S~EKJEN Partai Komunis Uni Soviet ~, Mikhail Gorbachev untuk kedua kalinya menawarkan pertemuan dengan RRC, lewat wawancara dengan majalah Cina, Liaowang (Pandangan) 10 Januari lalu. Tindakan ini kembali mengingatkan orang pada pers Amerika, yang menjuluki Gorbachev sebagai the great communicator. Kendati tawaran pertama -- lewat Presiden Kenneth Kaunda -- tidak digubris oleh Beijing, pemimpin Soviet itu tak juga jera. "Saya siap bertemu dengan Deng Xiaoping di Moskow, di Beijing, atau di mana saja yang ia senangi." Itulah pesan Gorbachev pada Kaunda, presiden Zambia yang sedang berkunjung ke Moskow Desember lampau -- hanya 9 hari sebelum pertemuan puncak dengan Ronald Reagan di Washington. Tak pelak lagi, Gorbachev berusaha mengubah perimbangan kekuatan di antara ketiga adidaya itu untuk kepentingan Uni Soviet. Para pengamat umumnya berpendapat, pendekatan Gorbachev bukanlah hal baru. Sejak zaman Brezhnev, Soviet selalu berusaha menarik Cina dari "persekutuan tak resmi" dengan Barat, terutama Amerika. Tapi, andai kata pertemuan Gorbachev-Deng atau Gorbachev-Zhao Ziyang bisa terlaksana, itu akan merupakan pertemuan puncak pertama antara kedua negara dalam 19 tahun terakhir ini. Pertemuan puncak terakhir Soviet-RRC terjadi tahun 1969, ketika Almarhum Zhou Enlai berjumpa dengan Alexei Kosygin. Pertemuan itu gagal, dan prakarsa pendekatan lalu direbut Nixon, tahun 1972. Ada kesan, Cina menyambut baik inisiatif Gorbachev. Koran-koran resmi Cina memuat pernyataan Gorbachev itu. Majalah berita Liaowang malah memuat wawancara dengan Gorbachev. Di situ pemimpin Soviet mengatakan bahwa pertemuan puncak antara kedua negara merupakan~, "pe~rkembangan yang sangat logis." Ia pun menandaskan,Moskow bersedia bicara dengan Beijing tanpa agenda persiapan. "Pokoknya," kata Gorbachev, "pertemuan semacam itu bisa saja terlaksana, walaupun kami tidak menentukan tanggal dan prasyarat." Para pemimpin Cina sebegitu jauh dingin-dingin saja. Seorang juru bicara Deplu RRC di Beijin~ mengatakan, prasyarat yang diajukan Deng tak berubah. Pada hemat Deng, terlaksananya pertemuan tingkat tinggi sangat tergantung keberhasilan Moskow menekan Vietnam dan mengakhiri pendudukannya di Kamboja. Sejak munculnya masalah Kamboja, Cina memang selalu mengajukan banyak prasyarat. Ia menuntut agar satu juta pasukan Soviet, lengkap dengan senjata nuklirnya, ditarik dari perbatasan Cina-Soviet (sepanjang 8.000 km). Beijing juga meminta agar dukungan Soviet terhadap Vietnam di Asia Tenggara -- terutama di Kamboja -- dibatalkan. Cina pun menuntut penarikan mundur 115.000 "penasihat militer" Soviet di Afghanistan dan 55.000 serdadu yang ada di Mongolia Luar. Tapi barangkali yang paling berat adalah tuntutan agar Soviet mengakui beberapa daerah di perbatasan kedua negara sebagai "wilayah yang disengketakan". Banyak ahli politik mengatakan, tuntutan Cina itu hanya siasat belaka. Semuanya mustahil dikabulkan Moskow. Yang ada di belakang semua prasyarat itu tak lebih dari taktik Beijing untuk mengulur waktu. Katanya, apabila terjadi suatu perbaikan hubungan Cina-Soviet, apalagi kalau itu berkembang menjadi suatu hubungan mesra, program modernisasi Cina akan terhalang. Untuk mencapai ambisinya menjadi suatu negara modern di abad yang akan datang, Cina sangat bergantung pada bantuan teknologi dan modal dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Dengan demikian, menurut analisa itu, Cina khawatir hubungan baik dengan Moskow akan menyebabkan pihak Barat menyetop keran modal dan teknologi tinggi itu. Banyak alasan mendukung argumentasi itu. Misalnya sikap Beijing yang tak banyak mengutik-utik masalah Taiwan, dalam hubungan negara itu dengan Amerika. Apa konsekuensinya kalau yang disebut di atas benar? Tampaknya, kamerad-kamerad di Kremlin mesti sabar menunggu sampai Cina menjadi negara modern. Dan tak ada yang dapat memastikan, kapan itu tercapai~. A. Dah~ana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini