Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kas bocor di ambon

Kantor bendahara negara di ambon kebocoran hingga rp 141 juta. terdakwa fs, bekas kepala urusan kas negara, meminjamkan uang tersebut kepada pihak lain, tiga saksi utama ikut ditahan untuk pemeriksaan.(hk)

8 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

URUSAN lebih Rp 141 juta hingga akhir Maret kemarin masih memusingkan para abdi hukum di Ambon. Jaksa Bob Nasution SH, Kepala Kejaksaan Negeri kota itu, menuduh FS, bekas Kepala Urusan Kas Negara dari Kantor Bendahara Negara Ambon, sebagai orang yang mengkorupsi uang itu. Caranya, FS meminjamkan uang tersebut kepada fihak lain untuk tujuan tertentu . Ada yang untuk pejabat di lingkungan KBN sendiri sebesar Rp 6 juta lebih, ada yang untuk pemborong-pemborong, besarnya lebih Rp 11 juta. Kemudian untuk oknum di instansi lain berjumlah di atas Rp 800 ribu, dan untuk para pensiunan sekitar Rp 300 ribu. Tapi yang besar adalah untuk seorang direktur perusahaan pemborong bermerek Ujung Pandang, yang berdasarkan sebuah surat perjanjian khusus telah kecipratan Rp 120 juta. Terjaring Karena itu, kata jaksa, tak syak terdakwa terjaring pasal-pasal tindak pidana korupsi tahun 1971 plus ketentuan-ketentuan KUHP. FS, dengan melawan hukum, dikatakan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan lain sehingga merugikan negara. Ia juga dengan sengaja menggelapkan uang negara yang disimpannya dengan meminjamkannya kepada orang lain. Barang-barang kekayaan milik terdakwa juga sudah diamankan fihak kejaksaan, bagi keperluan barang bukti. Perkara ini mengundang banyak pengunjung. Ada sekitar 500 orang menonton setiap sidang yang sudah berjalan empat kali itu. Jaksa kemudian menghadapkan tiga saksi utama. Saksi R. Iskandar, bekas Kepala KBN Ambon, ketika dikonfrontir dengan terdakwa mengakui pernah membuat kasbon meliputi puluhan juta rupiah. Tapi itu untuk keperluan dinas, dijelaskan saksi. Dinyatakan praktek demikian tidak dibenarkan peraturan. Menjawab Hakim Ketua Adnan Amal SH, saksi membenarkan keterangan terdakwa bahwa saksi tidak pernah melakukan pemeriksaan kas selama tiga tahun, 1972 hingga 1975. Katanya karena ia percaya kepada terdakwa. "Apa itu melanggar ketentuan yang berlaku?", tanya hakim pula. "Ya", jawab saksi singkat. Bekas Kepala Kasir pada Urusan Kas Negara, KBN Ambon, sebagai saksi berikutnya mengakui bahwa setiap pengeluaran uang negara kepada para peminjam dilakukannya atas paraf (artinya persetujuan terdakwa sebagai atasannya. Saksi mengakui ikut "main" mengeluarkan kasbon atas dirinya sebesar Rp 4 juta lebih, sehingga ia pun ditahan kejaksaan. Saksi juga turut meminjamkan uang negara kepada beberapa pemborong. Dan semua itu dilakukan tanpa paraf atasannya, yakni terdakwa. Tapi setelah diketahui terdakwa, sang atasan pun ikut menyetujui. Saksi menjelaskan, Rp 120 juta yang dipinjamkan kepada Direktur Pemborong Ujung Pandang itu diberikan atas perintah tertuduh. Supaya aman, dilakukan dengan menuliskan Rp 4 juta pada setiap kas bon. Karena itu ada 40 kasbon. Direktur Ujung Pandang, Anwar Jusni, mengakui ada hutangnya di KBN sebesar Rp 120 juta. Uang itu dianggapnya sebagai pinjaman dari terdakwa yang dikeluarkan dari kas KBN. Ia berkenalan dengan terdakwa melalui M. Pattinasarany, bekas Kepala KBN Ambon 1972. Menurut saksi, Pattinasarany lah yang melicinkan jalan sehingga ia mendapat manfaat dari perkenalan itu. Uang tersebut diperoleh Jusni secara bertahap, dan setiap kali pengeluaran selalu ada pemotongan 20 persen. Sampai keterangan ini, terdakwa tegas membantah. Ia tidak pernah melakukan pemotongan sebagai "balas jasa", kecuali hanya menerima bantuan bahan bangunan misalnya semen, pasir, batu dan kayu. Jumlah Rp 120 juta itu diterangkan saksi belum terlunasi hingga sekarang. Untuk kelancaran pemeriksaan, ketiga orang ini diperintahkan untuk ditahan. Penyitaan barang-barang milik terdakwa (rumah, tanah, kebuncengkeh, mobil dan dua sepeda motor) dilakukan di tempat kediamannya di Kapaha, Ambon. Sempat terdakwa menjelaskan kepada Pembantu TEMPO, bahwa barang-barang itu sudah dimilikinya sejak 1971. Saat itu ia punya modal Rp 5 juta, yang diputarkan untuk menopang hidup. Karena itulah terdakwa menjelaskan bahwa penyitaan itu tak dapat diterimanya sebagai tanda bukti adanya penyelewengan. Terdakwa telah membikin perincian dari segala benda yang kena musibah itu, dan keterangan perincian tersebut kini sudah ada di tangan pembelanya, Buce Tahapary SH, seorang dosen dari Universitas Pattimura. Ia menyesalkan kenapa kartanya saja yang disita, sedang harta si pemborong di atas tidak diapa-apakan. Sementara itu ada info, bahwa Departemen Keuangan masih menangguhkan pemindhan R. Iskandar, bekas Kepala KBN Ambon- kabarnya karena Departemen ingin melihat persoalan itu diselesaikan. Maksudnya jelas siapa yang harus memikul beban atas bocornya kas milik rakyat itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus