URUSAN lebih Rp 141 juta hingga akhir Maret kemarin masih
memusingkan para abdi hukum di Ambon. Jaksa Bob Nasution SH,
Kepala Kejaksaan Negeri kota itu, menuduh FS, bekas Kepala
Urusan Kas Negara dari Kantor Bendahara Negara Ambon, sebagai
orang yang mengkorupsi uang itu. Caranya, FS meminjamkan uang
tersebut kepada fihak lain untuk tujuan tertentu . Ada yang
untuk pejabat di lingkungan KBN sendiri sebesar Rp 6 juta lebih,
ada yang untuk pemborong-pemborong, besarnya lebih Rp 11 juta.
Kemudian untuk oknum di instansi lain berjumlah di atas Rp 800
ribu, dan untuk para pensiunan sekitar Rp 300 ribu. Tapi yang
besar adalah untuk seorang direktur perusahaan pemborong
bermerek Ujung Pandang, yang berdasarkan sebuah surat perjanjian
khusus telah kecipratan Rp 120 juta.
Terjaring
Karena itu, kata jaksa, tak syak terdakwa terjaring pasal-pasal
tindak pidana korupsi tahun 1971 plus ketentuan-ketentuan KUHP.
FS, dengan melawan hukum, dikatakan melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan lain
sehingga merugikan negara. Ia juga dengan sengaja menggelapkan
uang negara yang disimpannya dengan meminjamkannya kepada orang
lain. Barang-barang kekayaan milik terdakwa juga sudah diamankan
fihak kejaksaan, bagi keperluan barang bukti.
Perkara ini mengundang banyak pengunjung. Ada sekitar 500 orang
menonton setiap sidang yang sudah berjalan empat kali itu. Jaksa
kemudian menghadapkan tiga saksi utama. Saksi R. Iskandar, bekas
Kepala KBN Ambon, ketika dikonfrontir dengan terdakwa mengakui
pernah membuat kasbon meliputi puluhan juta rupiah. Tapi itu
untuk keperluan dinas, dijelaskan saksi. Dinyatakan praktek
demikian tidak dibenarkan peraturan. Menjawab Hakim Ketua Adnan
Amal SH, saksi membenarkan keterangan terdakwa bahwa saksi tidak
pernah melakukan pemeriksaan kas selama tiga tahun, 1972 hingga
1975. Katanya karena ia percaya kepada terdakwa. "Apa itu
melanggar ketentuan yang berlaku?", tanya hakim pula. "Ya",
jawab saksi singkat.
Bekas Kepala Kasir pada Urusan Kas Negara, KBN Ambon, sebagai
saksi berikutnya mengakui bahwa setiap pengeluaran uang negara
kepada para peminjam dilakukannya atas paraf (artinya
persetujuan terdakwa sebagai atasannya. Saksi mengakui ikut
"main" mengeluarkan kasbon atas dirinya sebesar Rp 4 juta
lebih, sehingga ia pun ditahan kejaksaan. Saksi juga turut
meminjamkan uang negara kepada beberapa pemborong. Dan semua itu
dilakukan tanpa paraf atasannya, yakni terdakwa. Tapi setelah
diketahui terdakwa, sang atasan pun ikut menyetujui. Saksi
menjelaskan, Rp 120 juta yang dipinjamkan kepada Direktur
Pemborong Ujung Pandang itu diberikan atas perintah tertuduh.
Supaya aman, dilakukan dengan menuliskan Rp 4 juta pada setiap
kas bon. Karena itu ada 40 kasbon.
Direktur Ujung Pandang, Anwar Jusni, mengakui ada hutangnya di
KBN sebesar Rp 120 juta. Uang itu dianggapnya sebagai pinjaman
dari terdakwa yang dikeluarkan dari kas KBN. Ia berkenalan
dengan terdakwa melalui M. Pattinasarany, bekas Kepala KBN Ambon
1972. Menurut saksi, Pattinasarany lah yang melicinkan jalan
sehingga ia mendapat manfaat dari perkenalan itu. Uang tersebut
diperoleh Jusni secara bertahap, dan setiap kali pengeluaran
selalu ada pemotongan 20 persen. Sampai keterangan ini, terdakwa
tegas membantah. Ia tidak pernah melakukan pemotongan sebagai
"balas jasa", kecuali hanya menerima bantuan bahan bangunan
misalnya semen, pasir, batu dan kayu. Jumlah Rp 120 juta itu
diterangkan saksi belum terlunasi hingga sekarang. Untuk
kelancaran pemeriksaan, ketiga orang ini diperintahkan untuk
ditahan.
Penyitaan barang-barang milik terdakwa (rumah, tanah,
kebuncengkeh, mobil dan dua sepeda motor) dilakukan di tempat
kediamannya di Kapaha, Ambon. Sempat terdakwa menjelaskan kepada
Pembantu TEMPO, bahwa barang-barang itu sudah dimilikinya sejak
1971. Saat itu ia punya modal Rp 5 juta, yang diputarkan untuk
menopang hidup. Karena itulah terdakwa menjelaskan bahwa
penyitaan itu tak dapat diterimanya sebagai tanda bukti adanya
penyelewengan. Terdakwa telah membikin perincian dari segala
benda yang kena musibah itu, dan keterangan perincian tersebut
kini sudah ada di tangan pembelanya, Buce Tahapary SH, seorang
dosen dari Universitas Pattimura. Ia menyesalkan kenapa kartanya
saja yang disita, sedang harta si pemborong di atas tidak
diapa-apakan.
Sementara itu ada info, bahwa Departemen Keuangan masih
menangguhkan pemindhan R. Iskandar, bekas Kepala KBN Ambon-
kabarnya karena Departemen ingin melihat persoalan itu
diselesaikan. Maksudnya jelas siapa yang harus memikul beban
atas bocornya kas milik rakyat itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini