SIHANOUK kembali mundur. Kamis pekan lalu di Beijing tiba-tiba ia membuat pernyataan: mengundurkan diri dari pimpinan CGDK (Coalition Governments for Democratic Kampuchea -- Pemerintahan Koalisi Kamboja Demokratik). Tak cuma itu, ia pun mengumumkan tidak lagi menjadi panglima Dewan Pertahanan Koalisi tersebut. Orang yang selalu mengikuti langkah Sihanouk tentu tidak terlalu kaget. Soalnya, sudah empat kali Sihanouk mengumumkan dirinya mundur dari jabatan yang sudah dipangkunya sejak 1982 itu. Dan empat kali pula ia kembali lagi. Bisa jadi, pernyataan mundurnya yang kelima kali ini sekadar aksi strategi, seperti yang terjadi menjelang Pertemuan Informal Jakarta pertama, akhir Juli 1988 yang lalu. Kali ini yang dipersoalkan Sihanouk adalah tuduhan yang cukup gencar bahwa ia telah menjalin hubungan mesra dengan gerilyawan Khmer Merah. "Dengan tindakan ini, Pangeran menunjukkan kepada dunia bahwa ia bebas dari pengaruh Khmer Merah," kata pejabat politik kelompok Sihanouk di Bangkok, Keoputh Kasmi, menjelaskan sikap bosnya. Sejak pasukan Vietnam meninggalkan Kamboja September tahun lalu, keadaan medan perang memang berbalik. Koalisi gerilyawan, yang semasa tentara Vietnam bercokol di Kamboja banyak bersembunyi di hutan-hutan perbatasan, mulai giat menyerang berbagai kota. Bahkan Kota Battambang, yang dikenal sebagai basis militer Vietnam dan gudang beras, dikabarkan terus-menerus digempur roket. Rupanya, banyak pihak menduga, berada di atas anginnya Khmer Merah karena bersekongkol dengan Sihanouk. Sebenarnya, tuduhan itu bisa beralasan, karena Sihanouk adalah pimpinan Kelompok Koalisi itu. Tentu masuk akal jika muncul dugaan bahwa kerja sama di antara mereka tak cuma terjadi di dalam organisasi, tapi juga di medan perang. Mungkinkah tudingan ini pun hanya sekadar taktik pihak Hun Sen sebagai perang urat saraf? Apa pun latar belakangnya, tudingan yang muncul dari pers, politikus, dan para pejabat Barat ini tak bisa lagi diterima Sihanouk. "Pangeran sudah jenuh," tutur Kasmi. Yang jadi soal, sebenarnya, akankah pengunduran diri ini meruntuhkan koalisi yang terbentuk di Hotel Hilton Kuala Lumpur, delapan tahun yang lalu itu. Jika melihat beleid sebelumnya, kelihatannya Sihanouk tak akan benar-benar mundur. Pangeran yang licin dalam berpolitik ini juga sudah mundur dari jabatannya sebagai sekretaris jenderal Funcinpec, salah satu dari tiga faksi yang dikenal sangat loyal kepadanya. Toh ia mewariskan jabatan itu kepada salah satu dari sekian banyak putranya, Norodom Ranaridh. Terlebih lagi, yang dilepas oleh Sihanouk hanyalah jabatan sebagai pemimpin CGDK. Sedangkan jabatan kepala negara Kamboja masih dipegangnya. Sihanouk rupanya menyadari benar posisinya. Dialah satu-satunya tokoh yang bisa diterima berbagai pihak untuk memimpin Kamboja. Kalau memang demikian, bisa jadi pengunduran diri kali ini adalah bagian dari strategi lihai Sihanouk. Siasat ini sudah terbukti ampuh dalam Pertemuan Informal Jakarta I, ketika pemimpin dari tiga faksi lain "terpaksa" satu per satu menemui Sihanouk. Saat itu ia datang ke Jakarta bukan sebagai peserta pertemuan, melainkan tamu khusus Presiden Soeharto. Tinggal ditunggu, apakah Sihanouk harus diundang secara khusus lagi untuk berkunjung ke Jakarta pada JIM III bulan depan. Yang agak aneh adalah cara Sihanouk membantah tuduhan itu. Sebab, seandainya Khmer Merah terus menang, itu berarti mereka memang kuat dan tak membutuhkan bantuan kelompok Sihanouk. Tapi, jika Khmer Merah kalah, bisa jadi hal itu membuktikan bahwa ada kerja sama tersebut. Dua hal yang sama-sama tak menguntungkan sang Pangeran. Yuli Ismartono (Bangkok) dan Yopie Hidayat (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini