Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tommy Soeharto memang seorang pangeran. Dalam hikayat Nusantara, seorang pangeran, apalagi yang menguasai perdagangan, selalu mendapat nasib mujur, bahkan ketika menjadi pesakitan pun. Pangeran tak bisa disejajarkan dengan pencuri kambing, meski sama-sama dihukum. Status pidana boleh sama, tetapi perlakuan aparat membedakannya.
Kejahatan Hutomo Mandala Putra—demikian nama resmi Tommy—tergolong berat. Ia terlibat dalam kasus pembunuhan berencana Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita dan kepemilikan senjata gelap. Setelah berbilang bulan buron dan dikejar dengan menghabiskan anggaran milyaran, Tommy ditangkap pada 29 November 2001. Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Tommy diganjar hukuman 15 tahun penjara. Mengejutkan publik saat itu ketika Tommy dan pengacaranya ternyata tidak naik banding dan ”pasrah” menerima hukuman.
Sembari menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Batu, Nusakambangan, Tommy diam-diam mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas kasusnya. Tak banyak orang yang tertarik pada kasus PK-nya, bahkan nyaris luput dari liputan pers, apa bukti baru (novum) yang diajukan Tommy. Tahu-tahu, Mahkamah Agung menyunat hukuman Tommy yang 15 tahun menjadi hanya 10 tahun.
Sementara itu, dengan sangat sistematis, Tommy terus berhasil meraih penghargaan maksimal di lingkungan penjara yang berwujud pemberian remisi. Dalam waktu hanya enam bulan ia sudah mendapatkan remisi dua bulan, padahal kalau mengacu pada Keppres Nomor 174 Tahun 1999 yang mengatur masalah remisi, tahun pertama seorang tahanan mendekam di penjara hanya boleh diberi remisi satu sampai dua bulan. Pemberian remisi yang terus-menerus dengan batas maksimal ini membuat Tommy bebas bersyarat pada 30 Oktober lalu. Ia sudah menjalani dua pertiga dari hukuman 10 tahun penjara. Yang dimaksudkan dengan ”menjalani hukuman” adalah hukuman badan plus total remisi. Fantastis, Tommy hanya menjalani hukuman ”murni” 4 tahun 11 bulan untuk sebuah pembunuhan berencana yang menewaskan pejabat negara di bidang penegakan hukum.
Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin menegaskan tidak ada penyimpangan dalam bebas bersyaratnya Tommy. Pernyataan ini benar jika dikaitkan dengan masa hukuman yang sudah dijalani Tommy plus remisi itu. Angka dua pertiga sudah dipenuhi, anak kecil yang belajar matematika pun tahu, tetapi apakah remisi yang diterima Tommy wajar? Tak perlu matematika untuk membantah kewajaran itu. Selain hitung-hitungannya tidak benar, rasa keadilan juga porak-poranda manakala kriteria tidak jelas dan pemberian remisi tidak melibatkan pihak-pihak di luar petugas penjara.
Remisi yang bertepatan dengan hari ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan dan hari raya keagamaan, memang, tak perlu dipersoalkan. Kalaupun ada ketidakadilan, hanya soal jumlah, apakah maksimum atau minimum. Yang perlu digugat adalah remisi karena berkelakuan baik. Apa kriteria seorang narapidana berkelakuan baik? Patuh menjalani hukuman, tak pernah berkelahi dan bikin onar, apakah itu berkelakuan baik atau biasa-biasa saja? Obral uang di penjara, membangun berbagai fasilitas, apakah itu syarat untuk mendapatkan remisi maksimum berkelakuan baik? Jika ukurannya adalah keroyalan seorang narapidana menghamburkan uangnya, maka akan tertutup kemungkinan narapidana yang kere mendapatkan remisi maksimum dalam poin berkelakuan baik, betapapun dia memang benar-benar baik.
Remisi karena ”jasa lain”, misalnya, lewat donor darah, juga rawan penyimpangan karena pengawasan tak ada dari luar penjara. Masalahnya, sudah jadi rahasia umum bagaimana petugas penjara yang sangat pilih kasih menghadapi narapidana kaya dan narapidana miskin. Pemberian remisi pada akhirnya sangat subyektif. Karena itu, sebaik-nya aturan remisi dibongkar ulang. Bahkan, kalau diperlukan, Keppres No. 174 diubah menjadi undang-undang.
Yang juga perlu diperbaiki adalah apakah remisi itu tidak mempertimbangkan berat-ringannya hukuman seseorang? Barangkali juga ditentukan oleh dampak dari kejahatan yang dilakukan terhukum. Koruptor yang dihukum 15 tahun dan otak pembunuhan pejabat negara yang juga dihukum 15 tahun, barangkali remisinya bisa berbeda. Atau, pidana lima tahun berbeda remisinya dengan pidana yang di atas 10 tahun. Ini hanya sekadar contoh. Tentu, dari segalanya ini adalah adanya keterbukaan, sehingga setiap narapidana tahu berapa banyak ia mendapatkan remisi. Jika tidak, remisi bisa-bisa menjadi ”obyek dagang” di dalam penjara.
Remisi yang diterima Tommy sekitar tiga tahun selama ia mendekam kurang dari lima tahun penjara harus dijelaskan duduk perkaranya. Kalau semua orang mendapatkan remisi seperti itu, penjara bisa lengang. Bayangkan kalau orang hanya dihukum setahun, ia bisa segera bebas begitu ketemu hari raya keagamaan atau HUT Proklamasi Kemerdekaan. Apa ini fungsi lembaga pemasyarakatan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo