AKANKAH Partai Komunis Yugoslavia mengikuti jejak rekannya di Polandia? Bubar? Pekan lalu, Perdana Menteri Ante Markovic berseru, "Yugoslavia harus tetap jalan dengan atau tanpa Partai Komunis." Awalnya adalah debat di Kongres Partai ke-45, pekan lalu. Delegasi Slovenia keluar dari sidang dan mengatakan akan membentuk partai baru. Pasalnya, wakil-wakil Partai Komunis Slovenia kecewa karena semua usul-usulnya ditolak. Yakni, soal disahkannya sistem multipartai, diperhatikannya masalah hak-hak asasi manusia, dan kebebasan berpolitik. Yang menentang usul itu terutama delegasi dari Serbia. Dari enam republik dan dua provinsi otonom, Croatia, Bosnia, dan Macedonia mendukung Slovenia. Sisanya, berdiri di belakang Serbia. Tampaknya, upaya Slovenia ini bukan yang pertama kali. Telah berkali-kali mereka mencoba untuk mengubah sistem politik di Yugoslavia, satu-satunya negeri sosialis di Eropa Timur setelah Soviet yang Partai Komunisnya tumbuh dari dalam. "Sebelumnya, malah kami mengharapkan agar Liga Komunis itu sendiri yang mengubah dirinya menjadi partai demokratik sosial," kata Petar Bekes, anggota partai dari Sloveni. Liga Komunis, itulah sebutan resmi Partai Komunis Yugoslavia. Padahal, di negara mendiang Marsekal Josip Tito ini, yang kini berpenduduk 23 juta jiwa, sudah ada sekitar 40 organisasi politik yang bermunculan di berbagai daerah meski umumnya bersifat lokal dan kesukuan. Bila Perdana Menteri Markovic yakin bahwa tanpa atau dengan Partai Komunis, ia masih bisa bertahan, itu karena militer berada di belakang dia. Para jenderal -- yang tampaknya sebagi-an besar akan menentang multipartai -- rupa-rupanya akan menyetujui semua kebijaksanaan Markovic. Soalnya, Perdana Menteri yang satu ini begitu murah hati untuk memenuhi kebutuhan militer, dalam keadaan ekonomi yang bagaimanapun. Kini, ekonomi Yugoslavia masih saja terus-menerus dilanda inflasi, malah pernah mencapai 3.000%. Hal ini disadari oleh Anton Markovic dan ia segera melakukan tindakan-tindakan yang radikal dalam menghadapi kesulitan ekonomi ini. Hasilnya, sejak awal tahun ini, nilai mata uang Yugoslavia terus menguat. Di samping itu, dalam 1990 ini, juga akan dibuka stock market di Beograd, Zagreb, dan Ljubljana. Hal ini dilakukan oleh Markovic, karena perdana menteri ini percaya bahwa hanya lewat liberalisasi di bidang ekonomi, seperti persaingan pasar yang bebas dan terbuka, ekonomi negaranya bisa diselamatkan. Tampaknya, dalam segi kebijaksanaan ekonomi ini, Yugoslavia cenderung memilih sistem liberal ketimbang negara Eropa Timur lainnya. Hanya saja, dalam segi politik, sejauh ini, negara nonblok ini tetap berpegang pada ideologi komunis. Percayanya Markovic terhadap sistem ekonomi pasar bebas, di samping dukungan militer, menyebabkan Markovic tak peduli apakah pemerintahannya atas nama Liga Komunis atau bukan. Sejauh ini, yang belum ditanggapi Markovic adalah ancaman keretakan dari sudut lain. Yakni, pertikaian etnis di Provinsi Kosovo, antara keturunan Albania yang muslim, dan keturunan Serbia dan Montenegro yang Kristen. Akhir pekan lalu, dalam sebuah insiden, polisi pemerintah dikabarkan terpaksa menggunakan tembakan guna meredakan huru-hara etnis itu. Akibatnya, 10 orang Albania tewas di hari Sabtu, empat lagi meninggal di hari berikutnya. Di provinsi itu hidup sekitar 1,7 juta orang Albania, dan 200.000 orang Serbia dan Montenegro. Sebenarnya, pertikaian ini bukan soal baru. Dalam sepuluh tahun terakhir, pihak minoritas -- yakni orang Serbia dan Montenegro -- sudah sekitar 40.000 yang pindah dari Kosovo. Melihat arus perubahan di Eropa Timur, besar kemungkinan sistem multipartai sulit ditolak, juga di Yugoslavia. Sidartha Pratidina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini