Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Sosok Kepercayaan Para Jenderal

Ia pernah menjadi ajudan Gatot Subroto, Ahmad Yani, dan Sekretaris Militer Soeharto. Catatan sejarah itu pergi bersamanya.

25 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada dua hal di dunia ini yang menggerakkan sebuah reuni: kebahagiaan perkawinan dan duka kematian. Dan pagi itu, 19 September, suatu reuni berlangsung di sebuah rumah tua di Jalan Diponegoro 2, Jakarta Pusat.

Pukul 4.30, subuh, Mayor Jenderal (Purn.) Prof. Dr. Raden Moehono meninggal. Pukul 11.00 siang, rumah tersebut kedatangan tamu-tamu istimewa: eks presiden Soeharto, mantan wakil presiden Try Sutrisno, dan bekas Gubernur DKI Jakarta, Soeprapto. Bersama-sama, mereka melepas jenazah sahabat yang bertolak ke Yogyakarta dengan upacara militer.

Moehono adalah sosok penting yang lekas melejit. Kita tahu, Pangdam IV Diponegoro sendiri, Mayjen Sunarso, memimpin upacara pemakaman penuh penghormatan di pemakaman keluarga, kawasan Plumbon, Yogyakarta. Lama sebelum mendapat serangan kanker prostat yang mengakhiri hidupnya, sejak menjabat sebagai ajudan Gatot Soebroto (kala itu komandan divisi di Purwokerto), ia sudah melesat cepat. Semua itu berawal saat pangkatnya naik enam tingkat menjadi kapten. Ia terus menjadi ajudan ketika Gatot Subroto menjabat Gubernur Militer Daerah Semarang, Pati, Surakarta, dan Madiun pada 1948.

Kerap Moehono berada di titik-titik yang menentukan ketika negeri ini perlahan-lahan berubah. Berkali-kali ia bertemu Soeharto, orang yang hinggap di pucuk tertinggi negeri ini sepanjang 32 tahun. Sewaktu Soeharto menjadi Panglima Divisi Diponegoro 1956, Moehonolah asistennya. Begitu juga ketika Soeharto dinilai terlibat penyelundupan sembako di Semarang. Saat itu ia Jaksa Agung Muda (1960_1962) dan menyidangkan kasus itu. Atas saran Ahmad Yani, Moehono melepas Soeharto, lalu Soeharto menjalani pendidikan lanjutan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung.

Moehono tak pernah menutup kuping terhadap saran orang lain. Tapi ia sendiri punya satu keyakinan: setiap perbuatan akan membuahkan karmanya sendiri.

Ia pernah mempertanyakan keabsahan sebuah pengadilan militer. Pengadilan atas Mayor Gerungan?tokoh yang terlibat pemberontakan PRRI/Permesta?yang dianggapnya lebih mendekati rencana "pembunuhan" ketimbang pengadilan. Mayor Gerungan dihukum mati, tapi hakim-hakim yang memutuskan perkara itu lantas menemui nasib sama. Mereka terbunuh dalam peristiwa G30S. Dalam wawancaranya dengan wartawan Tempo Bina Bektiati beberapa waktu lalu, Moehono menunjuk: itulah karma atas keputusan pengadilan militer itu.

Moehono tak gampang puas dan berhenti. Ia banyak belajar dan dengan serius mengarungi beberapa dunia sekaligus: militer, birokrasi, akademis, dan_tentu saja?politik. Pensiun dari militer, ia bergerak terus, menjelajahi aneka posisi: dari Wakil Ketua PSSI hingga pengurus Wisma Nusantara. Ya, 21 tahun ia melaksanakan tugas dari Soeharto, membangun gedung bertingkat 30 di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat.

Di dunia akademis, ia juga melancar. Memperoleh gelar SH dari Universitas Gadjah Mada, di usia tua ia belajar ekonomi di Universitas Krisna Dwipayana (Unkris). Satu per satu gelar diraihnya sehingga ia pun dipercaya menjadi Rektor Universitas Proklamasi 45 di Yogyakarta, kemudian Rektor Unkris di Jakarta hingga akhir hayat.

Moehono orang yang sibuk. Di luar rumah, ia menanggung beban aneka jabatan dan tugas, termasuk mendirikan Persatuan Cendekiawan Pembangunan Pancasila guna mengimbangi ICMI. Tapi di dalam rumahnya yang bersebelahan dengan rumah keluarga Ahmad Yani itu, ia adalah sosok yang selalu sarapan bersama istri dan enam anaknya.

Moehono aktif, tapi perlahan-lahan kanker prostat menghentikannya. Gairah hidupnya mulai surut ketika istrinya, R.A. Sri Dewanti, meninggalkannya pada 5 Februari 2003. Sebelum pergi, Moehono berpesan supaya anak-anaknya mengurus tanggung jawabnya di beberapa perusahaan dan yayasan, dan memakamkan dia di samping pusara istrinya di pemakaman keluarga di Yogyakarta.

F. Dewi Ria Utari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus