Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hawa dingin menusuk tulang mengiringi seratusan ribu orang berkumpul di Lapangan Kim Il-sung, Pyongyang, Selasa pekan lalu. Sembari mengacungkan tinju, mereka menyanyi tanpa henti di atas lapangan berselimut salju itu. Sesekali mereka meneriakkan, "Kim Jong-un… Kim Jong-un…."
Ditingkahi derum tambur dan hujan salju, mereka berpawai keliling kota sambil membawa bendera Korea Utara berukuran raksasa. Beberapa orang membawa plakat besar berisi ajakan untuk setia kepada Jong-un dan mendukung usaha-usaha perbaikan ekonomi.
Pada saat yang sama, televisi pemerintah menyiarkan video Jong-un sedang menginspeksi divisi tank Tentara Rakyat Korea (KPA). Dalam video itu terlihat Jong-un sedang berbincang dengan para serdadu, seperti yang kerap dilakukan mendiang ayahnya, Kim Jong-il, dan kakeknya, Kim Il-sung. Video itu disiarkan untuk menunjukkan kepada khalayak betapa Jong-un sangat percaya diri menjadi komandan tertinggi bagi 1,2 juta serdadu KPA.
Pria 27 tahun itu sempat berhenti dan menarik seorang serdadu sembari mengucapkan beberapa patah kata, yang membuat serdadu itu menitikkan air mata. Dia mengenakan mantel panjang berwarna gelap seperti yang dikenakan sang kakek saat masih berkuasa. Dia tampak berada di ruang pameran yang dihiasi deretan foto, termasuk gambar Kim Il-sung muda.
Aksi massa dan propaganda melalui layar kaca yang digalang Perdana Menteri Choe Yong-rim dan jenderal senior itu merupakan kampanye untuk mendukung pemimpin baru mereka. Semua petinggi militer dan Partai Buruh menyatakan sumpah setia kepadanya. Tak seorang pun ragu kepada Jong-un meski usianya masih belia.
"Dari lubuk hati yang paling dalam, saya yakin kami bisa membangun negara yang kuat dan makmur dalam kepemimpinan Kamerad Kim Jong-un, yang bijaksana dan dihormati," ujar pejabat senior Partai Buruh, Mun Gyong-dok, di depan massa, yang didominasi kaum muda.
Pakaian, penampilan, gerak-gerik, dan gaya Jong-un saat melakukan inspeksi mirip dengan gaya sang kakek. Para pelarian Korea Utara di Seoul mengatakan kesamaan itu merupakan strategi untuk memperkuat citra Jong-un, yang miskin pengalaman.
Dalam sebuah video, saat berkunjung ke divisi tank, figur yang pernah belajar bahasa Inggris di International School of Bern, Swiss, ini berjalan sambil memasukkan kedua tangannya ke saku mantel dan menonjolkan perutnya ketika menggoyangkan pinggul ke kanan-kiri. Sang kakek melakukan hal serupa selama kunjungan ke Cina pada 1950-an.
Jong-un juga tertawa keras dalam beberapa kesempatan dan menjabat erat tangan seorang serdadu dalam sesi foto bersama di pangkalan militer. Kim Il-sung, dalam kunjungan ke Vietnam pada 1957, menjabat tangan Presiden Ho Chi Minh dengan cara yang sama.
Dua Kim ini juga sering tampil mengenakan mantel dan sarung tangan, dengan potongan rambut yang mirip. "Penampilan Jong-un serupa dengan Il-sung saat berusia 33 tahun ketika kembali dari Rusia, tapi tampaknya itu dibuat-buat," kata seorang pelarian Korea Utara, An Chan-il, yang kini memimpin Institut Dunia untuk Studi Korea Utara di Seoul.
Dia mengatakan rezim Korea Utara sedang berusaha menyampaikan pesan kepada rakyatnya bahwa Il-sung muncul di masa-masa sulit dan demikian pula dengan Jong-un. "Kim Jong-un menyatakan, meski masih muda, dia mampu memegang kendali seperti yang dilakukan ayahnya," kata Kim Jin-moo, pakar Korea Utara di Institut Korea untuk Analisis Pertahanan (KIDA), Seoul.
Pendidikan politik Jong-un berlangsung amat cepat. Dia tak seberuntung ayahnya, yang mendapat kesempatan belajar kepada kakeknya selama 20 tahun hingga sang kakek meninggal akibat serangan jantung pada 1994. Jong-un baru mendampingi ayahnya dalam inspeksi-inspeksi militer dan kunjungan ke pabrik-pabrik setelah diangkat menjadi jenderal bintang empat dan wakil pemimpin Komisi Pusat Militer Partai Buruh pada September 2010.
Pada tahap awal, Jong-un tampak berhasil mengkonsolidasikan kekuasaannya. Peralihan kekuasaan berjalan mulus tanpa perselisihan atau pertumpahan darah. Semua itu sudah dia persiapkan sejak dinobatkan sebagai ahli waris sang ayah. Jong-un dengan cepat mengendalikan militer dan intelijen dengan dukungan penuh dari dua tokoh kunci rezim ayahnya, yakni pamannya, Jang Song-thaek, dan Kepala Staf Angkatan Perang Ri Yong-ho.
Saat ini praktis tidak ada penantang dari dalam negeri yang bisa mengusik kedudukannya sebagai calon pemimpin Korea Utara. Sebelum meninggal, Jong-il bahkan sudah menyetujui Jong-un menjadi "Sang Pemimpin" berikutnya.
Jong-un tentu tak bisa berdiri kokoh sendirian. Ada sejumlah figur yang berdiri di belakangnya. Para analis Korea Utara mengatakan ada orang-orang kuat yang berdiri di belakang Jong-un. Media setempat menamai orang-orang di balik layar ini sebagai "Gang of Seven"—beranggotakan tujuh tokoh senior militer dan Partai Buruh yang berkuasa. Mereka adalah Jang Song-thaek; Ri Yong-ho; Menteri Pertahanan Kim Yong-chun; dua anggota Komisi Pertahanan Nasional, Jenderal U Dong-guk dan Jenderal Kim Jong-gak; serta Sekretaris Partai Buruh Choe Tae-bok dan Kim Ki-nam.
Komisi Pertahanan Nasional adalah organisasi terkuat di negara itu. Komisi ini dulu diketuai Kim Jong-il. Kini secara resmi Jong-un belum menjadi anggota Komisi. Namun, menurut Park Chang-kwoun dari KIDA, Komisi akan tetap berada di belakang Jong-un meski sang ketua telah tiada.
Dukungan terkuat tentu saja datang dari sang paman, Jang Song-thaek, yang menjabat Wakil Ketua Komisi. Lelaki 65 tahun ini menikahi adik Kim Jong-il yang juga anggota politbiro partai, Kim Kyong-hui. Dia dikenal sebagai peminum berat, pribadi yang hangat, dan jago bermain akordion. Song-thaek baru muncul ke panggung politik ketika menjadi penasihat utama Jong-il pada 2008, setelah kondisi kakak iparnya melemah akibat stroke. Sebelumnya, ia dipercaya menjadi mentor putra tertua Jong-il, Kim Jong-nam, yang kini tinggal di Makau. Bahkan Song-thaek sempat disebut-sebut bakal menjadi pemimpin Korea Utara setelah Jong-il meninggal.
Song-thaek, yang berpikiran pragmatis, sudah menunjukkan kesetiaan kepada keponakannya ketika tampil mengejutkan saat menghormati jenazah mendiang Jong-il. Meski latar belakang militernya tak jelas, ia tampil di depan publik mengenakan seragam militer lengkap dengan empat bintang di pundak.
"Setelah kematian Jong-il, Jang Song-thaek adalah satu-satunya orang yang dipromosikan. Saya melihat ada perubahan padanya," kata Choi Jin-wook, kepala peneliti Korea Utara di Institut Unifikasi Nasional Korea (KINU), Seoul.
Ancaman dari luar negeri juga tak begitu berarti. Korea Utara sedang menjalani perundingan enam negara mengenai program nuklirnya. Perundingan ini melibatkan Korea Selatan, Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Rusia. Selama perundingan masih berlangsung, tak ada alasan bagi Amerika atau Korea Selatan untuk menyerbu negara komunis itu.
Bahkan Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak yakin hubungan kedua negara sedang memasuki era baru. "Jika Korea Utara datang dengan sikap tulus, ada kemungkinan bagi kami untuk bekerja bersama membuka era baru Semenanjung Korea," kata Myung-bak dalam pidato menyambut tahun baru 2012 pada Senin pekan lalu.
Masalah utama yang bisa menggoyang pemerintahan Jong-un saat ini masih sama dengan yang dihadapi ayahnya, seperti ketersediaan pangan dan energi, pemulihan ekonomi dan pembangunan, serta perdamaian di Semenanjung Korea.
Sapto Yunus (AP, Yonhap, The Telegraph, The New York Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo