Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ARYE Mekel, Deputi Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Luar Negeri Israel, pekan-pekan ini sibuk luar biasa. Dari kantornya di Kiryat Ben-Gurion, Yerusalem, ia mondar-mandir mengomandoi bawahannya.
Ini bukan soal proses pertukaran tahanan antara Hamas dan pihak Israel, yang mandek sejak pekan lalu. Juga bukan soal penangkapan 10 anggota Hamas di Tepi Barat beberapa hari lalu.
”Kami sedang menyiapkan rencana pengiriman penulis-penulis terkenal dan kelompok teater ke berbagai pameran dan acara di luar negeri,” kata Mekel. ”Mau kami, dunia melihat wajah Israel yang lebih ramah, bukan semata soal perang.”
Wajah Israel yang lebih ramah? Pemerintah Israel rupanya mulai pusing karena citra negatif yang terus membungkus sekujur tubuhnya. Pembumihangusan Gaza yang diniatkan menaikkan citra pemerintah Kadima agar tampak lebih garang menghadapi Hamas tidak membawa hasil gemilang. Sebaliknya, partai berkuasa Kadima justru rontok disapu Likud dalam pemilihan umum bulan lalu.
Celakanya, Likud—yang menang tipis atas Kadima dan mendapat dukungan dari partai agama serta kalangan kanan—juga susah diharapkan bakal menaikkan citra yang porak-poranda ini. Netanyahu dikenal sebagai penentang jalan damai menuju dua negara berdampingan. Ia juga lebih suka memperluas wilayah kekuasaan Israel di Palestina.
Perpanjangan waktu untuk membentuk pemerintah koalisi yang tenggatnya jatuh pada 3 April nanti juga menunjukkan keputusasaan Netanyahu. Ia sibuk melobi berbagai partai yang bakal memuluskan jalannya menuju pemerintah koalisi. Partai Buruh yang berwajah moderat kiri tengah ikut diajak berunding. Tapi, karena tidak sepaham, Netanyahu pun hanya bisa berpaling kepada partai garis keras yang berada di urutan ketiga dalam perolehan suara pemilu lalu itu.
Pekan lalu, Partai Likud memaklumkan bahwa Netanyahu sudah melamar tokoh Yisrael Beiteinu, Avigdor Lieberman. Penunjukan ini tentu saja mengundang khawatir sekutu Israel: Amerika Serikat dan Eropa. Lieberman, yang anti-Arab dan acap melontarkan ucapan pedas soal perdamaian Palestina, dikhawatirkan akan merepotkan mereka.
Dalam kampanyenya, Lieberman mengangkat isu kesetiaan kepada Israel dan menyerang warga Arab—yang populasinya mencapai seperlima bagian warga Israel. ”Yang tidak setia kepada negara Yahudi Israel sebaiknya minggir saja,” kata Lieberman.
Sikap Lieberman ini jauh-jauh hari sudah disoroti Eropa. Ketua Politik Luar Negeri Uni Eropa Javier Solana pekan lalu mengingatkan pihaknya akan mempertimbangkan kembali hubungan baiknya dengan Israel jika negara itu tidak mendukung terbentuknya negara Palestina yang berdaulat penuh.
Dunia memang sedang menyoroti Israel. Persoalannya bukan pada citra semata, melainkan juga pada politik luar negeri Israel. Empat dekade lamanya Israel bertahan menduduki wilayah Palestina dan menempatkan setengah juta warga Yahudi di lahan rampasan. Ekonomi di wilayah Gaza yang kian mundur dan terisolasi juga dipandang sebagai alasan gagalnya diplomasi luar negeri Israel. Penggunaan kekuatan militer yang jorjoran di Gaza awal tahun ini juga dikritik dunia internasional.
Isu negara Palestina yang berdaulat penuh memang menjadi jaminan reputasi Israel di luar negeri. Berbagai lembaga dunia juga lebih suka jika negara Palestina bisa berdiri dengan wilayah kekuasaan meliputi Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur.
Persoalannya, belum lagi tuntas Perdana Menteri Ehud Olmert meretas jalan menuju perundingan damai, koalisi kelompok tengah yang lebih moderat itu gugur. Netanyahu diyakini tidak akan menjadikan perundingan damai sebagai agenda utama.
Opsi dua negara berdampingan memang menjadi satu-satunya pilihan bagi Israel dan Palestina. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton terus menegaskan bahwa pilihan dua negara adalah jalan tengah yang paling mungkin dan bakal mengakhiri konflik puluhan tahun.
Hillary bahkan sempat mengkritik rencana Israel untuk meratakan perumahan warga Palestina di Yerusalem Timur serta keputusan Israel untuk tetap melarang distribusi makanan ke Gaza.
Keberatan-keberatan dari Eropa dan Amerika ini tentu saja bakal merepotkan Israel. Seorang pejabat di Kementerian Luar Negeri Israel menyebutkan kaum liberal dan demokrat di Amerika Serikat tidak terlalu antusias terhadap pemerintah Israel dan kebijakan mereka. Ini berbeda dengan yang terjadi di era George W. Bush.
Ketidaksukaan warga Yahudi Amerika terhadap arah pemerintah Israel juga tampak dari tanggapan di blog dan diskusi tentang negara Yahudi Israel. Koran Israel sayap kiri Haaretz menulis warga Amerika mempertanyakan apa yang salah dengan Israel.
Israel sulit memperbaiki citranya belakangan ini. Kalangan dalam di Partai Kadima melihat pemerintah Israel dari rezim ke rezim hanya sibuk menghabiskan waktu untuk mempertahankan diri dengan melawan musuh-musuhnya. Dan semua ini bagian dari pendekatan militer.
Jika pemerintah berbicara soal Sderot yang terus dihujani roket dari Palestina, dunia lebih gencar lagi menyorot Gaza. ”Jika pemerintah ingin memunculkan citra yang lebih menarik, harus ada reposisi,” kata Ido Aharoni, manajer tim pencitraan di Kementerian Luar Negeri Israel.
Ariel Levy, profesor ilmu politik di Tel Aviv University, Israel, dalam wawancaranya dengan Tempo dua pekan lalu menyebutkan Israel tengah memainkan parodi yang bisa memukul dirinya sendiri. ”Menjelang berakhirnya pemerintahan Olmert, Israel sibuk memunculkan isu baru tentang Iran yang bakal menjadi ancaman dunia berikutnya,” kata Levy.
Persoalannya, kata Levy, Iran justru mulai memasang strategi menghadapi pemerintah baru Amerika Serikat di bawah Barack Obama, yang diyakini bisa mempengaruhi suara dunia tentang Iran.
”Angin politik Iran dalam beberapa tahun ke depan tampaknya juga akan condong ke kelompok moderat,” kata Levy, merujuk pada bakal munculnya kembali penggerak kaum moderat, Muhammad Khatami.
”Alangkah ironisnya jika Israel siap menembakkan roket, sementara Iran sendiri muncul ke permukaan dengan wajah baru yang lebih moderat,” kata Levy.
Israel pascapemilu barusan adalah negeri yang bergerak ke arah kanan, ultranasionalis. Padahal dunia di luar sana bergerak ke arah sebaliknya. Perbedaan ini akan bertambah mencorong jika Israel tidak meninggalkan pendekatan militer dan membiarkan citranya melorot.
Angela Dewi (AFP, AP, BBC, CNN, NYTimes, Washington Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo