M~~ATAHARI baru muncul, Senin pe~kan ini, saat ribuan orang antre di sejumlah tempat pemilihan yang dijaga ketat di Manila. Hampir di tiap sudut siaran radio yang disetel keras mengumandangkan berita terbaru: seorang kandidat lagi terbunuh, saat-saat terakhir menjelang pemungutan suara, yang dimulai pukul 07.00 pagi itu. Berarti sudah 90 nyawa melayang gara-gara pemilu lokal - yang pertama diselenggarakan secara bebas sejak 17 tahun berselang -- untuk memperebutkan jabatan gubernur, wali kota dan pejabat daerah di 64 provinsi Filipina (catatan: pada 11 provinsi, pemilu ditunda satu bulan). Inilah pemilu ke-4 yang diselenggarakan pemerintahan Cory, yang baru berusia 23 bulan itu - dalam rangka mengembalikan Filipina ke Jalan demokrasi. Tapi justru kekacauan, kekerasan, dan praktek-praktek "politik kotor" yang menonjol dalam pesta demokrasi itu. Pembunuhan sadistis terhadap para kandidat, sanak, dan kenalan mereka terjadi hampir tiap hari, sejak masa kampanye dimulai awal Desember silam. Dari 150.000 kandidat, 40orang tewas dibantai -- banyak yang ditembak di tengah orang banyak selagi kampanye, dijebak dalam kendaraan, atau dihabisi selagi tidur nyenyak di rumahnya. Dari 90 korban tewas, hampir separuhnya diduga disikat gerilyawan Komunis. Selain "~urun" mengintimidasi penduduk dan melakukan aksi pembantaian para kandidat yang dibenci, NPA menghimpun dana yang tak sedikit dengan mengutip "uang keamanan" dari para kandidat di wilayah pengaruh komunis. Menurut pihak militer, tiap calon membayar 50.000 peso untuk "izin kampanye" selama lima hari. Uang itu, menurut pimpinan CPP (Partai Komunis Filipina), akan digunakan untuk mengembangkan revolusi komunis. Ramon Felipe, Ketua Komisi Pemilu (Comelec), menduga bahwa sekitar 1.500 (10%) dari para calon merupakan kandidat yang bersedia berafiliasi dengan CPP/NPA. Sampai kini CPP memang ~tetap bermain di luar arena pemilu, dalam arti eksistensi mereka tidak dianggap sah. Adanya "Partido Ng Bayan" yang berorientasi kiri juga tidak menjamin tersalurnya aspirasi komunis. Mungkin, karena itu pula Menlu Raul Manglapus Kamis lalu tiba-tiba bicara mengejutkan. Ia berpendapat, Filipina tidak akan pernah mencapai stabilitas dan mewujudkan demokrasi, sampai CPP diterima secara sah. Kata Manglapus lagi, demokrasi di Filipina haruslah mengikutsertakan ideologi yang dianggap memberontak, tapi di negara lain diterima sebagai usaha damai dalam proses merombak masyarakat. Pernyataan ini bukan tidak ada benarnya, namun orang-orang pemerintah tidak setuju, sedangkan Cory sama sekali tidak menanggapi. Sementara itu kampanye pemilu yang kacau dan brutal menjadi kian sengit oleh persaingan keras para calon. Banyak yang saling tuding terlibat kasus pembelian suara -- praktek yang biasa dilakukan dalam sejarah Filipina. Konon, satu suara dihargai 100 peso (sekitar Rp 8.000). Walaupun pemerintah gencar mengimbau para kandidat agar meninggalkan prinsip "Guns, Goons & Gold" (senjata, pengawal bersenjata, dan emas), toh praktek kuno itu tetap dilakukan. Apalagi Presiden Cory Aquino oleh sejumlah pihak dianggap terseret dalam praktek itu. Isu "dinasti politik" gencar melanda Cory, dan diduga ikut memberikan andil dalam anjloknya kepopuleran sang Presiden. Pengumpulan pendapat oleh Ateneo Social Weather Station (ASWS) belum lama ini mencatat turunnya tingkat kepopuleran Cory: dari 78% pada Februari 1986 dan 76% pada Maret 1987 menjadi hanya 55% saat ini. Banyak yang menganggap pemilu kali ini me~rupakan "masalah keluarga" klan-klan kuat -- termasuk di dalamnya Keluarga Aqu~o, Conjuangco, Laurel -- untuk kembali merebut supremasi politik di seluruh negeri. Kemb~alinya dominasi keluarga kuat dalam pentas politik Filipina menimbulkan protes sejumlah pihak yang menganggap kondisi politik kini tak jauh berbeda dengan era Marcos atau masa-masa sebelumnya. Segera gerakan anti-"dinasti politik" menjadi headline di koran-koran besar Manila. Banyak warga Filipina yang terperangah disuguhi kenyataan bahwa Cory kini "mengepalai" salah satu klan terbesar dalam politik Filipina. Dari pihak keluarganya sendin tercatat saudara laki-laki, sepupu, paman Cory duduk sebagai anggota DPR Filipina. Lalu dua adik ipar dan paman pihak mendiang suami juga duduk di tempat yang sama. Dalam pemilihan lokal kini kakak perempuan Ninoy -- sang suami - menjadi salah satu calon wali kota. Menjawab kecaman pedas berbagai kalangan, pihak keluarga Cory membela diri dengan alasan mereka telah lama berkecimpung di dunia politik sebelum Cory terjun ke sana. Sedang sang Presiden sendiri menyatakan, "Nasib dinasti-dinasti itu tergantun~g keputusan para pemilih." Pernyataan ini segera dikecam media massa. Kolumnis Amando Doronilla di harian Manila Chronicle dan Belinda Olivares Cunanan dalam koran The Philippines Inquirer menuduh Cory lemah dan "tak mampu mengontrol beberapa keluarga yang ambisius". Di kubu sendiri pun Cory mendapat tantangan sejumlah rekan dekatnya. Ketua Senat Jovito Salonga, pemimpin Partai Liberal salah satu dari empat partai yang tergabung dalam koalisi partai yang berkuasa Lakas Ng Bayan -- secara terbuka mengecam ulah kerabat Cory. " Setelah 14 tahun menderita di bawah Marcos, kami tak ingin kembali ke praktek-praktek yan~g lazim dilakukan Marcos," kata Salonga. Seperti diketahui, saudara lelaki Cory, Jose "Peping" Cojuangco, pemimpin partai Demokrasi Filipina (Laban) dan Paul Aquino, adik ipar yang memimpin Partai Lakas Ng Bansa - keduanya partai yang tergabung dalam koalisi -- dianggap sebagai biang kerok yang banyak mempengaruhi keputusan Cory. Kedua keluarga dekat itu belum lama ini "merangkul" bekas pengikut Marcos, dalam rangka memperkuat kubu mereka sendiri. Peping Cojuangco dan Paul Aquino mendukung lusinan politikus Marcos KBL dalam pemilihan lokal kali ini. Di antaranya tercatat bekas Brigjen. Jaime Echeverria, loyalis~ Marcos yang terlibat percobaan kudeta. Penghalalan segala cara oleh "dinasti Cory~' inilah yang tidak bisa dimaafkan oleh sejumlah pendukung sang Presiden. Farida Sendjaja, laporan Tito G. Crus (Manila) dan kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini