Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Di Ujung Telunjuk Ayatullah

Nyaris seluruh poros kekuasaan di Iran bertumpu pada figur seorang pemimpin spiritual—bukan pada presiden.

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari atas dinding berlapis kain biru, sepasang mata Imam Besar Khomeini menyorot dari balik kaca pigura. Orang tua itu telah lama pergi. Namun, ayatullah yang pernah menjadi pemimpin spi-ritual Iran ini sesungguhnya tak pernah berhenti mengukur ketaatan setiap presiden dalam melaksanakan jalan ketuhanan yang ditegakkan sang Ayatullah di negeri itu, se-telah dinasti Shah tumbang pada 1979. Potretnya digantung di entah berapa juta dinding rumah di Iran. Rabu pekan silam, bersama jutaan warganya, Imam Khomeini menyaksikan—dari balik pigura—pelantikan Presiden Iran Mohammad Khatami. Terpilih untuk kedua kalinya, Khatami berikrar di hadapan 238 anggota parlemen. ”Sebagai presiden, saya bersumpah akan mempertahankan agama dan hak-hak rakyat,” ujarnya. Agama memang elemen penting di negara berbasis Islam tersebut. Bahkan, Khatami hanya bisa memerintah setelah pemimpin spiritual Iran Ayatullah Ali Khamenei ”memberi restu”. Berbekalkan restu ini, Khatami melangkah ke era pemerintahannya yang kedua—hingga 2004—yang ramai diwarnai krisis politik antara pendukung reformasi dan pihak konservatif. Krisis itu pecah tatkala mayoritas faksi reformis di parlemen Iran menolak penunjukan anggota Dewan Garda (Guardian Council) oleh Ketua Mahkamah Agung Ayatullah Muahmoud Hashemi-Shahrudi. Buntutnya, Ayatullah Khamenei mengubah sistem pemilihan Dewan Garda. Tadinya memerlukan kuorum (kehadiran dua pertiga anggota) parlemen untuk menetapkan anggota dewan, tapi Ali Khamenei memutuskan, berapa pun anggota parlemen yang hadir, pemilihan tersebut sah adanya. Maka, dua nama dari kubu konservatif meluncur dengan mulusnya ke dalam keanggotaan Dewan Garda. Banyak orang menggerutu, tapi siapa yang berani menahan sepak terjang Khamenei? Konstitusi Republik Islam Iran sendiri yang memberikan kekuasaan tak terhingga kepada pemimpin spiritual berusia 62 tahun itu. Ia berhak menunjuk anggota Dewan Garda. Ia juga berkuasa menetapkan ketua Mahkamah Agung berikut anggota empat lembaga tinggi negara lainnya, yakni Dewan Keamanan Nasional, Angkatan Bersenjata, Dewan Ke-bijakan (Expediency Council). Hanya dua lembaga politik di Iran yang bebas dari ujung telunjuk pemimpin spiritual itu: presiden dan parlemen. Rakyat memilih presiden dan anggota parlemen secara langsung. Tapi apa pula bedanya? Dewan Garda—instrumen politik utama Khamenei—yang menyaring nama calon presiden. Sementara itu, semua produk undang-undang dari parlemen hanya sah bila sudah diberi ”cap jempol” Dewan Garda. Menarik bahwa dengan kekuasaaan sebesar itu Khamenei tetap bisa hidup dengan cara yang bersahaja. Beberapa tahun silam, saat sudah jadi presiden, keluarga Khamenei bahkan tak punya lemari es. Lantai rumahnya cuma disaput oleh permadani murahan yang sudah tua. Sisi intelektualnya juga membuat orang terpana. Tersohor sebagai ahli yurisprudensi hukum Islam, Khamenei pernah menulis 34 judul buku tentang Islam, politik, filsafat, dan seni. Saban minggu, ia rajin mengikuti diskusi sastra dan puisi. Hidup Khamenei juga dibentuk oleh latar belakang yang keras. Ia pernah keluar-masuk penjara dan kenyang disiksa Savak (polisi rahasia Shah Iran) karena mengobarkan revolusi Islam dari 1963 hingga 1978. Perjuangan panjang itu membuat Khamenei taat betul memegang jalan Islam dalam politik Iran hingga kini. Bekas presiden Iran ini pernah menduduki beberapa pos penting, antara lain menjadi anggota Dewan Komando Revolusi dan Komandan Pengawal Revolusi. Mewakili Imam Khomeini, ia pun menjadi anggota Dewan Pertahanan Nasional. Kini, dengan kekuasaan begitu besar di dalam tangannya, apa yang akan dilakukan Khamenei bagi rakyat Iran? Para analis politik yakin, Khamenei giat memainkan peran perantara di tengah tarik-menarik kekuatan antara kaum konservatif dan kelompok reformasi. Dia merestui gerakan reformasi Khatami sembari mengontrol dengan ketat agar sang Presiden tak melenceng dari jalur ajaran Islam. Tak mengherankan jika Imam Khomeini berkenan ”mewariskan” peran sebagai pemimpin spiritual kepadanya. Sebelum wafat pada 1989, sang Imam pernah berkata kepada sejumlah mullah yang khawatir akan terjadi kevakuman pemimpin sepeninggal sang Imam. ”Kamu tak akan menghadapi lorong gelap sepanjang Ayatullah Khamenei bersamamu,” ujar Khomeini ketika itu. Para mullah menaati kata-katanya. Tatkala Dewan Kebijakan memilih pemimpin spiritual yang harus menggantikan Khomeini, nama Khamenei menjulang sendirian. Ia menyabet 64 dari 74 suara dewan. Dan sang ahli waris takzim mengikuti jejak pendahulunya. ”Musuh kita telah salah kira bahwa perginya Imam Khomeini akan melahirkan era baru yang berbeda,” kata Khamenei setelah kemenangannya. Seperti Khomeini, Ayatullah Ali Khamenei meletakkan ajaran Islam pada tempat tertinggi. Ia menerapkan ajaran itu dengan teguh kepada dirinya dan setiap warga Iran. Raihul Fadjri (Irna, Reuters, Salam Iran)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus