Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Di Gwangju 26 Tahun Silam

Lebih dari seperempat abad lalu Gwangju jadi arena pembantaian para aktivis. Seorang mantan aktivis berkisah tentang kejadian itu dan pandangannya terhadap Korea Selatan kini.

6 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya baru saja lulus sekolah menengah dan mau menjadi mahasiswa,” begitu Park Chung-cho, 45 tahun, mengawali ceritanya yang perih.

Dua pekan lalu, Tempo menemuinya di kompleks pemakaman korban Pembantaian Mei 1980 di Cholla, Gwangju (nama baru Kwangju). Ia terus terang kecewa dengan perkembangan demokrasi di negerinya. Tapi ia lebih kecewa lagi dengan kawan-kawannya, bekas aktivis yang sekarang duduk di parlemen, pemerintahan, atau bergabung dengan perusahaan-perusahaan multinasional.

”Demokrasi kami direbut para chaebol (konglomerat),” katanya. Chaebol adalah perusahaan multinasional seperti Hyundai, Samsung, Kia.

Park kini telah berkeluarga dan mempunyai seorang anak. Dia ingat, waktu itu, 26 tahun lalu, ia sebenarnya bukan mahasiswa baru yang senang unjuk rasa. Tapi ia tahu dunia di sekelilingnya berubah, dan ia pemimpin Serikat Pelajar Gwangju. Oktober 1979, Presiden Park Chung-hee ditembak dan rakyat Korea Selatan menilai pemerintah tidak becus mengurus negara.

Demonstrasi meledak di mana-mana. Pemerintah pun memberlakukan Undang-Undang Darurat. Pelajar dan mahasiswa turun ke jalan menuntut agar Presiden Choi Kyu-ah, yang menggantikan Park Chung-hee, mencabut UU Darurat. Namun, Panglima Komando Pertahanan dan Keamanan (ketika itu) Letnan Jenderal Chun Doo-Hwan mengambil alih kekuasaan pada 12 Desember 1979.

Protes massal yang semula berjalan damai, memanas. Chun memerintahkan penutupan kampus-kampus pergerakan seperti Universitas Nasional Chonnam dan Chosun. Chun melarang setiap kegiatan politik di kampus dan menangkapi aktivis mahasiswa dan pembangkang politik, termasuk Kim Dae-jung, kader partai oposisi, Partai Demokrasi Baru, yang kemudian menjadi presiden.

Penahanan Kim yang berasal dari Gwangju, ibu kota Cholla, makin menyulut kemarahan penduduk. Apalagi, selama 16 tahun di bawah pemerintahan Presiden Park Chung-hee, daerah selatan ini merasa dianaktirikan. Penduduk Cholla, yang kala itu berjumlah 800 ribu jiwa, tetap miskin. Sedangkan provinsi tetangganya, Kyongsang, makmur dari hasil pembangunan industri.

Pada 18 Mei 1980, sekitar 200 ribu pelajar dan pekerja memenuhi jalan-jalan utama Gwangju. Mereka menduduki kantor pemerintahan. Pos-pos tentara dan gudang senjata dirampas. Anak-anak muda Gwangju yang terlatih sebagai tentara juga merebut panser dari pabriknya. Bentrokan tentara dan demonstran tak bisa dihindari. Tercatat 107 orang tewas di masa itu. Sembilan hari para pemuda yang dibantu rakyat menguasai Gwangju.

Letjen Chun Doo-hwan pun membalas dengan menerjunkan 17 ribu serdadu pasukan khusus. Alasannya, para demonstran itu dibantu kaum komunis Korea Utara. Tentara mengepung kota melalui bukit-bukit. Tank lapis baja dan belasan helikopter juga dikerahkan. Tentara bersenjata M-16 menyerbu tempat-tempat penting yang dikuasai demonstran.

Perang kota pun pecah. Dengan brutal tentara masuk ke rumah-rumah penduduk yang diduga menjadi tempat persembunyian para aktivis. Hanya dalam dua jam, tentara Letjen Chun menguasai kota. Analis politik Tim Shorrock dalam tulisan ”U.S. Knew of South Korean Crackdown: Ex-Leaders Go on Trial in Seoul” menemukan dokumen yang menunjukkan bahwa pemerintah Amerika Serikat membantu pasukan Chun Doo-hwan.

Menurut versi resmi pemerintah, korban tewas dalam serangan dua jam itu hanya 19 orang. Namun, banyak pihak percaya jumlah korban yang meninggal mencapai 2.000-an orang. Di lokasi yang kini menjadi makam korban pembantaian, ketika itu ada 168 mayat. Masih ada ratusan anak muda yang hilang dan tak berkabar hingga kini. ”Memang, angka korban yang tepat susah ditemukan,” ujar Hong Nam-soon, bekas hakim yang kemudian menjadi pelopor hak asasi manusia Korea Selatan.

Pembantaian Gwangju terus memicu perlawanan para aktivis prodemokrasi. Demonstrasi besar-besaran kembali terjadi pada Juni 1987 di masa pemerintahan Presiden Roh Tae-woo, pengganti Presiden Chun Doo-hwan. Ketika itu gerakan sudah meluas ke kota-kota besar di Korea Selatan seperti Seoul, Pusan (sekarang Busan).

Ketika Kim Dae-jung terpilih menjadi presiden, Korsel menempuh masa transisi ke arah demokrasi sekaligus menjadi salah satu macan Asia, negara industri baru dengan tingkat kemajuan ekonomi dan kesejahteraan yang tinggi. Sedangkan Chun Doo-hwan dan Roh Tae-woo diadili. Chun Doo-hwan kemudian mengaku bersalah di hadapan publik bahwa ia telah membantai massa di Gwangju.

”Dulu kami disebut dalang kerusuhan, kini kami lumayan dihargai sebagai pelopor kebangkitan demokrasi di negeri ini. Tapi kekejaman itu tak bisa dibayar dengan uang dan penghargaan,” katanya. Memang, beberapa tahun setelah peristiwa pembantaian itu, pemerintah Korea Selatan memberikan kompensasi kepada para korban dengan membentuk The May 18 Memorial Foundation. Yayasan itu terus membantu memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia di Korea Selatan dan Asia.

Perjuangan Park Chung-cho dan kawan-kawan di Gwangju tetap dikenang setelah 26 tahun berlalu. Pemerintah menggerojokkan dana untuk yayasan yang menaungi korban-korban pembantaian itu. Pemerintah juga mendukung kegiatan seperti pelatihan aktivis hak asasi manusia, demokrasi, dan perdamaian, serta mengundang aktivis-aktivis se-Asia untuk menimba ilmu di kota itu.

Gwangju juga didedikasikan sebagai ”rumah” bagi para aktivis pejuang demokrasi dan hak asasi manusia se-Asia. Beberapa orang Asia mendapat penghargaan di bidang perjuangan hak asasi manusia, Gwangju Prize of Human Rights, seperti Presiden Timor Timur Xanana Gusmao, pejuang demokrasi Burma Aung San Suu Kyi, dan aktivis Indonesia Wardah Hafidz.

Pusat kota, yang menjadi awal bergeraknya mahasiswa, kini menjadi pusat kegiatan kebudayaan Asia. Kantor pemerintah provinsi dipertahankan bentuk aslinya, dan sedang dikembangkan menjadi kota pusat kebudayaan Asia yang modern dan humanis. Di sana, dibangun banyak universitas, sekolah, dan rumah sakit. Jalan-jalan kota pun lebar, bahkan ada yang sampai 18 jalur. Kendaraan umum dari bus sampai kereta bawah tanah dengan ongkos hanya 900 won Korea atau sekitar Rp 9.000, lebih nyaman ketimbang KRL Bogor Ekspres. Jalan tol yang luas dan panjang—sekitar 300 kilometer—menghubungkan Gwangju dengan Seoul atau Bandar Udara Incheon. Beberapa bendungan juga dibangun di Provinsi Cholla.

Gwangju yang dulu tersisih dari modernisasi, kini menjadi kota yang sangat modern. Penduduk provinsi lain bahkan merasa pemerintah terlalu berlebihan memanjakan Gwangju. Pemerintah Korea seperti ingin menobatkan Gwangju sebagai ”prestasi” demokrasi dan kemakmuran Korea. Bahkan istilah ”Kerusuhan Kwangju Mei 1980” dalam sejarah Korsel diubah menjadi ”kebangkitan demokrasi Korea Selatan”. Namun, di mata Park Chung-cho, kemakmuran Gwangju tetap tidak mampu menutup kemerosotan demokrasi Korea Selatan. Nyawa ratusan teman-temannya juga tak tergantikan oleh gelontoran dana dari pemerintah.

Ahmad Taufik (Gwangju)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus