekuasaan yang dikejar itu untuk menangkal agar diri kita tak dikuasai orang lain. Terkadang sebaliknya: justru karena kita ingin menguasai orang lain itu. Apa pun tujuannya, di dalamnya ada suatu sikap, bahkan suatu keyakinan, ganda. Pertama, bahwa teknologi persenjataan akan menyelamatkan kita. Kedua, bahwa manusia lain tak selalu akan menyelamatkan kita. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini