KAMBOJA. Laporan tentang suasana seram di Kamboja kini terus
bermunculan di pers Barat. Khmer Merah yang kini mengontrol
negeri itu dikabarkan membunuh orang dewasa sampai dengan
anak-anak siapa saja yang dicurigai dulu punya hubungan dengan
pemerintahan lama di bawah Marsekal Lon Nol, itu Presiden yang
dari kedodoran waktu Khmer Merah memasuki Phnom-Penh. Anak-anak
dipisahkan dari orang tua mereka, untuk dididik oleh Angkar
("Organisasi" atau "Partai"). Kuil-kuil dihancurkan. Pendeta
Budha dibunuhi atau,dicopot dianggap benalu masyarakat.
Pernikahan diubah caranya: dipimpin seorang orang tua, dan
bersama-sama dengan pasangan lain--yang dipaksakan oleh Partai
siapa calon mempelainya. Seorang Dutabesar Swedia dari Peking
yang pernah mengunjungi Kamboja (satu-satunya diplomat Barat)
menyatakan bahwa di negeri itu kini "uang tak berlaku". Segala
diransum, dan suatu sistim sosial-ekonomi yang lebil ekstrim
dari RRT ataupun Uni Soviet sedang dijalankan. Orang-orang
bekerja paksa, termasuk menggantikan kerbau di depan bajak,
dengan dikawai tentara Khmer Merah. Orang keturunan asing
dimusuhi atau diusir, termasuk yang berdarah Vietnam dan
TiongHoa. Perbatasan ditutup. Hanya 7 negara punya kedutaan di
ibukota Phnom Penh yang kini sepi, karena penduduknya yang dulu
3 juta (hampir separuh dari seluruh rakyat Kamboja) Sudah
digiring paksa keluar kota Ke-7 negeri itu adalah RRT, Albania,
Korea Utara, Kuba, Vietnam Selatan dan anehnya -- Yugoslavia.
Uni Soviet mungkin masih dimusuhi, lantaran dulu
pro-pemerintahan Lon Nol.
Benarkah semua eerita itu? Mungkin. Orang kuat dan Presiden
Khieu Samphan, yang masih muda (44 tahun) itu, konon
mempraktekkan pandangannya: campuran antara Marxisme dengan '
spiritualisme" - kabarnya sesuai dengan thesis doktornya di
universitas di Paris 20 tahun yang lalu. Sementara itu,
orang-orang Khmer Merah, yang terdiri banyak dari pemuda dusun
miskin, mungkin bertahun tahun menimbun dendam kepada suatu
rezim, yang pernah begitu serakah. korup dan seenaknya saja
menyedot kekayaan - baik dari dalam negeri maupun dari bantuan
asing.
Pangeran Sihanouk sendiri, yang berpihak pada Khmer Merah
setelah Lon Nol menggulingkannya, konon menangis melihat apa
yang berlangsung di negerinya kini. Ia sudah mundur. Tapi
orang-orang Khmer Merah berkata, dan agaknya yakin, bahwa semua
itu harus dilakukan untuk ''masa depan yang gemilang".
Potret-potret dalam majalah Paris Match 24 April yang lalu ini
mungkin merupakan gambar yang jarang diperoleh dari negeri yang
tertutup itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini