Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENANTIAN bertahun-tahun itu usai sudah. Setelah mendekam sekitar lima tahun di penjara, Tommy Soeharto mencecap udara bebas. Senin pekan lalu ia menjejakkan kembali kakinya di Jalan Cendana, di tengah keluarga besarnya. Jika saja dulu ia langsung menjalani hukuman saat dilanda kasus Goro, anak kesayangan mantan presiden Soeharto ini tak harus mendekam selama bertahun-tahun di penjara.
Riwayat Tommy sebagai orang hukuman berpangkal dari perjanjian tukar-menukar tanah (ruilslag) antara Badan Urusan Logistik (Bulog) dan PT Goro Batara Sakti pada 1995. Tanah Bulog seluas 50 hektare plus 120 gudang mereka di Kelapa Gading, Jakarta Utara, akan ditukar dengan lahan 150 hektare di Marunda, Jakarta Utara, milik Goro. Saat perjanjian akan diteken, Goro hanya mampu menyediakan 79 hektare. Lha, sisanya yang 71 hektare? Belum ada.
Lantas terjadilah ”main mata” antara Kepala Bulog Beddu Amang dan Tommy, Komisaris Utama Goro. Beddu memberi jaminan deposito Rp 23 miliar milik Bulog kepada Bank Bukopin agar Goro mendapat kucuran kredit dari bank itu senilai Rp 20 miliar. Guyuran dana itulah yang akan dipakai untuk membeli 71 hektare tanah di Marunda demi menggenapkan kewajiban Goro kepada Bulog.
Belum lagi Bulog mendapat sisa kekurangan tanah, Tommy sudah membongkar sebelas gudang Bulog di Kelapa Gading dan menyulap delapan di antaranya menjadi gudang Goro. Bos Humpuss itu memang tengah ngebut dengan proyek bisnis perkulakan Goro-nya. Oktober 1996, tegaklah Pusat Perkulakan Goro di atas lahan Bulog. Ayahnya, Presiden Soeharto—ketika itu—berkenan meresmikannya.
Nah, setelah Soeharto lengser, Kejaksaan Agung memeriksa kembali kasus tukar guling lahan Bulog. Beddu Amang, Tommy, dan Ricardo Gelael, Direktur Utama Goro, satu per satu diperiksa kejaksaan. Kejaksaan menghitung negara dirugikan Rp 95 miliar lantaran urusan tukar-menukar tanah yang kental beraroma korupsi, kolusi, nepotisme alias KKN.
Pada April 1999 kasus ini tiba di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang dilangsungkan selama enam bulan dengan mendatangkan 37 saksi. Ketua Majelis Hakim Sunarto mengetuk palu. Isinya: Tommy dan Ricardo tak bersalah. Alasannya, kedua terdakwa kasus tersebut tak lagi menjabat di PT Goro lantaran saham perusahaan sudah dialihkan ke PT Inkud. Hakim juga menyatakan tak ada aset Bulog yang hilang karena lahan di Kelapa Gading dan Marunda tetap menjadi milik Bulog.
Nasib berbeda menimpa Beddu Amang. Ia diganjar hukuman dua tahun penjara karena melakukan korupsi dalam menggelontorkan dana Bulog. Bebasnya Tommy ini membuat Fahmi, jaksa yang mengusut kasus ini, berang bukan main. ”Itu putusan error. Keterangan para saksi yang dipertimbangkan majelis hakim bukan menyangkut fakta, tapi lebih berupa perkiraan,” kata Fahmi (Tempo 24 Oktober 1999). Jaksa pun mengajukan kasasi.
Mahkamah Agung ternyata tak sepakat dengan putusan pengadilan. Majelis hakim kasasi yang diketuai Syafiuddin Kartasasmita menyatakan Tommy bersalah. Dia divonis 18 bulan penjara. Jumlah vonis yang sama diketuk untuk Ricardo. Berbeda dengan Ricardo yang memilih masuk penjara Cipinang, Tommy menolak putusan tersebut. Ia segera mengajukan dua upaya hukum sekaligus: grasi dan peninjauan kembali (PK).
Hasilnya? Presiden Abdurrahman Wahid menolak grasinya. Saat kejaksaan akan mengeksekusi dia, Tommy memilih kabur. Di saat pelariannya inilah—pada Juli 2001—Hakim Agung Syafiuddin tewas ditembak di daerah Kemayoran. Sebelas hari kemudian polisi membekuk pelakunya, Noval Hadad dan Maulawarman. Kepada aparat, mereka buka mulut: Tommy memberi order untuk menghabisi hakim agung itu.
Perburuan Tommy kian digencarkan. Pada November 2001, akhirnya ia dicokok di kawasan Bintaro. Sebulan sebelum dia tertangkap, kabar sedap bagi Tommy bertiup dari Mahkamah Agung. Mahkamah mengabulkan PK Tommy. Pangeran Cendana itu dinyatakan tidak bersalah dalam kasus Goro.
Delapan bulan setelah ia disergap polisi, Tommy menghadap meja hijau. Empat dakwaan dibacakan kepadanya. Menyembunyikan senjata api ilegal di Apartemen Cemara, Jakarta Pusat; menyembunyikan senjata api ilegal di sebuah rumah di Jalan Alam Segar III, Jakarta Selatan; terlibat pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita; melarikan diri saat akan dieksekusi.
Setelah bersidang lima bulan, pada Juli 2002 majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai Amiruddin Zakaria memvonis Tomy 15 tahun penjara. Hukuman ini sesuai dengan tuntutan jaksa. ”Semua dakwaan jaksa memang terbukti,” kata Amiruddin Zakaria kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Tommy tak mengajukan banding terhadap putusan ini. Ia justru mengambil ”langkah melompat”, mengajukan PK. Hanya ada dua kemungkinan yang didapat dengan putusan PK, yakni hukumannya tetap atau dibebaskan. ”Ini dibolehkan karena putusan pengadilan tingkat pertama sudah inkracht (berkekuatan hukum tetap) dan karena waktu untuk banding sudah habis,” ujar kuasa hukum Tommy, Jhon K. Azis, kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Sebanyak 13 novum (bukti baru) dan lima saksi baru diajukan Tommy. Antara lain, kesalahan prosedur penggeledahan Apartemen Cemara karena tanpa izin, sudah diserahkannya senjata miliknya ke polisi pada tahun 2000, serta pengakuan saksi yang menyatakan tak melihat ada senjata di Apartemen Cemara dan rumah di Alam Segar. Sidang permohonan PK ini digelar di Pengadilan Negeri Cilacap dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kendati jaksa menilai itu bukan bukti baru, hakim berpendapat lain. Permohonan PK Tommy diterima. Berkas permohonan upaya hukum terakhir ini pun menggelinding ke Mahkamah Agung.
Di Mahkamah Agung, perkara Tommy dipegang Hakim Agung German Hoediarto, Arbijoto, dan Djoko Sarwoko. Tapi selama dua tahun kasus ini tak rampung-rampung. Pada Mei 2005, Ketua MA Bagir Manan mengambil alih perkara ini dan membentuk majelis baru. Anggotanya Harifin A. Tumpa, Abdul Kadir Mapong, Iskandar Kamil, dan Moegihardjo. Bagir sendiri sebagai ketuanya.
Tak sampai satu bulan di tangan Bagir, perkara Tommy diputus. Mahkamah mengkorting hukuman Tommy dari 15 tahun menjadi 10 tahun. Pertimbangannya, dakwaan keempat terhadap Tommy, yakni buron, menurut Bagir Manan tidak terbukti karena tidak mempunyai sifat melawan hukum.
Menurut sumber Tempo, majelis menyatakan ”tidak melawan hukum” karena telah keluarnya putusan PK yang membebaskan Tommy dari hukuman 18 bulan penjara dalam kasus tukar guling Bulog-Goro (Tempo 3 Juli 2005). Dengan masa hukuman 10 tahun plus hujan kado remisi, Tommy menjalani hukuman tak lebih dari lima tahun.
Di mata mantan hakim agung Benjamin Mangkoedilaga, Mahkamah Agung terlalu berlebihan menurunkan hukuman Tommy dari 15 tahun menjadi 10 tahun. Seharusnya, kata Benjamin, majelis tetap menjadikan 11 bulan kaburnya Tommy sebagai pertimbangan. Kalaupun perihal kabur dinyatakan tidak melawan hukum, pengurangan hukuman lima tahun, dalam pandangan dia, tetap berlebihan. Mengutip Benyamin, ”Itu jumlah yang terlalu besar.”
Poernomo Gontha Ridho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo