Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nasirin Sotoudeh tak bisa merayakan tahun baru Iran, Nowruz, bersama suami dan kedua anaknya pada Kamis, 21 Maret lalu. Entah sampai kapan dia harus begitu. Sejak dikurung di Penjara Evin di Ibu Kota Teheran pada 2018, Sotoudeh tak tahu kapan akan dibebaskan.
Pengadilan Revolusi di Teheran, yang menyidangkan kasus Sotoudeh, tak merinci secara gamblang vonis terhadapnya. Awal Maret lalu, hakim ketua Mohammad Moghiseh menyatakan Sotoudeh harus menjalani hukuman 7 tahun bui. “Dia berkolusi melawan negara dan menghina Pemimpin Tertinggi Iran (Ayatullah Ali Khamenei),” kata Moghiseh kepada kantor berita pemerintah Iran, ISNA.
Pernyataan Moghiseh menimbulkan kerancuan. Sebab, menurut penuturan suami Sotoudeh, Reza Khandan, sang istri telah divonis penjara 33 tahun dan 148 cambukan pada Februari lalu. Itu belum termasuk hukuman 5 tahun bui yang juga telah dijatuhkan kepada ibu dua anak tersebut.
Khandan mengatakan vonis seabrek itu merupakan rapel atas tujuh dakwaan terhadap istrinya. Sotoudeh antara lain dituduh bersekongkol melawan keamanan nasional, membuat propaganda melawan negara, mendorong korupsi dan pelacuran, muncul di pengadilan tanpa hijab, serta mengganggu ketenangan dan ketertiban umum.
Kepada suaminya, Sotoudeh menyatakan tidak akan mengajukan permintaan banding karena tidak mengakui putusan pengadilan dan menolak sistem peradilan yang tidak transparan. “Dia juga menolak hadir di pengadilan banding seperti ketika dia absen dalam persidangan awal,” ucap Khandan.
Sotoudeh tak berkutik saat aparat keamanan tiba-tiba menggerebek rumahnya dan membawanya ke Penjara Evin pada 13 Juni 2018. Perempuan 55 tahun ini baru diberi tahu kemudian bahwa dia ditahan karena hakim Moghiseh telah menjatuhkan vonis penjara 5 tahun melalui pengadilan in absentia pada 2015. “Dia dijerat dengan dakwaan ‘propaganda melawan negara’ dan ‘membentuk organisasi untuk melawan keamanan nasional’,” ujar pengacaranya saat itu, Payam Derafshan.
Ketika mendekam di balik jeruji besi, Sotoudeh dipanggil ke persidangan lain. Kali ini ia didakwa menghina Pemimpin Tertinggi Iran dan membuat propaganda melawan negara. Dakwaan itu diajukan jaksa di Kota Kashan, Provinsi Isfahan, berkaitan dengan penahanan aktivis Shaparak Shajarizadeh.
Shajarizadeh salah satu perempuan yang terlibat unjuk rasa menentang aturan wajib berhijab. Pada akhir Februari 2018, perempuan 46 tahun ini pernah ditahan karena melepas kerudungnya dan melambaikannya dengan tongkat di perempatan jalan di daerah Gheytarieh, utara Teheran. Dia merekam aksi itu dan mengunggahnya ke media sosial. Rekaman tersebut menyebar dan muncul dalam pemberitaan media Barat.
Shajarizadeh terancam 20 tahun bui, tapi dibebaskan sementara setelah dia membayar uang jaminan sekitar Rp 340 juta. Tiga bulan kemudian, ia kembali dijebloskan ke penjara karena kedapatan tidak mengenakan hijab saat berlibur bersama anaknya di Kashan. Kali ini dia menolak membayar uang jaminan sebesar Rp 495 juta. Alasannya, “Jaksa menjerat saya dengan tuduhan ‘memancing kerusuhan dan pelacuran’,” tutur Shajarizadeh saat itu.
Di balik terungku di Kashan, Shajarizadeh diberi kesempatan menghubungi Sotoudeh, yang telah mendampinginya sejak kasus pertama. Bersama Pusat Hak Asasi Manusia di Iran (CHRI), lembaga yang mengawal kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di negeri itu, Sotoudeh segera mengurus pembebasan Shajarizadeh dan putranya, Barbad, 9 tahun, dengan membayar uang jaminan tersebut.
Sotoudeh menyebut tindakan aparat menahan Shajarizadeh secepat kilat hanya karena persoalan gaya busana sebagai aksi berlebihan. Dalam kasus pencurian, pembunuhan, dan aksi kriminal lain, dia melanjutkan, tersangka tidak pernah ditangkap secepat itu. “Saya tidak tahu apakah dia melepas hijabnya atau tidak. Tapi mengapa wanita harus ditangkap seperti ini setiap hari?” ucapnya.
Semua perempuan di Iran wajib berpakaian sopan dengan menutupi seluruh tubuh dan rambut mereka, kecuali wajah, saat berada di tempat umum. Perempuan yang tidak menutupi diri mereka sesuai dengan syariat bisa ditangkap, didenda, dicambuk, dan dipenjara.
Pemimpin Tertinggi Ayatullah Khomeini memberlakukan aturan ini secara bertahap setelah Revolusi Islam Iran 1979. Selama revolusi, hijab menjadi simbol perlawanan dan protes terhadap rezim monarki Syah Iran Mohammad Reza Pahlavi, yang memihak Amerika Serikat. Pahlavi melarang hijab sejak 1936.
Namun tak semua perempuan menerima aturan Khomeini. Pada 8 Maret 1979, saat peringatan Hari Perempuan Sedunia, lebih dari 100 ribu perempuan mogok kerja dan turun ke jalan-jalan di Teheran dalam protes damai menolak aturan wajib berhijab. Ini unjuk rasa perempuan terbesar dalam sejarah negeri itu.
Gerakan penolakan kembali menyeruak saat aktivis Masih Alinejad mengkampanyekan aksi copot hijab di media sosial pada 2014. Lewat tagar #MyStealthy-Freedom, dia memajang potret dirinya yang tengah menyetir mobil tanpa kerudung di sebuah jalan pegunungan. Kampanye Alinejad, yang dilakukannya untuk mendorong kebebasan memilih bagi kaum perempuan, menuai dukungan luas lewat dunia maya dari ribuan orang yang beramai-ramai menirukan aksinya.
Protes damai kaum perempuan kembali menyedot perhatian internasional setelah Vida Movahed, ibu 31 tahun, berdiri di atas kotak di pinggir trotoar Jalan Enghelab- di Teheran pada 27 Desember 2017. Dia mencopot kerudung putihnya dan melambaikannya dengan tongkat kayu seperti sebuah bendera. Movahed divonis 24 bulan penjara karena tindakannya. Tapi sejak itu aksinya malah menginspirasi puluhan perempuan di berbagai kota, termasuk Shaparak Shajarizadeh.
Nasrin Sotoudeh ditahan tiga hari setelah mewakili Shajarizadeh dalam persidangan. Direktur Eksekutif CHRI Hadi Ghaemi menyatakan penahanan Sotoudeh adalah bentuk kebrutalan rezim mullah Iran terhadap para pengkritik. “Pertama, rezim mengejar jurnalis, aktivis, dan para pembangkang. Sekarang garis pertahanan terakhir mereka yang diincar, yaitu pengacara,” katanya.
Sotoudeh dibesarkan dalam keluarga kelas menengah yang cukup religius di -Langarud, kota di pesisir selatan Laut Kaspia. Dia terlibat dalam dunia aktivisme sejak belia. Mengawali karier sebagai jurnalis surat kabar reformis, Sotoudeh lantas banting setir menekuni bidang hukum. Dia lulus ujian pengacara pada 1995, tapi tidak diizinkan pemerintah membuka praktik hukum selama delapan tahun.
Keberpihakannya pada kelompok tertindas tampak sejak dia bergabung dengan Pusat Pertahanan Hak Asasi Manusia, yang menawarkan pembelaan hukum pro bono kepada tahanan politik. Sotoudeh juga menjadi anggota Masyarakat untuk Perlindungan Hak-hak Anak, organisasi yang membela anak-anak yang divonis mati. Selama 2005-2005, dia mengadvokasi pembebasan 73 anak terpidana mati.
Sotoudeh mendapat Penghargaan -Sakharov dari Parlemen Uni Eropa pada 2012 karena kesuksesannya dalam sejumlah kasus penting, termasuk pembebasan anak-anak terpidana mati. Tapi saat itu dia tidak dapat menerima langsung penghargaan tersebut karena tengah mendekam di penjara. Pada tahun itu pula dia melancarkan aksi mogok makan sebagai protes atas tekanan pemerintah kepada keluarganya. Sepanjang 2010-2013, Sotoudeh dipenjara setelah membela para pembangkang yang ditangkap selama protes massal menolak hasil pemilihan presiden yang dimenangi tokoh konservatif, Mahmud Ahmadinejad, pada 2009.
Kini Sotoudeh kembali mengakrabi jeruji penjara. Kedua anaknya, Mehraveh dan Nima, tidak diizinkan menengok. Bahkan suaminya sempat diterungku selama empat bulan setelah menuliskan kabar terbaru tentang penahanan istrinya di Facebook.
MAHARDIKA SATRIA HADI (CHRI, NEWSWEEK, TIME, TASNIM NEWS)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo