Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Di ujung tanduk ?

Uni soviet membantu ethiopia dalam sengketa dengan somalia karena menganggap ethiopia sebagai palang pintu di laut merah. sikap ini membingungkan, karena gerakan separatis eriteria pun dibantunya. (ln)

17 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Ogaden, wilayah sengketa di tanduk Afrika, tentara Ethiopia mencapai kemenangan militer berkat bantuan tentara Kuba Di sana, pasukan-pasukan Somalia dipukul mundur oleh pasukan-pasukan Ethiopia yang diperlengkapi dengan senjata-senjata moderen buatan Uni Soviet. Dan di tengah-tengah prajurit yang bertempur itu, tampak pula kehadiran para "penasehat" militer Uni Soviet. Tapi kisah bulan madu yang membawa hasil gemilang antara Ethiopia dengan Soviet dan Kuba itu terjadi 3 bulan silam. Kini, secara bergerilya, pasukan-pasukan Somalia itu muncul kembali di wilayah Ogaden. "Setelah mereka mengundurkan diri, beberapa dari tentara itu mengganti pakaian seragamnya dengan pakaian padang pasir sembari mengubah taktik," kata seorang diplomat Barat. "Resminya mereka itu cuma disebut sebagai pemberontakan setempat, tapi kami yakin mereka itu mendapat bantuan penuh dari Mogadisu," tambah diplomat itu pula. Dan pertempuran dengan gaya gerilya itu kabarnya banyak juga mengakibatkan jatuhnya korban di pihak Ethiopia yang hingga kini terus berdiam diri terhadap perkembangan baru di Ogaden itu. Kemenangan Gemilang Sikap tutup mulut yang dilancarkan oleh Adis Ababa itu bukannya tanpa sebab yang cukup pelik. Dan soal itu nampaknya harus dipulangkan pada hubungan Ethiopia dengan Soviet dan Kuba yang hari-hari ini tidak lagi semanis dulu. Hatta, maka tak selang lama setelah kemenangan gemilang di Ogaden itu, Adis Ababa tiba-tiba menjadi tak akur dengan sekutu-sekutu merahnya. Mangistu Haile Mariam -- pemimpin Ethiopia itu -- kecewa terhadap sikap Soviet dan Kuba yang tidak lagi sudi membantu Ethiopia yang sekarang ini sibuk menghadapi pemberontakan separatis di Eriteria. Menurut sejarahnya, bahkan jauh sebelum Kaisar Haile Selassi digulingkan oleh yunta militer Ethiopia, orang-orang Rusia dan Kuba telah memberi bantuan kepada kelompok separatis Eriteria. Terhadap orang-orang Eriteria yang Islam itu, negara-negara Arab -- radikal maupun moderst -- juga beramai-ramai memberikan bantuan. Dalam keadaan seperti ini, posisi Moskow dan Havana memang amat sulit dewasa ini. Keadaan menjadi lebih buruk lagi beberapa waktu yang lalu ketika Adis Ababa menemukan suatu "permainan" Moskow di dalam wilayah Ethiopia. Seorang komunis, pelarian dan saingan Mangistu, ternyata telah diselundupkan masuk ke Ethiopia oleh tentara-tentara Uni Soviet yang bersibuk di tanduk Afrika itu. Mangistu jelas merasa dikhianati. Dan marah. Ini tentu tak sulit dimengerti. Masalah lain: Soviet maupun Kuba, kedua-duanya terlalu sadar untuk tidak mengulangi pengalaman pahit Amerika Serikat di medan tempur Vietnam -- perang berlarut-larut tanpa hari depan yang jelas. Karena itulah maka Kuba dan Soviet, yang kenal betul watak pejuang dan perjuangan Eriteria itu, menolak untuk secara terbuka membantu Mangistu dalam urusan ini. Dan pemimpin Ethiopia ini pun tidak pikir panjang. Langsung saja tentara Kuba itu diminta meninggalkan Ethiopia. Soviet sendiri kabarnya masih terus membujuk Mangistu untuk melakukan suatu pendekatan danai dan kompromi dengan orang-orang Eriteria itu. Soal Eriteria ini merupakan soal besar bagi Moskow, begitu besar hingga tidak dengan mudah Uni Soviet begitu saja diusir Mangistu. Soalnya: semua jalan ke laut tengah berada Eriteria. Menginginkan suatu kehadiran di wilayah Timur Tengah merupakan impian Soviet. Tapi rupanya sejarah ingin berulang. Menurut catatan para ahli sejarah, di tahun 1896, Rusia secara langsung terlibat dalam urusan dalam negeri Ethiopia. Pada saat itu terjadi perang Italia-Ethiopia. Posisi Kaiser Menelik -- Raja Ethiopia pada masa itu -- amat sulit. Hanya d-ngan bantuan Rusialah akhirnya Ethiopia bisa memenangkan perang dengan mengalahkan tentara Italia itu di suatu medan tempur di daerah yang bernama Adawa. Pada tahun 1880, sebuah koran Rusia, Moskovia Viedomosti, secara terang-terangan mengungkapkan pentingnya letak Ethiopia itu. "Ethiopia," tulis koran itu, "adalah palang pintu ke gerbang selatan Laut Merah." Jadi bukan suatu kebetulan kalau dalam Perjanjian Postdam dan Yalta, Stalin berusaha keras untuk memperoleh Eriteria yang baru saja dibebaskan dari cengkeraman Italia. Di PBB Uni Soviet menentang dimasukkannya Eriteria ke dalam wilayah kekuasaan Ethiopia. Uni Soviet maupun Kuba sama-sama menyokong perjuangan orang-orang Eriteria ketika dulu mereka berontak terhadap Kaisar Selassi. Di Eriteria sendiri kini berkembang suatu keadaan yang cukup mengkhawatirkan Moskow. Para pejuang Eriteria itu terpecah ke dalam dua kelompok yang saling bertentangan, Front Rakyat dan Front Pembebasan. Ketidak-akuran ini dilihat oleh Moskow sebagai suatu hal yang menjadi penyebab sulitnya terjadi kompromi antara Mangistu dengan orang-orang Eriteria itu. Sementara negara-negara Arab dan Iran memberikan bantuan kepada Eriteria yang penduduknya beragama Islam, Moskow terus menerus membujuk pimpinan perjuangan di sana untuk bersatu dan kemudian berunding dengan Mangistu. Usaha itu belum berhasil hingga kini. Salah satu soalnya adalah karena orang-orang Eriteria itu menuntut kemerdekaan penuh, hal yang terang tidak disetujui oleh Eriteria maupun Uni Soviet sekarang. Suatu Eriteria merdeka yang dekat dengan negara-negara Arab penghasil minyak dan Iran, di mata Moskow, tidak lebih dari penghalang baru bagi kehadiran Uni Soviet di Laut Merah. Menurut sebuah sumber, Moskow kini yakin bahwa satu-satunya cara untuk menggiring para pejuang Eriteria itu ke meja perundingan dengan Mangistu adalah dengan mengalahkan mereka di medan tempur. Tapi bagaimanakah Soviet bisa melaksanakan konsepnya jika ia sendiri tidak mau terlibat di medan tempur? Sementara Soviet berada dalam suatu dilema, Mangistu kini telah maju perang di front Eriteria. Berita terakhir dari Tanduk Afrika menyebutkan bahwa tentara Ethiopia kini telah menggempur pasukan-pasukan pejuang Eriteria secara besar-besaran. Mungkin ini kegagalan Moskow untuk menggiring pihak-pihak bersengketa itu ke suatu penyelesaian damai dan kompromi menurut disain Uni Soviet.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus