Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Di Kebagusan, Malam Semakin Larut

Inilah Megawati di hari pertama masa pensiunnya: berkebun, berbincang dengan pendukungnya, dan menolak melihat pengumuman kabinet yang disiarkan televisi.

25 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga pria setengah baya berbincang serius di tengah sebuah kebun bunga. "Jadi, mereka mau ambil ketua komisi?" begitu kata yang satu. Dua yang lain serentak mengiyakan.

"Payah!" jawab lelaki berambut perak yang pertama kali bicara. Yang lain tak menyahut.

Tak jauh dari mereka, seorang perempuan berdiri mengawasi beberapa tukang kebun yang sedang menanam rumput dan tanaman hias. Wanita itu tak peduli. Tanaman-tanaman itu terlalu mempesona dirinya: beberapa pokok tanaman langka, bunga-bunga, dan hamparan rumput. Mondar-mandir di jalan becek, sandalnya tebal oleh tanah. Sore itu ia mengenakan celana panjang hitam dan kaus bermotif flora warna cerah. Di tengah pepohonan, pada usia 57 tahun, perempuan itu tampak segar.

Televisi 21 inci yang diletakkan di tengah joglo tak jauh dari taman tak menyala. Padahal saat itu presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono tengah menyampaikan pidato politik dari Istana Negara. Tak satu pun manusia di rumah itu yang mempedulikan acara tersebut. Tak juga perempuan itu: bekas presiden Megawati Soekarnoputri.

Di hari pertamanya menjadi orang biasa, Rabu 20 Oktober lalu, Mega menghabiskan banyak waktu di rumahnya di Jalan Kebagusan IV No. 45, Jakarta Selatan. Meski tiga lelaki di dekatnya—Taufiq Kiemas suaminya, Wakil Sekjen PDI Perjuangan Pramono Anung Wibowo, dan Ketua Fraksi PDIP di parlemen Tjahjo Kumolo—tetap sibuk menganalisis situasi politik, Mega tetap membenamkan diri di antara kerimbunan pohon-pohon. Sesekali ia berbincang dengan perancang busana Samuel Wattimena, yang berdiri di sebelahnya. Tak jelas apa yang mereka bicarakan.

"Tak tertarik menonton pidato presiden baru, Mas?" tanya Tempo kepada Taufiq Kiemas. Yang ditanya tersenyum. "Ah, kau! Sudah gaharu, cendana pula."

Taufiq enggan membicarakan perihal pelantikan Susilo, saingan istrinya dalam pemilu 20 September lalu. Kekalahan itu terlalu menyesakkan dada. Bagaimanapun, Susilo adalah bekas menteri dalam kabinet Mega. Sebagai anggota DPR ia memang datang dalam upacara pelantikan, tapi istrinya dan sejumlah anggota DPR lain memilih diam di rumah. Buat mereka, kehadiran Mega di upacara itu tak menguntungkan secara politik dan psikologis (lihat, Jurus Cikeas Menggapai Mega).

Itulah sebabnya sejak pagi Mega bertahan di rumah. Ketika televisi menyiarkan upacara pelantikan Susilo, ia membaca buku di ruang tengah. Menjelang siang, Agnita Singadikane, salah satu politisi PDIP, datang. Beberapa menit kemudian Taufiq Kiemas tiba dari gedung parlemen. Lalu berturut-turut Tjahjo Kumolo, Theo Syafei, dan mantan Menteri Tenaga Kerja Jacob Nuwa Wea.

"Lho, kok pakaiannya resmi banget? Dari mana?" tanya Mega kepada Jacob. Pria Flores berbadan besar itu tergagap. "Baru dari sidang kabinet, eh, habis ikut sidang MPR," katanya. Mega tersenyum.

Setelah itu, obrolan mengalir santai, dari situasi acara pelantikan hingga rencana buka puasa bersama kader PDIP di Kebagusan petang harinya. Jacob mengaku tak bisa menunggu hingga sore, sehingga langsung pamit. "Mau pulang kampung, Mbak," kata Jacob. "Ya sudah. Tapi jangan lama-lama, lho," jawab Mega.

Sorenya, acara buka puasa digelar di depan rumah. Sejak siang, sebuah tenda besar warna putih telah ditegakkan. Sejumlah orang sibuk menggelar karpet hijau, memasang kipas angin, poster, dan spanduk. Wartawan televisi sudah memasang kamera mereka menghadap pintu utama.

Menjelang buka puasa, Mega keluar menemui pendukungnya. Ratusan orang dari berbagai pelosok Jabotabek duduk berdesakan. Mengenakan gaun muslim warna biru laut, Mega ikut lesehan bersama mereka. Di depan putri sulung Sukarno itu, bersila Taufiq Kiemas, Sabam Sirait, Soetardjo Soerjogoeritno, Mangara Siahaan, Pramono Anung, dan Tjahjo Kumolo. Mega mengumbar senyum. Sesekali ia terkikik bersama anggota DPR Dwi Ria Latifa dan adik Mega, Sukmawati.

Kiai Hasyim Wahab dari Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang, didaulat memberi kuliah tujuh menit (kultum) sebelum buka puasa dimulai. "Jangan bersusah hati. Ibu tidak sendirian. Ada 45 juta pemilih di belakang Ibu. Tak usah kecewa, harus tetap tegar agar bisa merebut kembali kemenangan," kata Kiai Hasyim.

Mega membalas dengan pidato tanpa teks. "Jangan kita merasa mengalami kekalahan. Kita hanya mengalami kekurangan suara. Secara konstitusional pada pemilihan mendatang harus direbut," katanya, "Sanggup tidak mengembalikan kemenangan itu?" Suara hadirin bergemuruh, "Sanggup!"

Setelah azan magrib, Mega bangkit masuk ke rumah. Adik-adik Mega dan sejumlah politisi PDIP berjalan mengikuti. Mereka berurutan menyantap hidangan malam. Selesai makan, para tamu menyalami pasangan Taufiq-Mega.

Para tamu makin menyemut. Selain politisi PDIP, juga datang anggota tim sukses Mega Center dan beberapa mantan menteri. Saat jam berdentang delapan kali, Mega masuk ke rumahnya dan berganti baju dengan daster batik warna putih kembang-kembang cokelat. Di dalam, ia masih mengobrol dengan adik iparnya, Levana, dan Sukmawati. Tak lama berselang, turut bergabung Laksamana Sukardi dan istrinya, Renita. Juga Guntur Soekarnoputra, istrinya, serta pengusaha Murdaya Poo. Di atas meja, tersaji empek-empek Palembang dan kacang goreng.

Obrolan berkembang ke sana kemari: dari soal tanaman, kolesterol, tayangan televisi, hingga rencana Mega menyiapkan buku kedua—dari tujuh buku—tentang koleksi karya seni Bung Karno di lima istana. Buku pertama telah diterbitkan pekan lalu.

Pelan-pelan, para tamu mulai beranjak. Guntur yang pertama berpamitan. "Dis, aku pulang dulu, ya. Kamu yang sabar," katanya sambil mencium pipi adiknya. Adis—panggilan akrab Megawati—mengangguk. Levana dan Sukmawati menyusul kemudian. Jarum jam berdentang sepuluh kali.

Setengah jam kemudian, Guruh, adik bungsu Mega, masuk ruangan. Guruh sebelumnya disebut-sebut ditawari Susilo menjadi Menteri Kebudayaan. Karenanya, di ruangan itu ia diledek beberapa tamu sebagai calon menteri.

Pukul sebelas, mata semua orang mengarah ke televisi menunggu pengumuman kabinet oleh presiden. "Wah, belum diumumin, to? Ditunda lagi?" katanya pendek.

Tapi sesaat kemudian ia memilih masuk kamar. "Enggak pingin liat pengumuman kabinet, Mbak?" tanya Tempo. "Enggak, ah. Besok juga bisa liat di koran," ujarnya. Permintaan wawancara pun ditolaknya dengan jawaban pendek. "Saya pingin menikmati pensiun. Sudah lama tak berlibur bersama anak-anak dan cucu." Sesaat kemudian ia bangkit, mengantarkan para tamunya hingga ke pintu, lalu masuk kamar.

Di luar, Taufiq Kiemas masih bertahan. Ia menyeruput kopi bersama Guruh. Para pelayan mulai membereskan cangkir dan piring-piring kotor serta melipat kursi dan taplak meja. Taufiq mengomentari acara buka puasa hari itu. "Ini bagus untuk membangun spirit building," ujarnya.

Kabinet akhirnya diumumkan menjelang tengah malam. Suasana sunyi sebentar. Ketika nama Jero Watjik diumumkan sebagai Menteri Kebudayaan, Guruh tersenyum lebar. " He-he…, bukan aku, kan," katanya.

"Menko Perekonomian-nya Rizal atau Aburizal?" tanya Taufiq.

"Aburizal Bakrie," kata seseorang.

"Wah Golkar, dong. PKB dapat tiga, ya?"

Yang lain tak menyahut.

"Sudah saatnya kita kerja keras. Pengalaman kemarin harus jadi pelajaran. Kalau kita kurang suara, berarti kalah militan," kata Taufiq lagi.

Sunyi.

Orang-orang mulai menguap. Mereka berpamitan. Jam dinding berdentang satu kali. Taufiq Kiemas berdiri mengantarkan para tamunya ke gerbang. Pintu besi warna putih itu berderik.

Di luar, angin kencang bertiup. Sebuah spanduk putih yang bertuliskan "Kami antar kembali Ibu ke rumah rakyat" bergetar. Terkulai. Jatuh. Di Kebagusan, malam semakin larut.

Widiarsi Agustina dan Arif Kuswardono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus