Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Benjamin Netanyahu akan mencaplok Tepi Barat secara sepihak pada 1 Juli mendatang.
Palestina bereaksi dengan menghentikan kerja sama keamanan dengan Israel.
Netanyahu berkejaran dengan momentum pemilihan umum Amerika pada November nanti.
RENCANA pemerintah Israel untuk mencaplok Tepi Barat mulai mendapat penolakan dari dalam negeri. Sabtu, 6 Juni lalu, menurut Haaretz, sekitar 6.000 orang berunjuk rasa di Tel Aviv sebagai protes atas rencana itu. Ini demonstrasi terbesar di sana pada masa pandemi Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Demonstrasi ini digagas partai kiri Meretz dan sejumlah organisasi. Ketua Meretz, Nitzan Horowitz, menyebutkan rencana pencaplokan itu berbahaya. “Pencaplokan adalah kejahatan perang, kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan yang akan menghasilkan pertumpahan darah,” katanya di hadapan para demonstran. Dia menyatakan dukungannya terhadap “solusi dua negara”, yakni Israel dan Palestina hidup berdampingan secara damai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Demonstrasi itu merespons rencana Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mencaplok sekitar 30 persen wilayah Tepi Barat, termasuk Lembah Yordan. Netanyahu beralasan itu adalah bagian dari implementasi proposal perdamaian yang diajukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Januari lalu. Pencaplokan yang ditentang Palestina dan menjadi keprihatinan internasional itu akan dimulai pada 1 Juli nanti.
Presiden Palestina Mahmud Abbas menjawabnya dengan menghentikan semua kerja sama dengan Israel, termasuk kerja sama keamanan, yang selama ini mengurangi terjadinya serangan kelompok radikal Palestina terhadap Israel. Abbas juga meminta komunitas internasional tidak hanya mengecam, tapi memberikan sanksi tegas kepada negeri Yahudi itu.
Berbagai negara, termasuk Uni Eropa, mendesak Israel mengurungkan niatnya. Utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan Timur Tengah, Nickolay Mladenov, meminta Israel melanjutkan perundingan damai dengan Palestina bersama kelompok Kuartet, gabungan Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa, dan PBB.
Pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid, menilai rencana Netanyahu itu sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian publik dari krisis ekonomi dan kasus korupsinya. Netanyahu didakwa dengan tiga kasus korupsi. Sidang pertamanya dimulai pada 24 Mei lalu. “Saya mendukung rencana Trump. Saya menentang aneksasi sepihak,” ujar Lapid.
Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh mengaku sudah mengajukan proposal tandingan. Ia tak merinci isinya, tapi mengatakan posisi Palestina pada isu-isu utama sudah diketahui. Otoritas Palestina, kata dia, juga akan berubah menjadi pemerintahan dengan batas negara sesuai dengan situasi sebelum Perang 1967 dan beribu kota di Yerusalem Timur.
Tepi Barat jatuh ke tangan Israel setelah Perang 1967, perang Israel dengan Mesir, Yordania, dan Suriah. Melalui perang itu, Israel merebut Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir; Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, dari Yordania; serta Dataran Tinggi Golan dari Suriah.
Dengan mengklaim Tepi Barat dan Jalur Gaza, Israel juga menguasai lebih dari sejuta orang Arab Palestina. Ratusan ribu di antaranya mengungsi ke negara tetangga. Setelah perang, warga Yahudi mulai membangun permukiman di sana.
Israel mengembalikan Sinai kepada Mesir pada 1982 sebagai bagian dari perjanjian perdamaian dan menarik diri dari Jalur Gaza pada 2005. Permukiman Yahudi di dua daerah ini juga dibongkar. Namun pembangunan permukiman di daerah lain tetap berlangsung. Perluasan permukiman oleh warga Yahudi itu dikritik sebagai penghambat proses perdamaian Israel-Palestina.
Amerika Serikat, seperti komunitas internasional lainnya, selama beberapa dekade menganggap permukiman itu tidak sah. Pada November 2019, Donald Trump mengubahnya dengan menyatakan permukiman itu tidak sepenuhnya “tak konsisten dengan hukum internasional”. Trump juga menunjukkan dukungan terbuka kepada Israel. Puncaknya adalah saat Trump mengumumkan proposal perdamaian tanpa mendengar masukan pihak Palestina.
Dalam proposal itu, Trump memberikan Yerusalem kepada Israel dan menyatakan tidak ada “hak kembali” bagi orang Palestina yang terusir dari tanahnya akibat perang. Proposal itu juga menyusun ulang perbatasan Israel di Tepi Barat. Negara Palestina akan dibentuk, tapi dengan sejumlah syarat dan tidak diizinkan memiliki kekuatan militer sendiri. Trump juga mendukung dipertahankannya permukiman Yahudi di Tepi Barat dan memberikan sekitar 30 persen wilayah itu kepada Israel.
Proposal itu disambut gembira oleh Benjamin Netanyahu dan membuat marah Palestina. Hal itu mengubur harapan Palestina untuk menjadikan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya di masa depan. Pengungsi Palestina juga tak lagi punya kesempatan untuk mendapatkan tanah yang ditinggalkannya.
Bagi Netanyahu, proposal Trump itu seperti lampu hijau yang lama ditunggu. Ini juga akan memastikan bahwa Israel tidak akan meninggalkan tempat seperti Hebron, Shiloh, dan Beit El, yang oleh orang Yahudi dianggap sebagai jantung Alkitabiah mereka. “Ini adalah sesuatu yang sudah lama kami rindukan,” kata Netanyahu.
Setelah proposal Trump muncul, Netanyahu bergerak cepat. Tapi ia dinilai salah membaca sinyal dari Washington. Menurut New York Times, Gedung Putih belum siap mendukung Netanyahu untuk segera mencaplok Tepi Barat secara sepihak setidaknya sampai pemilihan umum 2 Maret, pemilihan umum ketiga oleh Israel dalam dua tahun ini. Pemilihan pada April dan September 2019 gagal membentuk pemerintahan karena tak ada partai yang menguasai mayoritas kursi parlemen. Hasil pemilihan pada Maret lalu sebenarnya menghasilkan kebuntuan politik, tapi bisa dipecahkan ketika Partai Likud pimpinan Netanyahu serta Partai Biru dan Putih pimpinan Benny Gantz, pesaing terberatnya, mencapai kesepakatan. Netanyahu akhirnya dilantik kembali menjadi perdana menteri pada 17 Mei lalu.
Sikap warga Yahudi di Tepi Barat terpecah soal rencana Netanyahu dan proposal Trump. Bagi Matanya Gavrieli, anggota dewan kepemimpinan di permukiman Yahudi di Bukit Yitzhar, rencana Trump itu seperti berkat sekaligus kutukan. Di satu sisi, ada pengakuan Amerika yang memungkinkan Israel mencaplok Tepi Barat. Di sisi lain, hal itu juga akan membuat daerah lain secara resmi menjadi wilayah Palestina, yang juga diberi peluang untuk menjadi negara.
Menurut Gavrieli, kondisi ini akan membuat Yitzhar dan 14 permukiman lain terisolasi dan berbahaya karena dikelilingi daerah Palestina. Kepala Dewan Regional Lembah Yordan David Elhayani juga menolak proposal Trump karena membuka peluang berdirinya negara Palestina.
Netanyahu mengatakan ada sejumlah syarat bagi Palestina untuk merdeka. Syarat itu antara lain mengakui Israel sebagai negara Yahudi, menyetujui kendali keamanan di tangan Israel, melepas impian untuk menjadikan Yerusalem Timur sebagai ibu kota, tak meminta hak kembali bagi pengungsi Palestina, dan melucuti Hamas, kelompok radikal penguasa Jalur Gaza. Sejumlah analis menilai syarat itu akan sulit dipenuhi.
Menurut Oded Revivi, wali kota permukiman Efrat, ada tekanan agar Netanyahu bertindak cepat saat ini karena Trump menghadapi tantangan kuat dari kandidat Partai Demokrat, Joe Biden, dalam pemilihan Presiden Amerika pada November mendatang. “Makanlah sekarang sebelum es krim mencair,” ucapnya menggambarkan situasi ini.
Ada pula keraguan bahwa Netanyahu bisa jalan terus dengan rencananya karena belum ada sinyal dari Amerika. Menurut sumber The Times of Israel, Amerika tidak mungkin menyetujui pencaplokan itu sebelum ada pemetaan perbatasan yang memakan waktu beberapa bulan. Pejabat militer Israel juga memperingatkan bahwa pencaplokan sepihak akan memicu gelombang kekerasan baru di Tepi Barat.
ABDUL MANAN (TIMES OF ISRAEL, AL JAZEERA, GUARDIAN, NEW YORK TIMES)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo