DI Ogaden, wilayah sengketa di tanduk Afrika, tentara Ethiopia
mencapai kemenangan militer berkat bantuan tentara Kuba Di sana,
pasukan-pasukan Somalia dipukul mundur oleh pasukan-pasukan
Ethiopia yang diperlengkapi dengan senjata-senjata moderen
buatan Uni Soviet. Dan di tengah-tengah prajurit yang bertempur
itu, tampak pula kehadiran para "penasehat" militer Uni Soviet.
Tapi kisah bulan madu yang membawa hasil gemilang antara
Ethiopia dengan Soviet dan Kuba itu terjadi 3 bulan silam. Kini,
secara bergerilya, pasukan-pasukan Somalia itu muncul kembali di
wilayah Ogaden. "Setelah mereka mengundurkan diri, beberapa dari
tentara itu mengganti pakaian seragamnya dengan pakaian padang
pasir sembari mengubah taktik," kata seorang diplomat Barat.
"Resminya mereka itu cuma disebut sebagai pemberontakan
setempat, tapi kami yakin mereka itu mendapat bantuan penuh dari
Mogadisu," tambah diplomat itu pula. Dan pertempuran dengan gaya
gerilya itu kabarnya banyak juga mengakibatkan jatuhnya korban
di pihak Ethiopia yang hingga kini terus berdiam diri terhadap
perkembangan baru di Ogaden itu.
Kemenangan Gemilang
Sikap tutup mulut yang dilancarkan oleh Adis Ababa itu bukannya
tanpa sebab yang cukup pelik. Dan soal itu nampaknya harus
dipulangkan pada hubungan Ethiopia dengan Soviet dan Kuba yang
hari-hari ini tidak lagi semanis dulu. Hatta, maka tak selang
lama setelah kemenangan gemilang di Ogaden itu, Adis Ababa
tiba-tiba menjadi tak akur dengan sekutu-sekutu merahnya.
Mangistu Haile Mariam -- pemimpin Ethiopia itu -- kecewa
terhadap sikap Soviet dan Kuba yang tidak lagi sudi membantu
Ethiopia yang sekarang ini sibuk menghadapi pemberontakan
separatis di Eriteria.
Menurut sejarahnya, bahkan jauh sebelum Kaisar Haile Selassi
digulingkan oleh yunta militer Ethiopia, orang-orang Rusia dan
Kuba telah memberi bantuan kepada kelompok separatis Eriteria.
Terhadap orang-orang Eriteria yang Islam itu, negara-negara Arab
-- radikal maupun moderst -- juga beramai-ramai memberikan
bantuan. Dalam keadaan seperti ini, posisi Moskow dan Havana
memang amat sulit dewasa ini.
Keadaan menjadi lebih buruk lagi beberapa waktu yang lalu ketika
Adis Ababa menemukan suatu "permainan" Moskow di dalam wilayah
Ethiopia. Seorang komunis, pelarian dan saingan Mangistu,
ternyata telah diselundupkan masuk ke Ethiopia oleh
tentara-tentara Uni Soviet yang bersibuk di tanduk Afrika itu.
Mangistu jelas merasa dikhianati. Dan marah. Ini tentu tak sulit
dimengerti.
Masalah lain: Soviet maupun Kuba, kedua-duanya terlalu sadar
untuk tidak mengulangi pengalaman pahit Amerika Serikat di medan
tempur Vietnam -- perang berlarut-larut tanpa hari depan yang
jelas. Karena itulah maka Kuba dan Soviet, yang kenal betul
watak pejuang dan perjuangan Eriteria itu, menolak untuk secara
terbuka membantu Mangistu dalam urusan ini. Dan pemimpin
Ethiopia ini pun tidak pikir panjang. Langsung saja tentara Kuba
itu diminta meninggalkan Ethiopia. Soviet sendiri kabarnya masih
terus membujuk Mangistu untuk melakukan suatu pendekatan danai
dan kompromi dengan orang-orang Eriteria itu.
Soal Eriteria ini merupakan soal besar bagi Moskow, begitu besar
hingga tidak dengan mudah Uni Soviet begitu saja diusir
Mangistu. Soalnya: semua jalan ke laut tengah berada Eriteria.
Menginginkan suatu kehadiran di wilayah Timur Tengah merupakan
impian Soviet.
Tapi rupanya sejarah ingin berulang. Menurut catatan para ahli
sejarah, di tahun 1896, Rusia secara langsung terlibat dalam
urusan dalam negeri Ethiopia. Pada saat itu terjadi perang
Italia-Ethiopia. Posisi Kaiser Menelik -- Raja Ethiopia pada
masa itu -- amat sulit. Hanya d-ngan bantuan Rusialah akhirnya
Ethiopia bisa memenangkan perang dengan mengalahkan tentara
Italia itu di suatu medan tempur di daerah yang bernama Adawa.
Pada tahun 1880, sebuah koran Rusia, Moskovia Viedomosti, secara
terang-terangan mengungkapkan pentingnya letak Ethiopia itu.
"Ethiopia," tulis koran itu, "adalah palang pintu ke gerbang
selatan Laut Merah."
Jadi bukan suatu kebetulan kalau dalam Perjanjian Postdam dan
Yalta, Stalin berusaha keras untuk memperoleh Eriteria yang baru
saja dibebaskan dari cengkeraman Italia. Di PBB Uni Soviet
menentang dimasukkannya Eriteria ke dalam wilayah kekuasaan
Ethiopia. Uni Soviet maupun Kuba sama-sama menyokong perjuangan
orang-orang Eriteria ketika dulu mereka berontak terhadap Kaisar
Selassi.
Di Eriteria sendiri kini berkembang suatu keadaan yang cukup
mengkhawatirkan Moskow. Para pejuang Eriteria itu terpecah ke
dalam dua kelompok yang saling bertentangan, Front Rakyat dan
Front Pembebasan. Ketidak-akuran ini dilihat oleh Moskow sebagai
suatu hal yang menjadi penyebab sulitnya terjadi kompromi antara
Mangistu dengan orang-orang Eriteria itu.
Sementara negara-negara Arab dan Iran memberikan bantuan kepada
Eriteria yang penduduknya beragama Islam, Moskow terus menerus
membujuk pimpinan perjuangan di sana untuk bersatu dan kemudian
berunding dengan Mangistu. Usaha itu belum berhasil hingga kini.
Salah satu soalnya adalah karena orang-orang Eriteria itu
menuntut kemerdekaan penuh, hal yang terang tidak disetujui oleh
Eriteria maupun Uni Soviet sekarang. Suatu Eriteria merdeka yang
dekat dengan negara-negara Arab penghasil minyak dan Iran, di
mata Moskow, tidak lebih dari penghalang baru bagi kehadiran Uni
Soviet di Laut Merah.
Menurut sebuah sumber, Moskow kini yakin bahwa satu-satunya cara
untuk menggiring para pejuang Eriteria itu ke meja perundingan
dengan Mangistu adalah dengan mengalahkan mereka di medan
tempur. Tapi bagaimanakah Soviet bisa melaksanakan konsepnya
jika ia sendiri tidak mau terlibat di medan tempur?
Sementara Soviet berada dalam suatu dilema, Mangistu kini telah
maju perang di front Eriteria. Berita terakhir dari Tanduk
Afrika menyebutkan bahwa tentara Ethiopia kini telah menggempur
pasukan-pasukan pejuang Eriteria secara besar-besaran. Mungkin
ini kegagalan Moskow untuk menggiring pihak-pihak bersengketa
itu ke suatu penyelesaian damai dan kompromi menurut disain Uni
Soviet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini